Sabtu, 14 Februari 2015

Dua Tahap Revisi Perppu Pilkada

Dua Tahap Revisi Perppu Pilkada

Didik Supriyanto   ;   Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
KOMPAS, 13 Februari 2015
                                                        
                                                                                                                                     
                                                

Situasi ketergesaan dan ketidakpastian selalu berulang setiap kali pemilihan kepala daerah hendak digelar. Menjelang pilkada gelombang pertama, yang dijadwalkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jatuh pada Juni 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak segera mengeluarkan peraturan pemerintah yang menjadi pedoman pelaksanaan pilkada. Peraturan itu baru keluar 11 Februari 2005, empat bulan sebelum jadwal. Padahal, tahapan pertama harus dilakukan enam bulan sebelum pemungutan suara.

Menjelang pilkada gelombang kedua yang dimulai Juni 2010, juga terjadi kesemrawutan dalam pengaturan teknis menyusul berlakunya UU No 12/2008 yang mengubah UU No 32/2004. Kali ini terdapat silang sengkarut masalah ketersediaan anggaran, sampai-sampai Komisi II DPR dan Menteri Dalam Negeri sepakat memundurkan jadwal ke tahun berikutnya. Namun, Presiden SBY menolak usulan tersebut sehingga pilkada dipaksakan tetap sesuai jadwal.

Bagi SBY dan Partai Demokrat, pelaksanaan pilkada sesuai jadwal terlihat lebih menguntungkan karena kemenangan Partai Demokrat dan SBY dalam satu putaran pada Pemilu 2009 akan bisa mengatrol perolehan suara calon-calon yang didukung Partai Demokrat. Kenyataannya, harapan itu jauh panggang dari api. Jika kali ini PDI-P, PKB, dan Mendagri tetap menghendaki pilkada digelar pada Desember 2015, alasan sebenarnya lebih kurang sama dengan SBY dan Partai Demokrat lima tahun lalu.

Jika dibandingkan dengan gelombang pertama, kualitas pilkada gelombang kedua jauh menurun. Sebab pokoknya adalah KPU daerah selaku penyelenggara pilkada diintervensi kepala daerah dengan memainkan politik anggaran. Karena bekerja dalam tekanan, KPU daerah tidak bisa melaksanakan tahapan pilkada dengan baik, termasuk mengantisipasi politik uang dan kecurangan. Mahkamah Konstitusi pun kebanjiran perkara sengketa hasil pilkada.

Kengototan PDI-P, PKB, dan Mendagri untuk memaksakan pelaksanaan pilkada serentak pada Desember 2015 tentu tidak akan terjadi jika mereka berkaca pada kekacauan Pilkada Juni 2010. Apalagi, kemenangan yang dibayangkan oleh SBY dan Partai Demokrat juga tidak terjadi. Dalam hal ini, kepentingan bangsa, keselamatan negara, dan pembangunan demokrasi mestinya jadi pertimbangan utama (Didik Supriyanto, ”Demi Siklus Pemilu”, Kompas, 6/1/2014).

Revisi terbatas tak cukup

Karena dibuat dalam waktu singkat dan tidak sempat dikritisi oleh para pemangku kepentingan, Perppu No 1 Tahun 2014 yang telah ditetapkan sebagai undang- undang oleh DPR, Selasa (20/1), mengandung banyak masalah. Tujuan utama perppu menyelamatkan penyelenggaraan pilkada langsung oleh rakyat sudah tercapai, tetapi peraturan ini tak bisa diimplementasi jika tidak direvisi.

Masalah terlihat mulai dari redaksional, sistematika, hingga substansi. Perppu No 1/2014  memiliki tujuh salah ketik terhadap angka, kata, dan frasa. Misalnya, ”BAB XXVII” tidak ada, padahal bab terakhir tertulis ”BAB XXVIII PENUTUP”. Juga tertulis ”pasangan calon”, padahal seharusnya ”calon” saja. Peraturan ini pun menghilangkan tahapan pendaftaran pemilih dan tahapan penetapan hasil pilkada, yang merupakan tahapan tersendiri, sehingga seharusnya menjadi bab tersendiri juga dalam susunan pengaturan.

Masalah substansi juga tersebar luas, mulai dari judul yang terus diperdebatkan (mengatur ”pemilihan kepala daerah” atau ”pemilihan umum kepala daerah”;  memilih ”gubernur, bupati, dan wali kota” atau ”gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota”), nomenklatur yang harus diluruskan (misalnya tidak ada pembedaan arti antara ”penyelenggaraan” dan ”pelaksanaan”), alur rekapitulasi penghitungan suara yang meloncat (dari TPS langsung ke KPU kabupaten/kota), sampai soal formula calon terpilih (ada putaran kedua atau tidak).

Dibandingkan dengan UU No 32/2004 dan UU No 12/2008, Perppu No 1/2014 mengatur tujuh substansi baru: (1) pencalonan tunggal, (2) pencegahan politik dinasti, (3) uji publik, (4) pembatasan dana kampanye, (5) penyelesaian sengketa hasil pemilihan ke MA, (6) pemungutan dan penghitungan suara elektronik, dan (7) pilkada serentak. Namun, pengaturan tujuh substansi ini menimbulkan ketidakpastian hukum karena masing- masing berpeluang dibawa ke MK, baik karena terdapat ketidakjelasan dan kontradiksi atau karena dinilai melanggar konstitusi.

Singkat kata, demi keadilan dan kepastian hukum penyelenggaraan pilkada, Perppu No 1/2014 harus direvisi. Tetapi, revisi terbatas saja tidak cukup karena begitu banyak materi yang bermasalah, baik yang jelas-jelas salah atau kurang maupun yang masih diperdebatkan. Namun, revisi komprehensif tidak mungkin dilakukan dalam waktu cepat karena masa sidang II DPR berakhir pada 18 Februari. Padahal, jika mengacu pada beberapa ketentuan dalam perppu, jika pemungutan suara serentak digelar pada Desember 2015, pada Februari ini tahapan pertama harus dimulai.

Ubah jadwal dahulu

Untuk mengatasi dilema tersebut, revisi sebaiknya dilakukan dua tahap: pertama, revisi terbatas, yang khusus mengubah jadwal pilkada serentak. Kedua, revisi komprehensif, yang mengubah pasal-pasal yang perlu disempurnakan. Revisi pertama dilakukan pada masa sidang II DPR yang akan berakhir pada 18 Februari 2015, sedangkan revisi kedua dilakukan pada masa sidang III dan masa sidang IV, yang akan berakhir pada 14 Juli 2015. Dengan demikian, DPR dan pemerintah punya waktu cukup untuk membahas revisi perppu sehingga hasilnya maksimal.

Revisi pertama Perppu No 1/2014 terbatas pada Pasal 201 Ayat (1) dan Ayat (2) guna mengubah jadwal Pilkada Serentak 2015 dan Pilkada Serentak 2018 menjadi Pilkada Serentak 2016 dan Pilkada Serentak 2017. Dengan revisi ini, DPR dan pemerintah memiliki waktu untuk melakukan revisi kedua yang lebih komprehensif pada masa sidang III dan masa sidang IV. Yang lebih penting lagi, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota juga memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2016 dan Pilkada Serentak 2017 sehingga penyelenggaraan pilkada akan lebih berkualitas.

Revisi kedua Perppu No 1/2014 lebih komprehensif karena menyangkut semua pasal yang perlu disempurnakan. Perubahan kedua ini harus memastikan bahwa waktu penyelenggaraan pilkada cukup delapan bulan: enam bulan meliputi pendaftaran pemilih, pendaftaran calon (termasuk di dalam uji publik atau pengenalan calon), kampanye, serta pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS; ditambah dua bulan untuk rekapitulasi penghitungan suara, penetapan hasil, penyelesaian sengketa hasil pilkada, dan pelantikan.

Jika tahapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2016 dimulai awal Januari 2016, akhir Agustus 2016 calon terpilih sudah dilantik. Setelah dilantik, calon terpilih masih sempat ikut membahas APBD perubahan, sesuatu yang penting untuk menunjukkan janji kepala daerah baru.

Selain pengaturan uji publik atau pengenalan calon, beberapa isu yang harus dibahas dalam perubahan kedua Perppu No 1/2014 adalah perapian sistematika, penggunaan nomenklatur, susunan tahapan pelaksanaan, model pencalonan (tunggal atau pasangan), pembatasan dana kampanye (ruang lingkup dan bentuk sanksi), serta formula calon terpilih (cukup satu putaran atau perlu putaran kedua). Waktu empat bulan mungkin terlalu singkat untuk merevisi perppu secara komprehensif. Namun, jika DPR dan pemerintah sudah berkomitmen, bisa diselesaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar