Selasa, 03 Februari 2015

“Jlomprongke”

“Jlomprongke”

Adi Andojo Soetjipto  ;  Mantan Ketua Muda Mahkamah Agung
KOMPAS, 03 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Kata ”jlomprongke” kiranya pas dengan suasana politik hari-hari ini. Berasal dari bahasa Jawa yang berarti ’sengaja membuat seseorang terperosok dalam kesulitan dan kesengsaraan’, terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah ’menjerumuskan’.

Biasanya orang yang rentan dengan tindakan itu adalah orang yang sombong, senang disanjung, tetapi sedikit bodoh. Sebaliknya, orang yang rendah hati tak akan mudah dijerumuskan karena dia dapat membedakan apakah suatu perbuatan itu murni ataukah ada maksud jahat di baliknya.

Apalagi kalau dia cerdik, pasti perbuatan itu akan dianalisis dengan cermat baik buruknya, untung ruginya, tepat tidaknya, sebelum akhirnya memutuskan. Orang yang rendah hati juga tidak kagetan dan tidak gumunan (mudah heran).

Menurut pikiran orang yang bodoh, dia tidak sadar bahwa orang-orang yang seolah-olah mendukung itu sebenarnya jlomprongke. Jika tidak cermat berpikir, dia akan merasa, ”Kebijaksanaanku hebat, dapat dukungan orang banyak!”

Setelah dipikir-pikir, barulah dia sadar bahwa sebenarnya sudah dikerjain. Bahayanya kalau sadarnya sudah terlambat dan berdampak pada hajat hidup orang banyak. Orang jadi bingung dan kehilangan pegangan. Orang bertindak ngawur dan anarki bisa terjadi. Celakalah kita mempunyai manajer seperti itu.

Kisah saudagar

Ada cerita tentang seorang saudagar yang pas dengan situasi ini. Saat ke kota, ia membawa dagangan di atas punggung keledai. Saudagar itu, bersama anaknya—yang berusia tujuh tahun—menuntun keledainya.

Di tengah jalan, mereka ditegur seseorang. ”Kasihan anakmu, masih kecil kok disuruh berjalan jauh. Mengapa bukan dia yang di atas punggung keledai?” Benar juga, pikir saudagar itu. Maka, dia naikkan anaknya di atas punggung keledai dan meneruskan perjalanannya.

Di tengah perjalanan, mereka bertemu orang lain. ”Masa bapaknya yang sudah tua berjalan, sedangkan anaknya yang masih kuat naik keledai?” Benar juga, pikir saudagar itu, maka gantian dia yang naik keledai dan meneruskan perjalanan ke kota.

Sebelum sampai ke kota, mereka bertemu orang lain lagi. ”Masa yang tua naik keledai, sedangkan anaknya disuruh jalan kaki. Kenapa tidak naik saja sekalian.”

Sang saudagar lalu mengangkat anaknya. Mereka berdua duduk di punggung keledai. Baru beberapa langkah berjalan, keledai yang keberatan beban itu ambruk dan mati.

Kita memang harus selalu waspada terhadap orang-orang yang kelihatannya mendukung kebijaksanaan kita, tetapi sebenarnya mau jlomprongke.

Sekarang banyak orang tidak jujur dalam arti ”satu kata dengan perbuatan”. Mereka cari muka demi jabatan dan dengan seribu satu cara mengejar kedudukan demi kepentingan diri. Banyak orang mengobral janji. ”Buaya timbul dikira mati. Berani sumpah tapi takut mati”.

Berhati-hatilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar