Selasa, 10 Februari 2015

Melantik Kapolri bukan Hak Prerogatif

Melantik Kapolri bukan Hak Prerogatif

Andi Irmanputra Sidin   ;   Ahli Hukum Tata Negara
MEDIA INDONESIA, 09 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

BEBERAPA minggu belakangan ini sebagian besar elite menyatakan bahwa pemberhentian dan pengang katan (pelantikan) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) merupakan hak prerogatif presiden. Tentunya hal itu tidak tepat karena hak prerogatif yang dimaksud dalam konstitusi kita sesungguhnya tak seperti itu. Hak prerogatif tersebut sesungguhnya merupakan warisan atau ampas yang tersisa dari monarki kepada pemegang kekuasaan pemerintahan dalam pertumbuhan sejarah sistem demokrasi.

Hak prerogatif kemudian terbangun sebagai kekuasaan presiden yang sifatnya eksklusif, istimewa diberikan konstitusi tanpa perlu mendapatkan pengaruh, kendali bahkan konsultatif sekalipun dari kekuasaan lainnya dalam pengambilan keputusan. Konstruksi konstitusi kita bahwa hak prerogatif Presiden ialah kekuasaan istimewa yang diberikan konstitusi secara konkret, mandiri kepada Presiden tanpa campur tangan, persetujuan atau kewajiban konsultatif dengan cabang kekuasaan atau lembaga negara lainnya.

Hak prerogatif itu bisa dalam konteks kebijakan atau aturan, bisa juga dalam hal kelembagaan negara. Dalam hal kelembagaan negara, hak prerogatif tersebut berada dalam dua dimensi, yaitu individual yaitu pengangkatan dan pemberhentian pemangku jabatan dalam lembaga negara tersebut dan dimensi institusional yaitu pembentukan, pengubahan, dan pembubaran lembaga negara tersebut. Hak prerogatif yang berada dalam dua dimensi tersebut ialah hak prerogatif penuh. Sementara itu, jika salah satunya saja, hal tersebut ialah hak prerogatif terbatas.

Kalau dahulu, mengangkat duta dan konsul dan menerima duta negara lain merupakan hak prerogatif terbatas karena presiden tidak dapat meniadakan (membubarkan duta dan konsul), tetapi bebas menentukan individu pemangku jabatan duta dan konsul tanpa keterlibatan pertimbangan DPR. Setelah perubahan pertama UUD 1945, mengangkat duta, konsul, dan menerima duta negara lain bukan lagi hak prerogatif baik penuh ataupun terbatas karena harus memperhatikan pertimbangan DPR.

Kalau dahulu, soal kementerian negara ialah hak prerogatif penuh presiden karena pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara tidak ditentukan konstitusi untuk diatur dalam undang-undang. Namun, setelah kehadiran Pasal 17 ayat (4) UUD 1945, presiden hanya memiliki hak prerogatif terbatas yang menyangkut hanya individu pemangku jabatan kementerian tersebut. Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan menterimenteri itu diangkat dan diberhentikan presiden. Hal itu bermakna pengangkatan dan pemberhentian seorang menteri tidak membutuhkan peran konsultatif atau persetujuan DPR atau kewajiban meminta rapor dari lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Terserah presiden

Saat ini, seolah publik menanti langkah presiden, terdapat pembenaran pertanyaan bahwa apakah Kapolri terpilih Komjen Budi Gunawan jadi dilantik atau tidak, karena itu merupakan hak prerogatif presiden. Sebelum sampai ke situ, yang perlu diuraikan di sini ialah pemberhentian dan pengangkatan (pelantikan) Kapolri bukanlah hak prerogatif presiden. Hal itu disebabkan presiden tidak dapat mengangkat Kapolri tanpa kendali, pengaruh, konsultasi, hingga persetujuan dengan lembaga rakyat (DPR) bahkan termasuk Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Polri adalah alat negara dalam UUD 1945, yang tidak ditempatkan sekamar dalam Bab V Kementerian Negara. Polri ditempatkan sekamar dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Bab XII Pertahanan dan Keamanan Negara. Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Polri sebagai alat negara karena komitmen reformasi kita tidak ingin lembaga itu menjadi instrumen politik kekuasaan dan dikendalikan sepenuhnya secara prerogatif oleh presiden. Kapolri dengan mudahnya diangkat dan diberhentikan presiden berdasarkan kepentingan privat yang menunggangi hak prerogatif tanpa perlu persetujuan rakyat (DPR). Komitmen reformasi itu sebelumnya telah dituangkan dalam ketetapan MPR VI /MPR/ 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan Ketetapan MPR/ Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Tap MPR Nomor VII/MPR 2000 inilah kemudian ditegaskan bahwa Kapolri bukanlah hak prerogatif presiden karena diangkat dan diberhentikan presiden atas persetujuan DPR.

Pasal dalam Tap MPR No VII/2000 itulah yang kemudian pernah menjadi dasar konstitusional yang membuat tubuh Polri terjadi dualisme kepemimpinan di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Kasusnya hampir mirip saat ini, kalau saat ini dalam hal `pengangkatan' cq pelantikan Kapolri terpilih Komjen Budi Gunawan, dulu ialah `pemberhentian' Kapolri.

Kala itu, Presiden Gus Dur tak bisa memberhentikan secara prerogatif Kapolri Jenderal Bimantoro, yang akhirnya Presiden memintanya mengundurkan diri. Namun, Kapolri menolak “..., saya tidak mau mengundurkan diri. Tapi kalau Gus mau mengganti saya, silakan,“ kata Bimantoro seperti dalam buku Melawan Skenario Makar: Tragedi 8 Perwira Menengah Polri di Balik Kejatuhan Presiden Gus Dur 2001 yang ditulis Edy Budiyarso. Bimantoro berlindung di balik Tap MPR Nomor VII/MPR Tahun 2000 yang mensyaratkan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri harus mendapat persetujuan DPR (Senin 11/1/2010, Viva.co.id).

Singkat cerita, akhirnya Presiden menonaktifkan Kapolri Bimantoro, diikuti dengan mengangkat (melantik) Wakapolri Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai `Kapolri dalam tugas'. Hal itu kemudian memunculkan problem konstitusionalitas karena menonaktifkan sama dengan memberhentikan yang harus dengan persetujuan rakyat (DPR). Saat itu muncul `duo Kapolri' atau `Kapolri ganda' yang kemudian mengeskalasi sangat cepat proses pemberhentian Presiden di MPR.

Tanpa alasan

Pasal 7 Tap MPR No VII/2000 itulah kemudian dilahirkan kembali dalam Pasal 11 UU No 2/ 2002 tentang Kepolisian Negara bahwa pemberhentian dan pengangkatan (termasuk pelantikan) Kapolri bukanlah hak prerogatif presiden. Bahkan tidak sampai di situ, UU Kepolisian tersebut juga mewajibkan presiden bahwa sebelum mengusulkan pengangkatan calon Kapolri untuk disetujui DPR, harus melibatkan kewenangan konsultatif Komisi Kepolisian Nasional. Presiden hanya mendapatkan hak istimewa untuk mengusulkan calon, itu pun harus disertai alasan salah satunya berdasarkan masukan Kompolnas. Pengusulan Ka polri tidak boleh atas kehen dak mandiri presiden tanpa alasan seperti pengangkatan dan pemberhentian menteri meski tanpa alasan (objektif).

Di saat kemudian rakyat (DPR) menyetujui usulan presiden dengan segala kekurangan sang calon, presiden tidak ada pilihan lain untuk melantik jika dalam waktu bersamaan pemberhentian Kapolri lama juga telah disetujui rakyat (DPR) dan presiden telah memberhentikannya. Setelah disetujui rakyat, pengangkatan Kapolri yang telah disetujui sudah berubah menjadi kewajiban konstitusional presiden yang tunduk pada rezim sumpah jabatan presiden Pasal 9 UUD 1945.

Oleh karena itu, ketika Budi Gunawan sudah disetujui rakyat beberapa waktu lalu, sesungguhnya yang bersangkutan sudah menjadi Kapolri terpilih yang wajib dilantik. Status konstitusionalnya sama dengan pasangan presiden terpilih, yang telah ditetapkan KPU dan telah melalui proses di MK. Maka MPR harus segera melantiknya di saat berhentinya presiden sebelumnya karena habis masa jabatannya dan tidak ada alasan bagi MPR untuk tidak melantik. Begitu pula dengan Kapolri terpilih, jika tidak dilantik presiden, itu akan menjadi preseden buruk bagi MPR ke depan untuk tidak melantik atau membatalkan pelantikan presiden yang telah dilakukannya.

Presiden akan bisa dinilai melanggar sumpah jabatan cq konstitusi jika tidak melantik Kapolri. Lalu pertanyaannya sampai kapan batas waktu bagi Kapolri untuk segera dilantik, prinsipnya segala yang melibatkan persetujuan rakyat (DPR) batas waktu konstitusionalnya hanya 30 hari.

Hal itu berpedoman pada persetujuan DPR akan rancangan undang-undang (RUU). RUU yang disetujui bersama antara presiden dan DPR, jika dalam 30 hari Presiden tidak mengesahkan, UU otomatis sah dan wajib diundangkan.

Dari konstruksi tersebut, pengangkatan Kapolri yang sudah disetujui DPR, maka 30 hari setelah disetujui Presiden wajib melantik. Jika presiden tidak melantiknya, lewat 30 hari Kapolri terpilih otomatis adalah Kapolri yang konstitusional dan rakyat cq DPR sudah punya kedudukan konstitusional untuk mengakui yang bersangkutan adalah Kapolri, pemegang tongkat komando dalam Kepolisian Negara RI. Hal itu akan bisa mengulang sejarah 12 tahun lalu ketika `Kapolri ganda' bisa muncul. Oleh karena itu, pengangkatan (pelantikan) hingga pemberhentian Kapolri bukanlah hak prerogatif presiden, tidak ada pilihan bagi presiden untuk tidak segera melantik Kapolri tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar