Kamis, 05 Februari 2015

Kongres Umat Islam

Kongres Umat Islam

Amirsyah Tambunan  ;  Sekretaris 0C KUII,
Dosen UIN pada Universitas Muhammadiyah Jakarta
REPUBLIKA, 04 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang saat ini dipimpin Prof Dr HM Din Syamsuddin MA mempunyai komitmen dan semangat yang kuat menggelar Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta pada 8-11 Februari 2015. Komitmen dan semangat yang kuat juga tecermin dalam pertemuan bersama dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam.

Setelah diskusi yang intens berhasil menetapkan tema besar (KUII) yang sangat strategis dan dibutuhkan umat dan bangsa, yakni penguatan peran politik, ekonomi, dan sosial budaya umat Islam untuk Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban. KUII akan dihadiri 700 peserta yang merupakan representasi umat Islam, terdiri atas tokoh perorangan, baik dari ulama, zuama, dan cendekiawan ormas Islam, unsur pondok pesantren, perguruan tinggi, lembaga kesultanan tingkat daerah, pusat, seluruh Indonesia. Selain itu akan menghadirkan partisipan dari lembaga-lembaga Islam luar negeri.

Banyak yang bertanya apa target kongres ini? Apa yang dihasilkan Kongres I hingga V? Apakah harapan besar umat dan bangsa terhadap Kongres VI akan tercapai? Dapat ditegaskan di sini bahwa target KUII VI, antara lain, kata Ketua Panitia Anwar Abbas, untuk memperkuat potensi ekonomi umat dalam kerangka penguatan paradigma Islam di nusantara. Di samping itu, untuk menyamakan persepsi demi kemajuan umat Islam mengawal Pancasila, kedaulatan NKRI berdasarkan UUD 1945.

Kongres ini bertujuan mengonsolidasikan agenda keislaman dan kebangsaan melalui penguatan persatuan dan kesatuan umat Islam di sektor politik, ekonomi, dan sosial budaya sekaligus memperkuat identitas peradaban Islam di nusantara. Secara khusus bertujuan melakukan evaluasi kritis kebijakan tata ruang Indonesia yang telah mengubah lanskap Tanah Air yang berorientasi kepada kapitalis yang merupakan anak kandung liberalisme.

Umat Islam sebagai komponen terbesar bangsa ini mengalami situasi sulit, dilematis, karena antara harapan dan kenyataan masih menyisakan banyak masalah. Masalah terbesar bahwa ekonomi dewasa ini dikendalikan kapitalisme atau kapitalis, yakni paham yang meyakini pemilik modal bisa melakukan usahanya meraih keuntungan sebesar-besarnya.

Berdasarkan prinsip ini, pemerintah belum efektif melakukan intervensi pasar guna meraih keuntungan bersama, tapi intervensi terhadap pemerintah dilakukan besar-besaran untuk kepentingan pribadi, kelompok tertentu.

Kita lacak akar masalahnya adalah besarnya pengaruh paham Adam Smith. Di satu sisi ini dosa besar Adam Smith dan di sisi lain tokoh yang mengikuti pemikiran itu dapat dikategorikan tanpa alasan (taklid) buta. Adam Smith tokoh ekonomi kapitalis klasik yang menyerang merkantilisme yang kurang mendukung ekonomi masyarakat. Ia menyerang birokrat yang menganggap tanah adalah paling penting dalam pola produksi. Gerakan produksi haruslah bergerak sesuai konsep MCM (modal-commodity-money).

Modal-komoditas-uang suatu hal yang tidak akan berhenti karena uang akan beralih menjadi modal lagi dan akan berputar bila diinvestasikan. Adam Smith memandang ada kekuatan tersembunyi yang akan mengatur pasar (invisible hand), maka pasar harus memiliki laissez-faire atau kebebasan dari intervensi pemerintah. Pemerintah hanya bertugas sebagai pengawas dari semua pekerjaan rakyatnya, bukan berpihak kepada rakyat.

Berdasarkan masalah ini, kritik dan solusi yang mesti menjadi perhatian kongres umat Islam adalah mengembalikan semangat dan komitmen mempertahankan hak ekonomi umat berdasarkan spiritualitas dan simbol Islam di nusantara yang menjadi ciri khas. Simbol Islam di nusantara berhasil digali dari kearifan lokal sebelum dan sesudah Indonesia merdeka. Para pahlawan kemerdekaan telah mewarisi semangat itu sehingga mampu bersikap arif, bijak memperjuangkan kemerdekaan NKRI.

Harapan dan solusi

Sejak awal Islam masuk ke nusantara abad ke-7 M dipercaya melalui jasa pedagang Arab Muslim. Itulah sebabnya umat Islam berupaya membentuk komunitas pasar tradisional—di mana ada komunitas umat, di situlah berdiri pasar. Tapi, kini pasar itu secara perlahan telah digeser para kapitalis.

Umat harus bersikap tegas menolak segala tipu daya kapitalis. Ini semangat yang diwariskan Rasulullah SAW. Umat Islam harus merebut dan mempertahankan pasar tradisional maupun pasar modern. Karena Islam berdasarkan Alquran dan sunah telah memberikan prinsip dan panduan kepada umatnya untuk berniaga atau berbisnis (tijarah) demi kebahagian dunia dan akhirat.

Konsep mekanisme pasar dalam Islam dapat dirujuk kepada hadis Rasulullah SAW sebagaimana disampaikan Anas RA, sehubungan dengan kenaikan harga-harga barang di Kota Madinah. Dengan hadis ini terlihat jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 14 abad) mengajarkan konsep mekanisme pasar daripada Adam Smith.

Dalam hadis tersebut diriwayatkan, “Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata, ‘Ya Rasulullah, hendaklah engkau menentukan harga.’ Rasulullah SAW berkata, ‘Sesungguhnya Allahlah yang menentukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.’”

Inilah teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah SAW dalam hadis itu tidak menentukan harga. Ini menunjukkan ketentuan harga diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Artinya, tidak boleh secara liberal menentukan harga pasar, tetapi berdasarkan nilai-nilai spiritual, nilai keadilan untuk mengabdi kepada Allah, karena segalanya milik Allah harus dikembalikan kepada-Nya.

Sungguh menakjubkan, teori Nabi tentang harga dan pasar karena ucapan Nabi SAW itu mengandung pengertian harga pasar itu sesuai kehendak Allah yang sunatullah atau hukum supply and demand. Menurut pakar ekonomi Islam kontemporer, teori inilah yang  mestinya meluruskan pemikiran Adam Smith dengan nama teori invisible hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak kelihatan. Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat dikatakan tangan-tangan Allah? Pertanyaan yang harus dijawab para pakar dan praktisi ekonomi.

Namun yang jelas, kezaliman dalam darah maupun harta telah kita saksikan melalui penguasaan tanah oleh kapitalis, di mana hak rakyat dirampas sehingga rakyat tidak lagi memiliki tanah yang cukup untuk bercocok tanam. Jika ini dibiarkan akan menimbulkan konflik horizontal dan vertikal.

Politik transaksional telah mengubah struktur dan komposisi kekuatan ekonomi. Sebaliknya, komponen terbesar umat Islam belum bisa menjadi pengendali. Kekuatan politik belum mampu mengendalikan distribusi kekuatan ekonomi umat sehingga cita-cita Indonesia yang berkeadilan dan berperadaban masih di persimpangan jalan.

Diharapkan KUII VI mampu membedah permasalahan umat dan bangsa sekaligus memberikan solusi. Pertama, berkaitan dengan sengkarut politik, peserta kongres diharapkan merumuskan format strategis politik Islam Indonesia yang kontributif. Karenanya diperlukan tokoh sentral perorangan maupun kelembagaan yang aspiratif dan berintegritas, kapasitas dan akuntabilitas yang kuat untuk memperjuangkan kepentingan umat dan bangsa.

Kedua, dalam konteks ekonomi kapitalis, diharapkan KUII memberikan dukungan bagi umat Islam menguatkan sektor ekonominya. Berkaitan dengan penguatan peran dan akses perekonomian umat Islam secara kelembagaan, sistem ekonomi syariah yang berkelanjutan maupun perorangan. Ketiga, merumuskan arah reformasi lanskap peradaban Islam mencakup tata ruang dan filosofi spiritualitasnya berdasarkan prinsip keadilan untuk Indonesia yang berperadaban.

Berdasarkan tiga hal itu, perlu dilakukan langkah strategis oleh semua komponen bangsa. Pertama, melakukan konsolidasi untuk penguatan gerak langkah (tansiqul harakah) dan menyamakan persepsi (taswiyatul manhaj) umat dalam membangun kekuatan ekonomi umat dan bangsa melalui lembaga pendidikan yang berorientasi pada keadilan dan berperadaban.

Kedua, berkaitan dengan penguatan peran dan akses perekonomian umat Islam baik secara sistem untuk kelembagaan seperti ormas, pesantren, perguruan tinggi maupun perorangan harus mampu membuka komunitas pasar yang sesuai budaya dan kearifan lokal untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.

Ketiga, bagi peserta KUII diharapkan menyosialisasikan dengan cara memahami dan melakukan aksi nyata usai kongres. Sebagai penutup, penulis mempunyai harapan besar kepada semua komponen bangsa agar kongres ini mendapat dukungan semua pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar