Kamis, 19 Februari 2015

Hukum dalam Blokade Politik

Hukum dalam Blokade Politik

Saharuddin Daming  ;  Dosen Fakultas Hukum Universitas Ibn Khaldun Bogor, Mantan Komisioner Komnas HAM
REPUBLIKA, 17 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Meski reformasi telah bergulir lebih dari 16 tahun, tapi cita-cita untuk menjadikan hukum sebagai panglima tampak semakin mengalami pembiasan menjadi alat komoditas politik. Tengoklah proses pengisian jabatan kapolri yang kini menjadi bola liar di ruang publik. Pemegang otoritas yang harusnya menghadirkan sosok kapolri yang benar–benar bersih, visioner, kapabel, akuntabel, dan berintegritas tinggi, justru mempromosikan Komjen Budi Gunawan (BG) yang terindikasi korupsi.

Kita tak habis pikir pengaruh dan keistimewaan yang melekat pada Komjen BG sehingga pemegang otoritas tak menggubris status tersangka yang disematkan KPK kepada Komjen BG. Tidak salah jika Transparansi Internasional maupun berbagai pihak telah menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup ketiga di dunia.

Semula kita berharap para anggota Komisi III DPR kelak menolak pencalonan Komjen BG sebagai kapolri dalam fit and proper test. Rupanya seluruh fraksi di Komisi III DPR malah solid menyematkan sanjungan kepada Komjen BG. Hebatnya lagi karena Sidang Paripurna DPR tertanggal 15 Januari 2015 mengukuhkan Komjen BG sebagai kapolri.

Hal ini sungguh berbanding terbalik dengan model pemerintahan SBY yang mempersyaratkan rekrutmen pejabat publik harus bebas dari perbuatan tercela. Tidak mengherankan jika dalam masa pemerintahan SBY, tiga menterinya, yaitu AA Mallarangeng, Suryadharma Ali, dan Jero Wacik, langsung menyatakan mundur dari jabatannya pascaditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Sayangnya, tradisi konstruktif tersebut sama sekali asing bagi Komjen BG. Padahal, sebagai penegak hukum, yang menjunjung tinggi etika kebangsaan (TAP MPR No VI/2001), harusnya malu dan menolak pencalonan dirinya. Sebagai bagian dari warga negara, tetap harus taat hukum karena tidak ada orang yang kebal hukum.

Karena didasari oleh dukungan luas yang berselimutkan ambisi besar, Komjen BG justru mengabaikan penetapan dirinya sebagai tersangka. Dengan mengajukan praperadilan dan pranata Korsa demi memperoleh simpati dari para koleganya di jajaran Bhayangkara. Politik pembenturan antara KPK dan Polri agar terulang kembali kisah cicak melawan buaya. Celakanya lagi karena segelintir akademisi malah ikut memprovokasi dengan fatwa agar Presiden Jokowi tidak perlu mendengar bisikan dari Tim 9 dan tetap melantik Komjen BG sebagai kapolri tanpa peduli dengan tekanan KPK dan publik. Sikap akademisi seperti ini sungguh jauh dari karakteristik ilmuwan sejati yang pantang menebarkan paham kesesatan.

Kerancuan lain juga tampak dari hasil validasi yang dirilis Mabes Polri, tidak digubris oleh KPK. Anehnya karena sebagian besar politisi kita saat ini justru lebih mempercayai hasil verfifikasi Bareskrim Polri atas transaksi yang dianggap wajar dalam rekening gendut milik Komjen BG. Mereka sengaja lupa reputasi dan prestasi KPK dalam mengungkap skandal korupsi yang melibatkan sejumlah perwira tinggi Polri, seperti Komjen Suyitno Landung, Brigjen Samuel Ismoko, dan Irjen Joko Susilo. Semua tuduhan KPK yang dialamatkan kepada mereka akhirnya terbukti benar walaupun dibantah pada awalnya.

Parahnya karena semua delik yang diungkap oleh KPK tersebut terjadi ketika mereka masih duduk sebagai pejabat aktif di lingkungan Polri. Jika investigasi Polri memang objektif dan terpercaya untuk jajaran internal, maka skandal ketiga pati Polri di atas tidak perlu terjadi karena selalu dapat terdeteksi oleh sistem investigasi Polri. Sayang, semua itu hanyalah klaim sepihak yang sangat tajam jika menyangkut kepentingan eksternal Polri, tetapi menjadi tumpul jika menyangkut kepentingan internalnya.

Andai perkara itu diserahkan kepada Polri, maka sangat boleh jadi perkara tersebut mengalami nasib seperti perkara Komjen BG. Bareskrim Polri merilis hasil investigasi dengan tekanan: clear. Padahal, dalam investigasi KPK yang dibantu PPATK justru menyimpulkan hal sebaliknya. Ini bukti bahwa kualitas clear yang menjadi produk Bareskrim Polri ternyata jauh tertinggal daripada kualitas hasil investigasi yang dilakukan KPK.

Ironisnya karena sekalipun Komnas HAM telah merilis hasil investigasinya bahwa kriminalisasi terhadap pimpinan KPK oleh Polri merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan (eksesif use force), tapi Bareskrim Polri tak bergeming sedikit pun, bahkan DPR seolah-olah ingin mendelegitimasi status tersangka yang disematkan KPK terhadap Komjen BG. Asas praduga tak bersalah pun digunakan sebagai tameng untuk menjustifikasi keabsahan sang Komjen sebagai calon kapolri. Due process of law tiba-tiba nyaring disuarakan untuk mengandaskan ketegasan KPK yang dianggap menyalahi prinsip negara hukum.

Kontrasnya karena hanya KPK yang selalu dituding menyalahi doktrin tersebut dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Padahal, institusi Polri melalui Densus 88 justru lebih banyak menginjak–injak prinsip due process of law. Sudah bukan rahasia lagi bagi kita bahwa setiap Densus 88 dalam melakukan operasi penangkapan kepada siapa pun yang disinyalir sebagai teroris hingga berujung pada penghilangan nyawa hanya didasarkan pada data intelijen. Meski demikian, tak ada satu pun herois gadungan di Senayan yang berani mengatakan bahwa tindakan Densus 88 itu melanggar asas praduga tak bersalah maupun due process of law.

Tragisnya karena sekalipun KPK dalam menetapkan status tersangka kepada seseorang atas dasar alat bukti yang sah dan memadai menurut hukum, tetap saja ada reaksi dari Senayan yang mempersoalkannya. Jika tekanan mereka tak digubris, mereka pun kontan bersuara sumbang untuk merevisi atau membubarkan KPK. Di sinilah kita dapat membuktikan betapa rentannya hukum dikambinghitamkan oleh politik yang dikendalikan atas dasar kepentingan.

Untuk memutus mata rantai epos cicak verus buaya, maka presiden dalam memilih calon kapolri haruslah figur yang benar-benar berjiwa reformis, komitmen membersihkan Polri dari jaringan rekening gendut serta mendukung pemberantasan korupsi tanpa konfrontasi dengan KPK. Ini adalah solusi jangka pendek. Sedangkan untuk jangka panjang, Bareskrim dan KPK harus dilebur menjadi satu di bawah lembaga investigasi negara atau nama lain.

Itu berarti KPK harus bubar seiring dengan keluarnya Bareskrim dari Polri. Jadi, tupoksi Polri cukup dalam bidang kamtibmas. Sistem kepemimpinan dan rekrutmen lembaga baru tersebut meniru model kepemimpinan KPK sekarang. Formasi penegakan hukum seperti ini jauh lebih efektif dan efisien serta menafikan terjadinya friksi. Wacana ini ditentukan oleh political will presiden dan DPR untuk mengganti UU No 2/2002 tentang Polri jo UU No 30/2002 tentang KPK.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar