Senin, 16 Februari 2015

Beban Baru dari Penguasa Baru

Beban Baru dari Penguasa Baru

Kusfiardi  ;  Analis Ekonomi Politik
KORAN SINDO, 13 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Hari ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dijadwalkan akan mengesahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) Tahun Anggaran 2015 menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun Anggaran 2015.

Mengiringi pengesahan RAPBN-P 2015 menjadi APBN-P 2015, perlu rasanya mengemukakan beberapa hal penting menyangkut arah kebijakan pemerintah. Dalam Nota Keuangan (NK) RAPBNP Tahun Anggaran 2015 pemerintah membatasi diri dalam mengoptimalkan upaya penerimaan pajak. Alasan pembatasan itu agar tidak mengganggu perkembangan investasi dan dunia usaha.

Bahkan pemerintah tak segan memberikan insentif perpajakan dan bea masuk yang ditanggung pemerintah bagi sektor-sektor usaha tertentu. Pemerintah sendiri tidak menjelaskan lebih jauh mengenai sektor tertentu yang dimaksud. Pada alokasi pendapatan negara, pemerintah justru menggenjot kenaikan penerimaan dari pajak pertambahan nilai (PPn), pajak bumi dan bangunan (PBB), serta cukai.

Penerimaan PPn dalam APBN 2015 dipatok Rp524,97 triliun, sementara di RAPBN-P 2015 angka itu melonjak menjadi Rp576,47 triliun. Angka itu sudah disepakati dalam postur sementara RAPBN-P 2015. Kemudian penerimaan PBB dalam APBN 2015 sebesar Rp26,68 triliun juga digenjot menjadi Rp26,69 triliun di RAPBN-P 2015 dan sudah disepakati dalam postur sementara RAPBN-P 2015.

Lalu penerimaan cukai dalam APBN 2015 sebesar Rp26,68 triliun juga dinaikkan menjadi Rp26,69 triliun dalam RAPBN-P 2015 dan disepakati dalam postur sementara RAPBN-P 2015. Kenaikan target penerimaan dari PPn, PBB, dan cukai bukan saja berdampak menekan daya beli, tapi juga bisa menambah berat beban rakyat. Hal inilah yang harus juga mendapat perhatian pemerintah.

Beban rakyat masih akan bertambah seiring dengan keputusan pemerintah melakukan penghapusan subsidi BBM jenis premium pada sisi belanja negara. Bersamaan dengan itu pemerintah mengurangi subsidi untuk BBM jenis solar melalui alokasi subsidi tetap. Alokasi belanja subsidi bahan bakar minyak (BBM), liquefied petroleumgas (LPG), dan bahan bakar nabati (BBN) yang di APBN 2015 berjumlah Rp276 triliun dibabat habis menjadi hanya Rp81,8 triliun dalam RAPBN-P2015.

Angka itu masih dipangkas lagi sehingga dalam postur sementara RAPBN 2015 menjadi RP64,7 triliun. Kebijakan menghapuskan subsidi tersebut berpotensi menimbulkan rentetan ketidakstabilan ekonomi yang dipicu volatilitas harga BBM. Bahkan lebih jauh hal itu sangat berpotensi mendorong kenaikan harga barang dan jasa. Secara akumulatif kondisi tersebut akan berpengaruh buruk pada kesejahteraan rakyat dan dapat memicu naiknya angka kemiskinan dan pengangguran.

Tampaknya pemerintah tidak peduli bahwa BBM adalah faktor produksi penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintah juga seolah tak peduli keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa kebijakan menyerahkan harga BBM mengikuti mekanisme pasar bertentangan dengan konstitusi.

Menambah Utang

Meskipun sudah menghapus subsidi premium dan memangkas subsidi BBM lainnya dengan alasan efisiensi, ternyata kebijakan itu tak berpengaruh banyak pada defisit anggaran. Defisit dalam APBN 2015 tercatat mencapai Rp245,9 triliun, pada RAPBN-P 2015 menjadi Rp225,9 triliun, dan di postur sementara RAPBN-P 2015 menjadi Rp224,1 triliun.

Pada sisi pembiayaan untuk menutupi defisit, pemerintah menegaskan masih akan setia menggunakan pembiayaan yang bersumber dari pinjaman luar negeri. Dalam APBN 2015 penarikan pinjaman luar negeri (bruto) sebesar Rp47 triliun, kemudian dalam RAPBN-P 2105 naik menjadi Rp49,2 triliun. Dalam postur sementara RAPBN-P 2015 disepakati menjadi Rp48,6 triliun.

Pemerintah juga melakukan komitmen pinjaman siaga sebesar Rp61 triliun yang bersumber dari Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Japan Bank for International Cooperation (JBIC), dan Pemerintah Australia. Pemerintah juga menerbitkan surat utang negara (SUN). Penerbitan SUN oleh pemerintah tidak hanya dengan denominasi rupiah, tetapi juga dalam denominasi valuta asing. Pemerintah menambah penerbitan surat berharga negara (SBN).

Pemerintah berencana mendapatkan pembiayaan melalui penjualan SBN denominasi rupiah dan dolar AS sebesar Rp38 triliun. Penambahan utang tersebut dilakukan pemerintah untuk membiayai penyertaan modal negara (PMN). Dalam APBN 2015 alokasi PMN hanya Rp5,1 triliun. Namun angka itu melonjak drastis dalam RAPBN-P 2015 menjadi Rp72,9 triliun. Kemudian dalam postur sementara RAPBN-P 2015 menjadi Rp64,8 triliun.

Jauh dari Harapan Rakyat

Potret kebijakan anggaran yang tecermin dalam NKRAPBN- P 2015 menunjukkan bahwa pemerintahan baru belum mengakomodasi perubahan sesuai harapan rakyat. Tentu rakyat berharap agar pemerintahan baru bisa menjalankan kebijakan yang dapat membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Harapan tersebut bukan saja wajar, tetapi juga mendapatkan legitimasi dari konstitusi UUD 1945.

Pasal-pasal dalam konstitusi negara secara jelas mengamanatkan kepada pemerintahan untuk senantiasa melindungi segenap tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia. Namun, sayang, pemerintahan baru yang saat ini berkuasa masih berwatak sama dengan rezim terdahulu. Tampak tak hendak bersungguh-sungguh menjalankan amanat konstitusi. Sebaliknya kuat sekali kesan patuh pada investor dan pengusaha walaupun harus melanggar konstitusi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar