TKA
Ilegal dan TKA Legal
Moh Mahfud MD ; Ketua
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN): Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 07 Januari
2017
Suatu
hari menteri hukum dan HAM mendapat telepon dari seseorang yang memberi tahu
di Bandara Soekarno-Hatta ada 21 orang asing yang sedang diinterogasi karena
dicurigai masuk secara ilegal.
Sang
menteri segera meluncur ke imigrasi bandara untuk memeriksa sendiri.
Kesimpulannya, “Mereka harus dipulangkan, saat itu juga”. Perintah diberikan,
pelaksana di lapangan menyatakan, “Siap, laksanakan”. Beberapa hari kemudian
sang menteri mendapat telepon lagi, diberi tahu, di sebuah rumah di Jakarta
telah digerebek beberapa orang asing yang menjadi pekerja seks komersial
(PSK). Sang menkum-HAM pun meluncur ke tempat itu untuk memastikan apa yang
terjadi dan bagaimana masalah keimigrasiannya. Setiba di lokasi sang
menkum-HAM kaget.
Orang-orang
yang digerebek sebagai PSK itu adalah orang-orang yang sama dengan orang-orang
yang beberapa hari sebelumnya dipergoki di Bandara Soekarno-Hatta dan sudah
diperintahkan agar dipulangkan hari itu juga. Jadi, meskipun aparat di
bawahnya menyatakan “siap, melaksanakan” untuk memulangkan orang-orang asing
itu, ternyata rombongan pendatang haram itu tetap masuk ke jantung Ibu Kota.
Mereka bisa dengan leluasa menjadi tenaga kerja secara ilegal. Ilegal karena
tidak ada izin kerjanya dan ilegal juga jenis pekerjaannya sebagai PSK.
Mungkin
Anda penasaran, siapa gerangan menkum-HAM tersebut? Yang jelas menkum-HAM
tersebut bukan menkum-HAM yang sekarang, Pak Yasona Laoly, tetapi seorang
menkum-HAM yang menjabat belasan tahun sebelum 2004. Tidaklah terlalu penting
untuk tahu menkum-HAM yang mana itu. Yang penting diketahui, sebenarnya
urusan tenaga kerja asing (TKA) ilegal itu kalau dari sudut hukum itu sangat
simpel, mudah diselesaikan, yaitu dipulangkan dengan paksa atau dideportasi.
Dan,
kalau pemerintah melakukan itu, tidak akan terlibat konflik dengan negara
lain karena setiap negara berwenang untuk memulangkan paksa TKA ilegal.
Negara asal TKA ilegal itu tidak akan bisa mempersoalkannya secara hukum.
Masalahnya hukumnya mudah, tapi penegakannya di birokrasi sering koruptif.
Harus diyakini pula, kalau berbicara tenaga kerja ilegal, tenaga kerja
Indonesia (TKI) di luar negeri diyakini jauh lebih banyak daripada TKA ilegal
yang masuk ke Indonesia.
Tak
perlulah menyebut banyak negara, cukup kita contohkan di dua negara saja, TKI
ilegal sudah mencapai jutaan orang. Ketika pergi ke Malaysia beberapa waktu
lalu saya diberi tahu oleh otoritas resmi, ada lebih dari 2,5 juta WNI di
Malaysia dan sekitar 1,4 juta di antaranya ilegal. Kalau pergi ke Arab Saudi
misalnya, kita pun menjadi tahu bahwa ada ratusan ribu TKI ilegal di sana.
Kita tentu masih ingat pada awal 2000-an Pemerintah Malaysia
yang dipimpin Mahathir Mohammad mengangkut tidak kurang dari 70.000 TKI dari
Malaysia dan menurunkannya begitu saja di Nunukan, Kalimantan Utara karena
mereka bekerja secara ilegal.
Kalau
pergi ke Arab Saudi, kita juga langsung tahu ada sebuah rumah tahanan Tarhil
Sumaysyi, di Sijjin (di dekat Mekkah) yang menampung ribuan WNI yang akan
dipulangkan secara paksa karena bekerja secara ilegal di sana. Secara hukum Indonesia
pun bisa melakukan langkah seperti yang dilakukan Malaysia dan Arab Saudi
terhadap TKA ilegalnya. Yakni, tangkap kemudian adili mereka dan atau
pulangkan dengan paksa mereka karena pelanggaran hukum keimigrasian. Tetapi,
problem kita dalam mengatasi persoalan ini terletak di birokrasi kita yang
korup.
Dalam
banyak kasus, para TKA ilegal dan agen-agennya itu bekerja sama secara
melanggar hukum dengan oknum-oknum di birokrasi kita. Caranya, bisa dengan
pembiaran paspor palsu, penyalahgunaan visa, penampungan secara gelap,
pemberian izin tanpa wewenang, dan sebagainya. Contoh simpelnya, ya,
pengalaman menkum-HAM kita yang saya ceritakan di atas. Dia sudah memergoki
dan langsung memerintahkan pemulangan paksa, tapi ternyata TKA ilegal itu
masih bisa masuk dengan leluasa ke rumah penampungan PSK.
Kalau
tidak bekerja sama dengan oknum di birokrasi kita, hal tersebut tidak mungkin
bisa terjadi. Jadi, kalau urusan TKA ilegal itu, penyelesaiannya secara hukum
dan prosedural mudah asalkan birokrasi kita ditata dengan benar. Inspeksi
mendadak yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi dan Saber Punglinya cukup
membuktikan betapa virus korup sudah begitu parah menggerogoti lini-lini
birokrasi kita.
Pembenahan
birokrasi secara cepat dan tegas, dengan demikian, menjadi salah satu kunci
utama untuk mengatasi berbagai korupsi di negara kita, termasuk korupsi lolos
dan amannya TKA ilegal di negara kita. Dalam konteks TKA sebenarnya yang juga
menjadi masalah penting adalah TKA yang legal atau dilegalkan melalui persetujuan
resmi. Menurut berita yang belum dikonfirmasi secara resmi, banyak proyek
yang sedang dilakukan di Indonesia sekarang ini yang bahan-bahan atau
material dan pekerjapekerjanya dibawa dari negara yang berinvestasi di
Indonesia.
Mulai
dari kayu, semen, paku, pekerja ahli, maupun pekerja kasar sampai pada tukang
sapu, tukang angkat-angkat, dan angkut-angkut dibawa dari negara yang
berinvestasi. Pekerja-pekerja yang seperti itu bisa “dianggap” legal karena
disetujui oleh dua pemerintah meskipun misalnya TKA yang bersangkutan tak
memenuhi syarat harus bisa berbahasa Indonesia. Menurut hukum, kesepakatan
yang dibuat secara sah mengikat sebagai UU bagi yang membuatnya. Sebab itu,
pihak pengirim TKA legal ini merasa tidak melanggar hukum apa pun karena
dasarnya adalah kesepakatan antardua pemerintah.
Masalah
tersebut adalah soal kebijakan (policy),
bukan soal hukum. Pemerintah tentu dihadapkan pada dilema. Kalau kebijakan
itu tidak ditempuh, investor yang cocok tidak akan masuk. Tetapi, kalau
kebijakan itu ditempuh, tenaga kerja kita sendiri hanya menjadi penonton dan
tak bisa ikut menikmati manfaat ekonomi dari proyek itu. Paling-paling,
rakyat hanya bisa berharap dari trickle down effect atau tetesan yang
kecil-kecil saja.
Soal
TKA legal atau dilegalkan berdasar kebijakan dalam hubungan dagang ini belum
ada penjelasan resmi dari pemerintah, tetapi dalam pembicaraan dari mulut ke
mulut atau di dunia media sosial sudah ramai dibicarakan dan ditunjukkan
fakta-faktanya. Ada baiknya pemerintah menjelaskan masalah ini secara
terbuka. Dan, oleh karena masalah ini lebih merupakan masalah politik
(kebijakan) daripada masalah hukum, penyelesaiannya harus juga melalui jalur
politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar