Senin, 16 Februari 2015

Jakarta Perlu Belajar dari Kota Lain

Jakarta Perlu Belajar dari Kota Lain

Ivan Hadar  ;  Arsitek, Perencana Kota, Direktur Eksekutif IDe
KORAN SINDO, 14 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Jakarta kembali menjadi berita yang tidak membanggakan, meski sudah bisa diprediksi. Metropol Indonesia yang pada 22 Juni 2015 nanti hampir berusia setengah milenium ini, menggondol gelar terburuk.

Baru-baru ini, setelah sebelumnya oleh The Economist, Jakarta mendapat predikat kota paling berbahaya, Castrol Magnatec Stop-Start menobatkan Jakarta menjadi kota paling macet di dunia. Lebih dari itu, tujuh tahun lalu, penelitian Badan Lingkungan Hidup Dunia (UNEP, 2009) mendudukkan Jakarta pada peringkat ke-3 sebagai kota paling buruk kualitas udaranya di dunia setelah Mexico City dan Bangkok. Tinggal di Jakarta yang sangat padat sungguh jauh dari kenyamanan.

Hampir semua sumber kehidupan yang vital seperti air dan udara, sudah tidak layak lagi dikonsumsi. Hasil penelitian UNEP tersebut menunjukkan 90% sumur contoh yang dioperasikan secara acak di kota metropolitan ini terbukti mengandung ekoli, bakteri yang berasal dari kotoran manusia. Tidak seperti air, manusia tidak bisa memilih udara yang layak.

Penyebab utamanya adalah emisi gas buang kendaraan bermotor. Untuk menangkalnya, Pemerintah DKI memang sudah mulai menerapkan peraturan bahwa setidaknya 20% kendaraan angkutan umum harus menggunakan bahan bakar gas dalam beberapa tahun ke depan.

Pemprov DKI Jakarta juga telah menyusun RTRW 2010- 2030 yang, sayangnya, diprotes berbagai pihak karena dianggap tidak partisipatif. Melihat timbunan persoalan berat yang melilit Jakarta, banyak pula yang meragukan apakah mungkin membuat perencanaan bagi Jakarta dan sekitarnya, yang kini berpenduduk 20 juta jiwa ini. Lebih dari 50 tahun lalu, antropolog terkenal Claude Levy Strauss (1955) menulis bahwa Sao Paulo, Brasil, ”berkembang demikian cepatnya sehingga tidak mungkin melakukan perencanaan atasnya.

”Padahal, ketika itu pusat perekonomian Brasil ini baru berpenduduk 2,5 juta jiwa. Tak terbayangkan, apa kesan mendiang Levi Strauss seandainya melihat Sao Paulo, apalagi Jakarta saat ini. Menurut World Watch, arus deras manusia yang menyerbu megapolitan di negara-negara berkembang, bukan disebabkan kemakmuran kota, tetapi akibat kemiskinan desa.

Belajar dari Kota lain

Secara teoretis, arus urbanisasi ini akan lebih terbendung seandainya sentra-sentra di daerah mampu menawarkan lapangan kerja cukup. Pada aspek ini, sebenarnya ada ”titik temu” kepentingan antara Jakarta dan daerah. Jakarta yang memiliki kebutuhan mendesak untuk mengurangi beban kelebihan penduduk, pencemaran lingkungan, dan kemiskinan, seharusnya menjalin hubungan saling menguntungkan dengan daerah.

Jakarta bisa menjembatani— atau melakukan investasi langsung—di daerah terutama dalam sektor industri padat karya. Boleh juga dicoba program pemulangan ”putra daerah” dari Jakarta untuk mengisi berbagai lowongan pekerjaan di daerah. Status Jakarta sebagai ibu kotanegara, sekaligustempat kegiatan administratif dan bisnis, juga ditengarai mengakibatkan semua persoalan tumplek blek di kota ini.

Rencana pemindahan lokasi kegiatan administrasi pemerintahan ini, kiranya perlu dihidupkan kembali. Pemutusan lingkaran setan permasalahan Jakarta, tampaknya harus menjadi bagian dari prioritas perencanaan pembangunan pemerintah, termasuk pemerintah pusat, lima tahun ke depan. Pelibatan warga dalam proses perencanaan adalah sebuah keharusan, termasuk dalam kemungkinan merevisi RTRW 2010-2030.

Shakespeare pernah memformulasikan sebuah kalimat pendek berisi pertanyaan sekaligus jawaban, ”Apakah kota itu, kalau bukan penduduknya.” Masyarakatluas, terutamadari lapis sosial menengah-bawah yang menjadi mayoritas penduduk kota adalah mereka yang dalam kesehariannya menghidupkan kota. Namun, mereka ini dalam perencanaan kota sama sekali tidak dilibatkan dan dalam implementasi biasanya menjadi pihak yang selalu dirugikan.

Idealnya, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan jangan lagi menjadi monopoli perancang kota dan penentu kebijakan. Cukup banyak bukti menunjukkan bahwa warga kota sering kali lebih mengetahui permasalahan sesungguhnya dan mampu mengeluarkan ide-ide kreatif asalkan mereka diajak berembuk tentang kotanya. Beberapa praktik cerdas berikut patut dipertimbangkan.

Dari mancanegara, Porto Alegre bisa menjadi contoh sebuah model inovatif dan partisipatif, dalam bentuk Orcamento Participativo (OP) atau keterlibatan warga dalam perencanaan anggaran. Dalam kerangka OP, kota dibagi dalam sub-regions , di mana warga dalam forum-forum lokal dan regional berdiskusi tentang permasalahan kota, serta mencarikan solusinya.

Sejak beberapa tahun terakhir, warga Porto Alegre dapat langsung memutuskan penggunaan dana sebagai investasi bagi kemaslahan lapis sosial bawah terkait air minum, kanalisasi, jalan, pendidikan, pembuangan dan daur ulang sampah, perbaikan alat transportasi kota, serta pengadaan jaringan pembuangan air limbah. Suksesnya ”Model Porto Alegre” telah menjadi acuan ratusan dewan kota di Brasilia dan beberapa negara Amerika Latin.

Dalam kaitan ini, model demokrasi representative-procedural, setidaknya di Brasilia, semakin kehilangan pamor dibandingkan keterlibatan langsung warga kota lewat OP. Dari dalam negeri, Jokowi yang kini menjadi RI 1, dan sempat menjadi gubernur DKI Jakarta, kala menjadi wali kota Solo pernah mendemonstrasikan bagaimana memanusiakan warganya. Ketika harus memindahkan pedagang kaki lima, dia lebih dulu mendengar inspirasi para pelaku sektor informal itu.

Ia tak memilih jalan pintas lewat pengerahan aparat atau membakar lokasi. Tak heran, acara pemindahan berlangsung mulus dan meriah, lengkap dengan arak-arakan yang diramaikan pasukan keraton. Kita berharap pelajaran dari Solo, Porto Alegre, dan banyak kota lainnya bisa menjadi masukan bagi pembenahan Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar