Sabtu, 14 Februari 2015

Ketakwaan Liberatif Pemimpin

Ketakwaan Liberatif Pemimpin

Zuly Qodir   ;   Peneliti Senior Maarif Institute, Jakarta
KOMPAS, 13 Februari 2015
                                                        
                                                                                                                                     
                                                

”Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius dengan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia yang telah final.”

(Din Syamsuddin, Ketua Umum MUI, 5 Februari 2015)

Mendasarkan pada pernyataan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia pada seminar Pra-Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta, 9-11 Februari 2015, itu, sebenarnya kita tinggal mengisi negara ini dengan pelbagai aktivitas menuju Indonesia yang adil, sejahtera, dan merdeka. Perdebatan tentang penggantian dasar negara Pancasila dengan dasar negara yang lain dapat dikatakan hanya menghabiskan energi yang kadang tidak produktif. Oleh karena itu, akan lebih baik jika energi bangsa ini ditujukan untuk membangun Indonesia yang lebih baik pada masa mendatang ketimbang berdebat tentang perubahan dasar negara.

Sebagai masyarakat religius, Indonesia pun mengakui berbagai agama. Agama-agama ”resmi” negara, yakni Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Islam, dan Konghucu. Di luar itu, masih banyak aliran baru dalam ranah kehidupan keagamaan di Indonesia, termasuk agama-agama suku yang sering disebut agama suku asli (indigenous religions).

Terlepas dari apa yang dinamakan ”agama resmi” dan ”agama suku”, semua memiliki ajaran kesalehan yang jadi substansi agama-agama di muka bumi. Ajaran kesalehan inilah yang sebenarnya perlu perhatian dari semua penganut agama di Indonesia mengingat betapa banyak persoalan di depan hidung umat agama-agama.

Jujur, adil, membebaskan

Tiga hal inilah—jujur, adil, membebaskan—yang hemat saya menjadi substansi dari ajaran agama-agama yang merupakan aktualisasi dari ketundukan kepada Tuhan sang khalik, yang tidak butuh pembelaan dari manusia sebagai ciptaan-Nya.

Manusia yang beriman pada Tuhan harus memiliki kesalehan total pada sang khalik. Bukti kesalehan total tersebut adalah ketundukan yang sempurna hanya pada Tuhan. Tuhan adalah segala-galanya tanpa kecuali. Manusia beriman harus berusaha, tetapi Tuhan tetap dipercaya sebagai pemberi mukjizat atas segala sesuatu yang diusahakan.

Dengan demikian, manusia beriman tidak akan sombong atas apa yang diraihnya. Manusia beriman dan saleh tidak akan rakus, zalim, menghina, membenci atau mengusir orang lain hanya karena berbeda agama atau berbeda etnis. Manusia yang beriman dan saleh berupaya mengaktualkan apa yang jadi ajaran susbtansial agama yang dia yakini.

Masyarakat religius dan saleh tak akan berbohong ketika jadi saksi atas perkara-perkara hukum di pengadilan sebab Tuhan maha hadir dan mengetahui atas segala aktivitas yang kita kerjakan. Tentu saja dengan pengawasan yang sempurna. Di muka bumi kita boleh berkilah dan bersilat lidah atas nama Tuhan, rasul dan orangtua, sekalipun semua merupakan kesaksian bohong. Tapi, di hadapan Tuhan tak satu pun yang dapat menyembunyikan kebohongan tersebut.

Karena itu, ciri kaum beriman dan saleh yang paling utama adalah jujur dalam berkata-kata, dalam berfatwa (berhujah), dalam bersaksi di pengadilan, dalam percakapan, dan benar dalam tindakan. Inilah sebenarnya ajaran pokok semua agama—apa pun namanya—karena percaya terhadap Tuhan yang maha hadir.

Selain jujur, seorang yang takwa mengaktualkan ketakwaan dalam berbagai aktivitas politik yang dijalani. Aktivitas politik adalah seni mengelola negara, bukan menghancurkan semua lawan politik serta membuat bodoh dan menimbulkan kemarahan rakyat. Politisi yang takwa (saleh) adalah politisi yang berani berkata salah jika memang salah. Berani mundur jika berbuat yang melanggar aturan negara dan aturan agama. Korupsi, misalnya, merupakan pelanggaran pada negara sekaligus terhadap agama, apa pun agamanya. Oleh sebab itu, siapa saja pejabat negara, elite politik, elite partai, dan bahkan anggota masyarakat biasa yang korupsi maka sebagai bentuk pertanggungjawaban atas perbuatannya harus mengaku salah, memohon ampunan, dan mundur sebagai pejabat atau aparat negara.

Orang yang takwa dalam berpolitik bersedia mendengarkan nasihat dari sesama umat Tuhan. Manusia takwa dalam beragama juga tidak akan menzalimi orang lain dengan berbagai macam tuduhan keji, menipu orang lain karena ingin berkuasa, mempraperadilankan pihak lain karena ingin berkuasa, serta tuduhan lain yang intinya hanya ingin menjatuhkan martabat dan harkat lawan politiknya. Orang yang takwa kepada Tuhan juga tak akan serta-merta melakukan tuduhan- tuduhan keji dan memfitnah orang lain di depan publik sehingga seakan-akan menjadi pahlawan pada kelompoknya dengan menjadikan orang lain sebagai pesakitan.

Semua itu tidak akan dilakukan oleh mereka yang percaya kepada Tuhan bahwa segala ucapan dan perbuatan akan dibalas Tuhan kelak nanti. Manusia takwa dengan demikian tidak membenci sesama sekalipun kalah dalam persaingan, tidak menzalimi lawan politik sekalipun sakit hati dan tidak memfitnah lawan politik dengan tuduhan-tuduhan keji dan kotor karena kemurkaan dan ambisi semata.

Di tengah karut-marut bangsa ini dalam bidang politik, ekonomi, dan etika, orang yang beriman dan saleh tidak akan berlaku tidak adil secara ekonomi atas orang yang berbeda agama dan berbeda etnis. Kasus yang sekarang terjadi, antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan Polri seharusnya tidak akan terjadi jika setiap orang yang mengaku beriman dan bertakwa tersebut benar-benar hendak mengaktualkan ajaran agama yang dianut dan dipercayainya.

Kesalehan liberatif

Tontonan keangkuhan Polri dan ketakberdayaan KPK dalam menegakkan pemberantasan korupsi tidak perlu berlarut-larut jika kita juga memiliki pemimpin yang merdeka, jujur, adil serta tegas dalam mengambil keputusan. Salah satu ciri orang takwa kepada Tuhan adalah berani berbuat karena kebenaran, bukan takut bertindak karena takut kepada sesama manusia yang dianggapnya lebih berkuasa daripada Tuhan.

Orang yang takwa dengan demikian harus memiliki pikiran merdeka, tegas dalam bertindak, dan tidak berperilaku zalim atas orang lain. Orang takwa, oleh karena itu, harus mampu berperilaku liberatif, yakni terbebas dari kerangkeng keangkuhan, kebencian, ambisi, dan bebas dari kerangkeng puji-pujian sesama manusia. Sebab pujian akan datang dan diberikan oleh Tuhan atas perkataan dan perilaku yang dikerjakan.

Semoga pemimpin dan para elite bangsa ini segera siuman sehingga karut-marut bangsa ini segera berakhir. Kesengsaraan rakyat segera beranjak menjadi kesejahteraan. Ketidakadilan berubah jadi keadilan dan kebohongan beranjak menjadi kejujuran. Umat Islam Indonesia secara khusus sebagai jemaah terbesar harus dapat menunjukkan betapa ketakwaan itu sangat penting diaktualkan dalam politik, dalam perilaku ekonomi dan etika pergaulan. Ketakwaan itulah sumber liberasi atas keangkuhan, kebencian, dan ketakadilan karena Tuhan membenci kezaliman dan kesombongan umat-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar