Senin, 16 Februari 2015

DPR (Bukan) Anutan Rakyat

DPR (Bukan) Anutan Rakyat

Victor Silaen  ;  Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
KORAN SINDO, 14 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

DPR adalah lembaga negara yang terhormat, kumpulan orang yang terpilih dengan susah-payah demi memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka niscaya cerdas, bijak, dan layak dipercaya. Namun mengapa sejak dulu hasil survei selalu menyimpulkan DPR merupakan lembaga terkorup? Pakar politik Fachry Ali pada 31 Januari lalu menyebutkan, ”Sebanyak 39,7% responden mengatakan DPR sebagai lembaga negara terkorup, disusul dengan institusi Kepolisian RI sebesar 14,2%.” Survei yang dilakukan pada periode 16-22 Januari 2015 itu juga menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sebagai lembaga yang ”bersih”.

Hanya 12,5% responden yang percaya pada partai politik. Selain itu, survei menunjukkan hampir separuh responden (49%) kurang percaya dengan DPR dalam menjalankan fungsi dan tugas pokoknya sebagai lembaga legislatif. Hanya sebanyak 23% responden masih mempercayai DPR. Pada akhir 2005, DPR memanggil Transparency International Indonesia (TII) untuk meminta penjelasan atas hasil survei TII yang menempatkan parlemen sebagai lembaga terkorup nomor dua setelah partai politik.

Tahun-tahun berikutnya, hingga 2009, tetap saja parlemen diposisikan sebagai lembaga terkorup di negara ini. Tahun 2009, dari skor 1 (tidak korup) sampai 5 (sangat korup), parlemen memperoleh skor 4,4 (naik 0,2 poin dari posisi pada 2008). Sungguh prihatin. Padahal mereka adalah wakil rakyat yang tugas utamanya adalah bersuara (parle) untuk dan atas nama rakyat.

Jika mereka adalah wakil rakyat yang sejati, tentulah nafsu besar menumpuk kekayaan bagi diri sendiri tak ada di sanubari mereka. Tapi, apa lacur, alih-alih rajin bersuara lantang untuk dan atas nama rakyat, mereka malah rajin bolos seperti anak sekolahan yang nakal. Itulah sebabnya mereka kerap disoroti khalayak ramai. Selain gemar bolos, mereka juga suka ”tidur bersama” di ruang sidang.

Perilaku buruk mereka yang lainnya masih ada, yakni bermain gadget, mulai dari SMS (short messages service), foto-foto hingga online untuk sesuatu yang tentunya tak terkait dengan kepentingan rakyat. Itulah cerminan wakil rakyat kita yang kian lama kian menyebalkan. Sudah digaji besar, dapat fasilitas mewah dan tunjangan ini itu, masih juga tega mengecewakan rakyat.

Maka wajar saja jika banyak orang memberi penilaian negatif terhadap mereka. Sebab kinerja politisi itu umumnya memang jauh dari memuaskan. Belum lagi mengamati hobi sebagian dari mereka yang suka jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding, padahal hasilnya nyaris tak ada dan tak pula pernah diumumkan kepada publik.

Belum lagi kalau para wakil rakyat yang studi banding ke luar negeri itu pakai bawa-bawa orang lain (entah keluarganya, asistennya, dan entah siapa lagi). Tidakkah mereka pernah berpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu sebenarnya sudah menghabiskan uang negara secara tidak produktif? Kalau dulu ada label sindiran ”4D” (datang, diam, duduk, duit) bagi para wakil rakyat itu, khusus untuk mereka yang gemar bolos mungkin labelnya sekarang cukup ”1D” saja, yakni duit.

Sebab, kalau datang saja jarang, lantas bagaimana bisa ”duduk” dan ”diam” di rumah rakyat itu? Itulah gambaran wakil rakyat minus keterpanggilan. Tak aneh kalau pada 2013 pimpinan DPR pernah mengungkapkan keprihatinannya atas kecenderungan menurunnya tingkat kedisiplinan para wakil rakyat itu. ”Itu akan menjadi perhatian bagi kita semua, utamanya Badan Kehormatan DPR,” kata Ketua Badan Kehormatan Muhammad Prakosa (26/ 2/2013).

”Dalam peraturan DPR RI Pasal 243 ayat 2 disebutkan bahwa kehadiran anggota DPR diwajibkan secara fisik,” imbuhnya. Namanya kewajiban, mestinya diikuti sanksi jika dilanggar. Namun, adakah kita pernah mendengar tentang anggota DPR yang diberi sanksi karena rajin membolos? Tidak. Itulah sebabnya sebagian besar dari mereka dengan entengnya mencalonkan diri lagi untuk periode 2014-2019 dan kebanyakan dari mereka lolos alias dapat kursi lagi di parlemen, bahkan ada yang kemudian jadi menteri di kabinet Presiden Jokowi.

Sekarang, alih-alih wakil rakyat itu makin rajin datang, mereka malah tidak mau menggunakan sistem elektronik melalui cap jempol (finger print) untuk daftar hadir. Mereka lebih menyukai sistem daftar hadir manual dengan tanda-tangan di atas kertas. Menurut Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Roem Kono, bila memakai finger print , seakanakan hal itu sama dengan praktik absensi pegawai swasta di dunia perbankan.

”Kami bukan pegawai bank. Kita bukan pegawai seperti lembaga lain. Ini lembaga politik, lembaga pengambil kebijakan. Yang penting adalah kuorum,” kata Roem Kono, 20 Januari lalu. Padahal, pengadaan alat finger print itu memakan dana besar hingga miliaran rupiah di DPR periode sebelumnya. Kendati demikian, Roem mencoba meyakinkan bahwa peralatan itu tetap akan dipakai pada waktunya. Menurut dia, peralatan finger print memang belum diaktifkan karena alasan teknis.

”Belum diaktifkan. Itu persoalan kecil dan masalah teknis,” kata Roem Kono. Arogan betul dia. Apa maksudnya membandingkan diri dengan pegawai bank? Jangankan pegawai bank, sejak beberapa tahun terakhir ini bahkan guru, dosen, dan jenis-jenis profesi lain juga sudah banyak yang menerapkan sistem kehadiran secara elektronik. Tujuannya, tentu saja, demi kedisiplinan dan ketertiban sehingga masuk dan pulang dari kantor bisa diketahui sesuai dengan ketentuan atau tidak.

Sebab kalau masuk dan pulang seenak sendiri, lalu bagaimana bisa menjadi anutan bagi orang-orang lain? Sejujurnya kita kecewa, bahkan muak, melihat para wakil rakyat yang mestinya dapat menjadi anutan bagi rakyat itu. Kita patut curiga, jangan-jangan mereka menganggap masuk ke DPR itu sebagai sumber mata pencarian sekaligus tahapan antara untuk menggapai ambisi berikutnya semisal menjadi kepala daerah, anggota kabinet, dan sebagainya.

Maka, layaklah jika dikatakan mereka bukan anutan rakyat. Tak pelak, sejumlah kritik patut disampaikan buat mereka. Pertama, menjadi wakil rakyat yang terhormat itu sulit karena diperlukan intelektualitas yang cukup dan wawasan yang dalam. Sebab sebagian pekerjaan rutin wakil rakyat itu adalah bersidang dan beradu argumen. Untuk itu setiap wakil rakyat harus berani bersuara dan mampu berpikir kritis-rasional.

Kalau kedua syarat itu tidak dipenuhi, yang terjadi mungkin tiga hal ini: (1) bicara lantang tapi ngawur, (2) mengerti apa yang dibahas dalam sidang tapi diam saja, (3) tidak mengerti apa pun yang dibahas dalam sidang dan karena itu selalu diam. Jika ketiga hal itu yang terjadi, alih-alih menjadi penyuara aspirasi rakyat, keberadaan mereka di parlemen nyaris sia-sia karena memboroskan anggaran negara.

Seandainya kursikursi politik yang mereka duduki itu ditempati orang-orang lain yang memang berkompeten, tidakkah rakyat senang dan negara pun produktif dalam mengelola anggarannya? Kedua, menjadi wakil rakyat itu seharusnya dianggap sebagai beruf (calling, panggilan yang bersifat Ilahi).

Konsekuensinya, setiap wakil rakyat harus bekerja benar, tulus, serius, tekun, dan disertai tanggung jawab yang besar. Ketiga , karena ini amanah rakyat, rajinlah bertanya kepada rakyat apa kemauan mereka. Utamakanlah rakyat alih-alih mengutamakan partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar