Senin, 09 Februari 2015

Jurnalisme

Jurnalisme

Bre Redana   ;   Penulis kolom “Catatan Minggu” Kompas Minggu
KOMPAS, 08 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Saya mengamini apa yang diucapkan oleh Gabriel Garcia Marquez, pengarang penerima Nobel, bahwa jurnalisme adalah pekerjaan terbaik di dunia. Setidaknya saya mengalami masa lebih dari 30 tahun lampau, ketika para editor, meski sebagian tidak lulus kuliah, tetapi lebih cemerlang dibandingkan para doktor dan profesor. Modal yang membawa saya bisa bergabung dengan mereka juga bukan kurikulum kuliah, melainkan pengalaman pers kampus. Waktu itu pers kampus tidak menulis lomba menyanyi dan komunitas bersepeda ria, tetapi bagaimana menyubversi penguasa.

Di ruang redaksi yang tidak ada sekat, banyak asap rokok, gelas sisa kopi di meja, kami wartawan muda belajar berbagai hal. Produk tulisan dan berita yang muncul tiap pagi adalah hasil percakapan informal, dilakukan dengan santai kadang disertai debat keras, ada yang duduk di kursi, di meja, berdiri sembari memegang gelas kopi, dan lain-lain. Perusahaan surat kabar sebagai pabrik gagasan menjadi produktif karena semangat egaliter.

Kami tidak kenal waktu. Ngobrol sore hari, setelah bertugas di lapangan, berpanas-panas dengan mengendarai Vespa. Bisa pula tengah malam, usai editor membereskan tugas penyuntingan. Diskusi kadang berlarut-larut, sampai tengah malam, lewat tengah malam, dini hari: dan kami pun tidur di kantor. Ada yang di atas meja, di kolong meja, atau mes di seberang jalan. Mereka yang tidak berada dalam atmosfer itu, malas bercakap-cakap soal jurnalisme melulu, adalah mereka yang mengira diri wartawan, padahal sebenarnya bukan.

Sebagian besar dari kami selalu runtang-runtung bersama-sama. Malah juga tinggal bersama-sama di mes di bilangan Kwitang, Jakarta Pusat. Dari bangun tidur sampai terkantuk-kantuk hendak jatuh tertidur lagi, percakapan hanya soal jurnalisme. Kami tidak menyebutnya pekerjaan: ini inklinasi hidup kami. Bersyukur, bahkan sekadar mengembangkan inklinasi hidup, kami dibayar. Kehidupan yang guyub dalam pertemanan dan persahabatan itu menyisakan ruang sangat minim bagi kehidupan pribadi. Banyak yang telat nikah, padahal kami tidak jelek-jelek amat.

Akurasi berita, kebutuhan atas perspektif, kehendak untuk ikut memberikan arah perkembangan, dengan sendirinya menumbuhkan keinginan kami untuk memiliki fondasi kebudayaan. Secara otomatis, membaca menjadi kebutuhan. Di mana pun, para otodidak cenderung lebih bersungguh-sungguh. Para senior saya adalah orang-orang hebat. JB Kristanto, Valens Doy, Parakitri, Raymond Toruan—untuk menyebut beberapa nama.

Sepanjang berkarier sebagai wartawan saya tidak pernah punya tape recorder. Itu gara-gara penekanan pemimpin dan penanggung jawab kami: kalian bukan ember. Tape recorder mendengar tetapi tidak menyimak, memiliki kemampuan mengulang tetapi tidak berpikir, setia dan akurat tetapi tanpa hati. Wawancara adalah konfrontasi gagasan, tegas pemimpin.

Maka, kami hanya terbiasa dengan buku kecil disebut notes. Modal kami menghadapi sumber berita adalah notes, telinga, dan kesadaran termasuk kesadaran etis. Yang terakhir itu tak bisa ditawar-tawar. Ketika persoalan kian kompleks, hitam dan putih sulit dibedakan, semua di wilayah abu-abu, pada kesadaran etis itulah kami kembali.

Kini, jurnalisme berkembang sedemikian rupa. Wartawan kian banyak, hierarki diutamakan. Teknologi komunikasi makin canggih. Banyak yang terus mempertinggi keterampilan untuk menguasai teknologi. Bagus juga, siapa tahu nanti mesin dan robot bisa mengatasi inefisiensi.

Pendidikan juga berkembang. Jurnalisme disebut dengan nama ilmu komunikasi. Saya pernah diminta untuk memberi ceramah mengenai komunikasi dan industri media.

Saya tidak sanggup, takut menjadi tertawaan. Soalnya saya tidak tahu komunikasi. Yang saya tahu jurnalisme. Industri media saya juga tidak paham. Apalagi rincian, bagaimana memuaskan pelanggan. Yang saya tahu, kebenaran, truthfulness, tidak selalu menyenangkan semua orang. Apa peduli saya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar