Selasa, 03 Februari 2015

Membaca Konstruksi Simbolik Jokowi

Membaca Konstruksi Simbolik Jokowi

Bambang Setiawan  ;  Litbang Kompas
KOMPAS, 03 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Seratus hari pemerintahan Presiden Joko Widodo merupakan masa penuh penanda untuk melepaskan ingatan masyarakat pada gaya kepemimpinan lama dan membentuk narasi baru. Dengan sejumlah aktivitas dan kebijakannya, Presiden berusaha menorehkan simbol kepemimpinan yang berbeda.
Membentuk opini dengan meruntuhkan gambaran dan kekuatan politik lama, lalu merekonstruksinya, tampaknya menjadi sasaran utama dari awal masa pemerintahan baru Jokowi. Di bawah manuskrip berjudul ”Revolusi Mental”, masyarakat diinisiasi lewat sejumlah sekuel dramatik yang hadir ke hadapannya.

Revolusi Mental seolah menjadi frasa yang semakin dekat dan mudah dipahami, ketika sejumlah kapal pencari ikan ilegal tertangkap dan ditenggelamkan. Ada harapan baru yang diletakkan, yakni kedaulatan wilayah akan ditegakkan dan kejayaan maritim akan dihadirkan, sebagaimana tertuang dalam ”Nawa Cita” atau 9 Agenda Perubahan Jokowi.

Membangun mental baru, tampaknya memang sedang direalisasikan oleh pemerintahan Joko Widodo di awal pemerintahannya. Tidak hanya dengan membentangkan keberanian di wilayah kemaritiman, tetapi juga menyentuh ke dalam limit kehidupan, lewat penolakan grasi atas terpidana mati kasus narkoba.

Sebagai gebrakan awal, pemerintahan Jokowi cukup berhasil menarik perhatian masyarakat. Apresiasi yang ditunjukkan masyarakat cukup besar, sebagaimana tergambar dari survei Litbang Kompas.

Terhadap tindakan pemerintah menenggelamkan kapal asing pencari ikan yang melanggar batas wilayah, 87,6 persen masyarakat menyatakan dukungannya. Demikian juga terhadap penolakan Presiden untuk memberi grasi kepada narapidana mati narkoba, 78,6 persen memberikan persetujuannya. Hal senada juga dinyatakan terhadap ketentuan baru Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang melarang instansi pemerintah untuk rapat di hotel.

Cukup banyak pesan yang tampaknya hendak disampaikan oleh Presiden, yang dapat dibaca sebagai upaya konstruksi membentuk imajinasi baru model kepemimpinan. Meskipun dalam fragmen-fragmen yang terkadang bertentangan satu dengan yang lainnya. Namun upaya mewujudkan antitesa terhadap kekuasaan lama hadir sebagai tanda. Upaya simbolik membuat tradisi baru ini sudah dimulai sejak pidato pertama kemenangan pasangan Jokowi–Jusuf Kalla di atas kapal Phinisi dan prosesi budaya setelah pelantikannya sebagai presiden.

Langkah Presiden menaikkan harga premium dan solar di tengah turunnya harga minyak dunia, layak dibaca sebagai usaha menampilkan diri sebagai figur yang berani mengambil langkah tidak populer. Keberhasilannya bertahan dari guncangan popularitas, akan makin memperjelas sosoknya sebagai figur yang lain dari pemimpin-pemimpin sebelumnya.

Demikian juga dalam soal penolakan memberi grasi kepada narapidana kasus narkoba, tampak bahwa upaya membangun kedaulatan politik sekaligus juga memberi pesan simbolik bahwa presiden sekarang berbeda dengan presiden sebelumnya yang mudah memberikan grasi kepada warga negara tetangga dalam kasus yang serupa.

Walaupun sempat timbul gejolak akibat kenaikan harga BBM, tetapi tindakan menurunkan harga premium dan solar satu setengah bulan kemudian, membuat popularitas Jokowi tertahan dari kemerosotan. Terlebih, ketika pada dua minggu berikutnya pemerintah kembali mengumumkan penurunan harga BBM, gejolak sosial bisa dikatakan selesai.

Meski demikian, kenaikan harga BBM meninggalkan jejak ekonomi yang sulit dihapus, yakni kenaikan harga-harga barang dan jasa. Telanjur naik, susah turun. Inilah yang terjadi pada tarif angkutan dan beberapa jenis komoditas, yang dikeluhkan warga masih tetap bertengger di harga tinggi.

Kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengendalikan stabilitas harga barang dan jasa menjadi kelemahan utama yang dirasakan publik. Selain itu, sebagian orang juga belum merasakan adanya perubahan yang signifikan selama tiga bulan pemerintahan ini berjalan. Dan, dalam beberapa hal, pemerintah dinilai tidak konsisten. Tampaknya, inilah harga yang harus dibayar dari upaya membangun opini.

Independensi

Jika mempelajari tindakan-tindakan politik Jokowi dalam rentang yang cukup panjang, sebetulnya sulit untuk mengatakan figur kepemimpinannya mudah dikendalikan oleh partai politik. Independensinya dalam mengambil langkah politik dan kebijakan, adalah sisi yang justru melambungkan namanya. Namun, independensi itu tampaknya harus diuji lewat penunjukan Prasetyo sebagai Jaksa Agung dan pemilihan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon Kepala Polri.

Prasetyo adalah politisi Partai Nasdem. Ia menduduki posisi Jaksa Agung, mengalahkan nominasi sejumlah kandidat dari kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta figur lain di luar parpol. Namun, penunjukannya menimbulkan polemik adanya kepentingan partai dalam mengatur masalah hukum.

Polemik terbesar adalah langkah Presiden dalam pemilihan calon Kapolri. Rencana penggantian Jenderal Polisi Sutarman yang baru akan pensiun pada Oktober 2015, cukup menimbulkan tanda tanya. Terlebih, ketika kemudian Presiden mengusulkan Budi Gunawan, mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri, sebagai calon tunggal Kapolri kepada DPR tanpa melewati penilaian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Langkah KPK yang kemudian menjadikan Budi sebagai tersangka korupsi, tiga hari setelah diusulkan oleh Presiden, menimbulkan polemik berkepanjangan, terlebih ketika kemudian DPR meloloskan Budi dari uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon kepala Polri.

Jika dilihat dari latar belakang Budi yang lebih dekat kepada figur Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, maka diduga ada kepentingan partai dan rezim dalam penunjukan kepala Polri.

Sebagaimana diketahui, baik di rezim pemerintahan Megawati maupun rezim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pernah muncul persoalan yang belum seluruhnya tuntas hingga saat ini. Saat pemerintahan Megawati, ada kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Sementara itu, di pemerintahan Yudhoyono, muncul persoalan terkait pemberian dana talangan untuk Bank Century serta kasus Hambalang. Kepala Polri menjadi jabatan yang strategis untuk turut menentukan arah penuntasan kasus-kasus itu.

Meski demikian, kepolisian tak bisa berdiri sendiri. Ada pilar hukum lainnya seperti KPK dan kejaksaan. Selama ini, KPK menjadi lembaga yang dinilai baik oleh 88,5 persen responden survei. Dengan tingkat kepercayaan yang sebesar itu, nyaris sulit memberi pengaruh pada independensi KPK, kecuali lembaga ini melakukan blunder sendiri.

Akhirnya, jika yang dilihat adalah upaya rekonstruksi pada tatanan kelembagaan, menarik melihat yang ditulis Jokowi di laman Facebook-nya, ”Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti…,” Makna dari kalimat ini adalah segala sifat keras hati, picik, dan angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar.

Kalimat di laman Facebook-nya itu, patut diduga gambaran dari upaya Jokowi untuk menahan ego kelembagaan seperti yang tengah terjadi antara Polri dan KPK. Dengan langkah itu, lebih mudah bagi Jokowi untuk mengonstruksikan visi-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar