Selasa, 03 Februari 2015

Menlu Retno dan Nasib “Wong Cilik” di Kemenlu

Menlu Retno dan Nasib “Wong Cilik” di Kemenlu

Djoko Susilo  ;  Dubes RI di Bern 2010–2014
JAWA POS, 02 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

HARI ini hingga 5 Februari nanti, semua kepala perwakilan RI di luar negeri, baik duta besar, wakil tetap, konsul jenderal, maupun konsul RI, dipanggil pulang untuk menghadiri rapat besar di Pejambon, Jakarta. Rapat akbar para kepala perwakilan RI itu adalah yang pertama dilakukan pada masa Presiden Joko Widodo. Belum jelas apa arahan kepala negara ketika bertemu dengan para duta besar yang selama ini mewakili kepentingan bangsa Indonesia di luar negeri. Namun, bisa diduga bahwa presiden bakal mengingatkan para duta besar akan tugas utama mereka adalah ’’menjual Indonesia’’ di negara akreditasinya.

Saya sudah bisa memperkirakan bahwa seratus lebih duta besar dan konsul jenderal itu akan mengamini arahan presiden tersebut. Tetapi, dalam kenyataannya, arahan tinggal arahan karena implementasinya di lapangan bisa jauh dari harapan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa saat ini Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan kantor perwakilan RI beroperasi dengan anggaran yang pas-pasan dan bahkan kekurangan. Banyak KBRI yang kehabisan anggaran dan bahkan tidak punya dana mencukupi biaya rutin saja, seperti sewa kantor, pemeliharaan gedung dan peralatan serta gaji dan honor kegiatan. Sayangnya, tidak semua kepala perwakilan berani menyampaikan apa adanya kondisi yang dihadapi tersebut.

Dalam rapat akbar para duta besar itu, diharapkan setiap duta besar bisa memberikan laporan langsung mengenai kondisi yang dihadapi. Namun, selain tidak banyak yang berani berterus terang, umumnya waktu yang tersedia untuk mendiskusikan kondisi lokal setiap negara juga tidak memadai. Walhasil, rapat akbar yang digelar dua tahun sekali tersebut hanya seperti acara rutin yang tidak mempunyai dampak signifikan terhadap pelaksanaan politik luar negeri RI. Kegiatan KBRI dan KJRI serta perwakilan RI lainnya akan sama saja. Sebab, rapat penting itu tidak menohok masalah inti dari diplomasi: dukungan total semua pemangku kepentingan agar tujuan politik luar negeri berhasil bagi kepentingan nasional.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memang telah memperkenalkan jargon baru: diplomasi untuk rakyat. Tetapi, rupanya, menteri luar negeri perempuan pertama itu pun menyadari bahwa apa yang disampaikan adalah retorika kosong tanpa substansi berarti. Sebab, meski Retno seorang diplomat yang ulet dan cerdas serta cukup berpengalaman dalam berbagai negosiasi internasional, dia tidak mempunyai political leverage (dukungan politik) yang memadai yang bisa melobi pemangku kepentingan lainnya memberikan dukungan bagi misi ’’diplomasi untuk rakyat’’. Oleh karena iru, paling banyak yang bisa dilakukan adalah lip service diplomacy, mengamini arahan presiden untuk melakukan ’’diplomasi blusukan’’, antara lain dengan menjadi Menlu RI pertama yang berkunjung ke Ethiopia.

Meski demikian, Menlu Retno sesungguhnya mempunyai banyak ’’pekerjaan rumah’’ di Pejambon. Misalnya, dia harus membereskan masalah anggaran Kemenlu yang kelewat kecil. Dengan anggaran sekitar Rp 5,5 triliun untuk membiayai 130 perwakilan RI dan juga biaya diplomasi, termasuk perlindungan warga negara di luar negeri, jumlah tersebut kelewatan rendah. Anggaran itu hanya setara dengan anggaran sebuah direktorat di Kemendiknas. Bukan hanya jumlahnya yang relatif kecil terhadap tugas diplomasi yang diemban, tetapi Kemenlu juga ’’menderita’’ karena anggaran ditetapkan dalam rupiah, lalu ditransfer dalam USD. Masih beruntung kalau para diplomat bertugas di negara yang menggunakan USD. Mereka akan lebih menderita jika USD dibelanjakan ke mata uang lain yang lebih kuat, misalnya franc Swiss atau dolar Australia. Duta besar atau konsul jenderal biasanya tidak terlalu ’’menderita’’ karena mereka mendapat fasilitas perumahan dan kendaraan yang dibayar negara. Yang menderita adalah staf diplomatik dan staf lokalnya. Jika para ’’bos’’ di KBRI atau KJRI itu tidak sensitif terhadap nasib anak buah, sangat beratlah nasib para diplomat dan staf lokal tersebut.

’’Nasib buruk’’ sebagian para diplomat bergantung kepada sikap toleran para duta besar atau konsul jenderal. Ada duta besar yang menolak menaikkan gaji staf diplomat meskipun itu merupakan haknya. Menlu Retno juga harus membenahi nasib buruk ’’wong cilik’’ di lingkungan KVRI/KJRI. Nasib buruk juga disebabkan sistem yang dibuat para petinggi Kemenlu. Misalnya, staf lokal di KBRI/KJRI. Tidak peduli sudah berapa puluh tahun mereka bekerja bisa saja tiba-tiba kontraknya tidak diperpanjang tanpa kompensasi apa pun. Staf lokal itu juga berapa lamanya bekerja lembur hanya akan dibayar maksimum 25 persen dari gajinya. Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika para staf bekerja minimalis, apalagi di daerah yang memang gajinya rendah. Misalnya, mereka yang bekerja sebagai staf lokal di sejumlah perwakilan RI di beberapa negara di Asia.

Di kantor perwakilan sendiri ada sejumlah diskriminasi yang terasa, tetapi tidak tampak. Korps petugas komunikasi termasuk yang jenjang karir dan sistem penggajiannya tidak jelas. Banyak yang bertahun-tahun gajinya tidak naik dan nasibnya tidak berubah karena duta besar atau kepala perwakilannya menolak mengajukan perbaikan gaji. Para duta besar pun sebenarnya ’’dizalimi’’ Kemenlu karena selama menjabat sebagai kepala perwakilan RI gaji mereka tidak dibayarkan. Hanya, karena mereka umumnya pegawai Kemenlu dan sudah mendapat tunjangan pendapatan luar negeri dalam bentuk dolar, mereka tidak protes alias diam saja. Namun, di antara semua pegawai Kemenlu yang paling tidak jelas nasibnya, korps BPKRT (bendaharawan dan penata kerumahtanggaan).

Hingga saat ini, korps BPKRT mendapat angka pokok penggajian 55 persen dari angka indeks gaji perwakilan. Payahnya, angka itu tidak berubah sesuai dengan lama kerja dan berapa kali penempatan. Dengan kata lain, pimpinan Kemenlu telah melanggar hak paling dasar dari pegawainya karena tidak memberikan kenaikan gaji berkala sesuai dengan jenjang kepangkatan dan masa kerja. Tidak mengherankan jika sampai saat ini puluhan pegawai yang tergolong dalam kelompok BPKRT yang mengajukan pengunduran diri dari status PNS pegawai Kemenlu.

Menlu Retno Marsudi maupun Sekretaris Jenderal Kemenlu Kristiarto Legowo bukannya tidak menyadari adanya diskriminasi dan ketidakberesan dalam urusan jenjang karir dan nasib pegawai Kemenlu. Tetapi, mungkin mereka menganggap tidak prioritas atau sementara waktu hal itu bisa diabaikan karena toh tidak ada protes besar-besaran dari para PNS yang bernasib malang itu. Baik pejabat komunikasi maupun BPKRT, jumlahnya hanya ratusan dan mereka juga tidak mempunyai political leverage atau bobot politik yang bisa memperjuangkan nasib ’’wong cilik’’ dalam jajaran Kemenlu.

Ketika menjabat duta besar RI untuk Swiss selama empat tahun, saya pernah dua kali mengirimkan kawat mengingatkan Menlu (waktu itu) Marty Natalegawa dan Sekjen Kemenlu tentang dua hal: gaji para duta besar yang tidak pernah dibayarkan dan sistem jenjang karir serta penggajian pegawai negeri di luar negeri. Hingga saya mengakhiri tugas tahun lalu dan Marty juga melepas jabatan sebagai menteri luar negeri, nasib ’’wong cilik’’ di Kemenlu belum dipikirkan dengan serius.

Tampaknya, para pejabat Kemenlu enggan mengambil risiko memperjuangkan nasib orang lain sepanjang tidak menyangkut diri sendiri. Itulah sebabnya, jangan mengharapkan mereka juga melaksanakan tugas melindungi WNI di luar negeri dengan baik karena mereka juga tahu nasib mereka sebagai ’’wong cilik’’ dalam bingkai Kemenlu, juga tidak diperhatikan para pembesar di Pejambon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar