Kamis, 05 Februari 2015

Dampak Ekonomi Kasus Budi Gunawan

Dampak Ekonomi Kasus Budi Gunawan

Nugroho SBM  ;  Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB)
Universitas Diponegoro (Undip) Semarang
KOMPAS, 05 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

BANYAK pihak khawatir terhadap ’’keragu-raguan’’ langkah Presiden Jokowi menyelesaikan kasus pencalonan Komjen Budi Gunawan —yang ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi oleh KPK— sebagai kapolri, yang bahkan sudah disetujui DPR.

Majalah terkemuka ekonomi, The Economist (edisi 24-30 Januari 2015) mengeluarkan komentar bernada pahit tentang hal ini, ’’Bagi para pendukungnya sekalipun, Jokowi kini mulai kehilangan sebagian kilau sinarnya yang sebelumnya berpendar-pendar…’’

Beberapa pengamat dan pelaku ekonomi itu mengaitkan keragu-raguan sikap Jokowi dengan tafsir ketidaktegasannya memberantas korupsi. Padahal korupsi merugikan dunia usaha karena akan menambah biaya yang akhirnya produsen harus memilih menaikkan harga barang. Padahal itu akan mengurangi daya saing produk dan jasa yang dihasilkan.

Memang, kasus Budi Gunawan belum menimbulkan sentimen negatif di pasar modal dan pasar uang. Artinya, pasar belum ’’menghukum’’ keragu-raguan Jokowi. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir Januari 2015 masih bertahan di tingkat 5.289, bahkan seminggu sebelumnya menembus batas psikologis baru di tingkat 5.300.

Di pasar uang atau valuta asing, rupiah memang melemah ke tingkat Rp 12.600 per dolar AS. Namun kondisi itu lebih disebabkan oleh sentimen positif membaiknya ekonomi AS dan isu berakhirnya stimulus fiskal yang dilakukan Bank Sentral AS (The Fed).

Keragu-raguan Jokowi memutuskan kasus Budi, tampaknya masih bisa ditutup oleh ketegasannya untuk beberapa hal. Pertama; kebijakannya menaikkan harga BBM, setelah sekian lama tidak dinaikkan. Meskipun, harga BBM kembali diturunkan sampai dua kali karena harga minyak dunia terus menurun. Hal itu memberi respons positif terhadap pasar.

Kedua; tindakan berani Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, yang atas instruksi Jokowi, menenggelamkan kapal asing pencuri ikan. Tindakan itu menimbulkan efek jera dan menghindarkan kerugian negara yang mencapai Rp 300 triliun. Ketiga, penyanderaan di penjara bagi wajib pajak yang membandel. Hal ini bisa mendukung target penerimaan pajak di APBN 2015 yang dipatok cukup tinggi, yaitu Rp 1.221 triliun.

Keempat; beleid merealisasikan kebijakan satu atap perizinan investasi pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga patut diapresiasi. Kebijakan tegas di bidang hukum juga ditunjukkan melalui eksekusi mati bagi pengedar narkoba.

Sebenarnya, ketegasan Jokowi untuk tidak melantik Budi Gunawan bisa lebih menambah kepercayaan pasar. Selain itu, pemerintahan Jokowi-JK perlu melakukan beberapa langkah positif. Pertama; dengan tetap mempertahankan harga BBM, diperkirakan pemerintah punya dana tambahan Rp 217 triliun.Namun pemerintah harus segera menunjukkan bukti penggunaan dana itu, semisal untuk pembangunan waduk dan irigasi serta infrastruktur seperti jalan dan listrik.

Kedua; mempertahankan tingkat inflasi rendah. Inflasi Indonesia terus menurun, yakni tahun 2013 sebesar 8,38 persen dan tahun 2014 menurun menjadi 8,36 persen. Padahal selama 2 tahun itu pun ada kenaikan harga BBM. Dengan memperkirakan harga BBM 2015 tak dinaikkan, atau andai dinaikkan tidak drastis mengingat perkiraan kenaikan harga minyak dunia maksimal 60-70 dolar AS per barel maka inflasi 2015 diperkirakan hanya 4-5 persen.

Stabilisasi Harga

Inflasi sebesar itu bisa tercapai bila pemerintah bisa menstabilkan harga kebutuhan pokok setelah harga BBM turun. Inflasi rendah adalah modal bagus bagi dunia usaha yang tidak akan kehilangan konsumen potensialnya karena daya beli tak tergerus inflasi tinggi. Bagi perbankan, inflasi rendah juga jadi modal menurunkan suku bunga kredit, terutama kredit UKM dan koperasi yang merupakan bagian terbesar badan usaha di Indonesia.

Ketiga; mengubah aliran modal asing yang sebagian besar berbentuk investasi tidak langsung (pembelian surat-surat berharga) menjadi investasi asing langsung. Caranya dengan melaksanakan secara konsisten perizinan investasi satu atap dan memberantas segala bentuk korupsi dan pungutan liar sehingga biaya investasi bisa lebih murah.

Pemerintah perlu melakukan hal itu karena diperkirakan 2015 dana asing kembali menyerbu Indonesia. Sentimen positif kemembaikan perekonomian AS dan menjelang berakhirnya stimulus fiskal dari The Fed menjadikan dana asing dalam bentuk dolar AS ’’membanjiri’’ negara adidaya itu.

Kondisi itu menyebabkan indeks pasar modal AS, yaitu Dow Jones mencapai rekor baru di atas 18.000. Namun hal itu tak berlangsung lama karena indeks kembali terkoreksi tajam ke tingkat 17.164. Hal ini logis karena pemilik dana yang rasional tak akan menaruh semua dananya di AS mengingat mereka harus memecah risiko dan juga hasil.

Tiga kebijakan itu bisa meningkatkan kepercayaan pasar sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015 bisa mencapai 5,5 persen, bahkan 5,8 persen. Pertumbuhan ekonomi setinggi itu bisa ikut mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar