Membaca
Praperadilan Calon Kapolri Tersangka
Imawan Mashuri ; Komisaris
utama JTV dan beberapa perusahaan Jawa Pos Group, Mahasiswa Magister Hukum
Universitas Islam Malang
|
JAWA
POS, 02 Februari 2015
EPISODE ’’Pergelaran KPK vs Polri’’ pekan ini memasuki
babak praperadilan. Setelah pekan lalu Presiden Jokowi menyatakan
keputusannya tentang Kapolri menunggu hasil praperadilan, perhatian kini
tertuju pada bagaimana hakim menerapkan Bab X Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) tentang praperadilan ke dalam permintaan Komjen Budi Gunawan,
calon Kapolri yang protes atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi).
Sidang dimulai Senin hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Hakimnya juga sudah ditunjuk, yaitu Sarpin Rizaldi. Tergolong hakim
senior, tapi punya catatan. Komisi Yudisial, lembaga yang mengawasi para
hakim (Jawa Pos kemarin), mencatat ada delapan laporan atas dia. Satu di
antaranya tentang suap. Banyak pula putusan yang dibuat yang dinilai kontroversial.
Sarpin akan menentukan seorang diri –karena UU menentukan
hakim praperadilan adalah tunggal dan tergolong sidang cepat,
selambat-lambatnya dalam tujuh hari sudah harus menjatuhkan putusan– putusan
apa yang layak dijatuhkan. Apakah berpegang pada enam pasal yang dibatasi
dalam ketentuan praperadilan, yaitu pasal 77 sampai pasal 82 KUHAP, atau dia
–dengan kewenangannya yang dilindungi UU– akan menafsirkan sendiri permintaan
Budi Gunawan tersebut (untuk praperadilan, pengajuannya disebut permintaan,
bukan gugatan atau permohonan). Dan konon –kita belum tahu detailnya– permintaan Budi melalui penasihat hukumnya
adalah membebaskan dirinya dari status tersangka
yang ditetapkan KPK.
Di dalam enam pasal tentang praperadilan, tidak ada yang
menyebut tersangka bisa minta dianulir ketersangkaannya. UU No 8/1981 tentang
KUHAP dan Praperadilan ada di dalamnya, membatasi, permintaan praperadilan
adalah untuk memeriksa sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan, dan sitaan barang bukti yang tidak
termasuk alat pembuktian.
Tapi, ada celah, pada pasal 82 butir 3a disebutkan: Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan
atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat
pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka. Pada butir 3c disebutkan tentang
rehabilitasinya.
’’Tersangka!’’ Kata itu menjadi puncak dramatisasi bagi
Budi Gunawan maupun Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Keduanya bagaikan
’’berbalas pantun’’ dan lantas bukan saja institusi masing-masing yang
terdampak, tapi berbagai wilayah komunitas masyarakat ikut galau. Presiden
Jokowi tertuding sebagai biang persoalan karena menetapkan calon tunggal
Kapolri yang dinilai tidak bersih. Lalu, DPR dicibir punya motif di balik
kornya meloloskan tersangka Budi Gunawan dalam fit and proper test. Persoalan politik terus memanas. Keadaan di
masyarakat telah mendidih, kata Syafii Maarif, ketua Tim Sembilan yang
diminta merumuskan saran oleh Jokowi.
Babaknya hari ini memasuki sidang praperadilan. Bisakah
seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK tanpa terlebih dahulu
diperiksa? Kita bisa membaca pasal 44 UU No 30/2002 tentang KPK. Yaitu, bukti
permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya
dua alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun
elektronik atau optik.
Nah, dengan dua alat bukti itu, KPK harus menetapkan
penyidikan. Hasil penyidikan tentu adalah munculnya tersangka. Selanjutnya,
setelah ada tersangka, KPK tidak bisa dan tidak dibolehkan oleh UU (pasal 40
UU KPK) untuk menghentikan perkara. Karena itu, seorang tersangka pasti akan
menjadi terdakwa dan harus diadili di pengadilan.
KPK yang dibentuk berdasar pasal 43 UU No 31/1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No
20/2001 memiliki UU sendiri, yaitu UU No 30/2002 tentang KPK, yang isinya
memberikan kewenangan yang luar biasa dalam penanganan korupsi. Sebab,
penanganan korupsi, sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UU tersebut, belum
bisa dilaksanakan dengan optimal.
Kewenangan yang diberikan kepada KPK begitu luar biasa
sehingga hampir bisa melakukan apa saja untuk kepentingan penanganan
pemberantasan korupsi. Bisa mengambil alih perkara yang ditangani polisi atau
kejaksaan (pasal 10), bisa memerintah pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya (pasal 12 d), bisa
menggeledah dan menyita barang tanpa perlu izin pengadilan, dan seterusnya.
Bahkan, kalau polisi dan kejaksaan menyidik perkara korupsi, dalam waktu
maksimal 14 hari, mereka harus melapor ke KPK atas penyidikan itu.
Masih dijelaskan lagi dalam penjelasan UU KPK, dalam usaha
pemberdayaan, KPK didukung ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis,
antara lain, ketentuan dalam UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang
perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
memuat perluasan alat bukti yang sah serta ketentuan tentang asas pembuktian
terbalik. Dan seterusnya.
Dengan kewenangan yang luar biasa itu, keberadaan KPK yang lex specialis memungkinkan adanya
penafsiran institusi KPK bisa bekerja dengan pola due control (criminal
control system), yaitu berangkat dari kecurigaan khusus kepada pejabat
negara. Dengan kata lain, berpraduga bersalah. Dan untuk itu bisa menggunakan
asas pembuktian terbalik.
Dengan demikian, kalau memiliki dua alat bukti saja, KPK
sudah bisa menetapkan tersangka dan menyidik. Berbeda dengan kepolisian atau
kejaksaan yang merupakan alat kelengkapan pasti
negara. Mereka harus bekerja berdasar asas praduga tak bersalah dan bekerja
berdasar due process (criminal process system) karena
berhadapan dengan masyarakat umum.
Tapi, penerapan hukum positif seperti yang kita anut, yang
aturannya berbentuk teks, tidak luput dari penafsiran. Penafsiran dalam
penerapan hukum itu pun bergantung pada keterampilan yang meramu. Bagaimana
ramuan yang dibuat hakim tunggal Sarpin Rizaldi dalam putusan praperadilan
yang ditanganinya nanti? Mudah-mudahan bisa memberikan rasa adil dan memiliki
dasar yang kuat yang bisa menenteramkan. Dengan demikian, kita tidak seperti
menunggu nasib dengan menghitung bunyi tokek: ditolak… diterima... ditolak…
diterima… ditolak… ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar