Senin, 09 Januari 2017

Bahaya Politik Dinasti

Bahaya Politik Dinasti
Biyanto  ;   Dosen UIN Sunan Ampel;  Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
                                                    JAWA POS, 07 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PRAKTIK politik dinasti sepanjang era reformasi benar-benar menggejala. Untuk kali kesekian publik disuguhi praktik politik dinasti. Kali ini lakonnya adalah Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini. Dia merupakan istri mantan bupati Klaten. Sri Hartini mendadak terkenal lantaran ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam suatu operasi tangkap tangan (OTT). KPK pun menetapkan Sri sebagai tersangka kasus dugaan suap. Kini dia resmi menjadi tahanan KPK.

Saat ditangkap KPK (30 Desember 2016), Sri baru menjabat beberapa bulan sebagai bupati Klaten untuk periode kedua. Karena begitu lama berkuasa, pengaruh Sri dan keluarganya sangat besar. Maka, tidak mengherankan jika publik menggunjingkan praktik politik dinasti di Kabupaten Klaten. Dalam OTT itu, KPK mengendus adanya praktik jual beli jabatan di lingkungan Pemkab Klaten.

Sebelum kasus Sri ramai diperbincangkan dalam konteks politik dinasti, publik telah mengenal sosok Ratu Atut Chosiyah. Dia pernah menjadi wanita terkuat sekaligus gubernur Banten. Ratu Atut dan keluarganya juga begitu berkuasa. Jabatan publik di lingkungan Pemprov Banten dan sekitarnya berada dalam kekuasaan Ratu Atut. Sejumlah proyek di lingkungan Pemprov Banten juga berada dalam kekuasaan Ratu Atut dan keluarganya.

Sejujurnya, bukan hanya Sri Hartini dan Ratu Atut yang telah membangun politik dinasti. Banyak elite di negeri ini juga melakukan politik dinasti. Fenomena itu terjadi tidak hanya di lingkungan eksekutif. Di sejumlah jabatan di legislatif juga terjadi praktik politik dinasti. Indikatornya, sebagian anggota legislatif, mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat, memiliki kerabat dengan elite partai politik dan pejabat tertinggi di eksekutif.

Modus politik dinasti biasanya dilakukan penguasa dengan menempatkan orang-orang yang masih berhubungan darah, keturunan, atau kerabat sebagai pejabat publik. Penguasa juga menempatkan orang-orang kepercayaan untuk menduduki posisi penting di pemerintahan. Mereka pasti orang yang sangat berjasa dan berpeluh keringat saat perebutan kekuasaan. Mereka umumnya pernah menjadi tim sukses atau relawan politik.

Politik dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di negeri tercinta. Sebab, politik dinasti pasti mengabaikan kompetensi dan rekam jejak. Bahkan, politik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin. Yang menyedihkan, politik dinasti sengaja dibingkai dalam konteks demokrasi. Dalam alam demokrasi prosedural sekarang, masyarakat seakan diberi peran.

Tetapi, jika diamati secara saksama, jelas sekali masyarakat tidak memiliki kebebasan menentukan pilihan. Hampir semua calon anggota legislatif, calon kepala daerah, dan calon pejabat publik yang diajukan telah diskenario. Pemenangnya harus orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite-penguasa. Jika tidak memiliki hubungan kekeluargaan, calon yang dimenangkan adalah mereka yang memberikan uang sebagai mahar jabatan.

Dalam perspektif Ibn Khaldun (1332–1406), politik dinasti dinamakan ashabiyah (group feeling). Ibn Khaldun dalam The Muqaddimah an Introduction to History (1998) menyebut politik ashabiyah sebagai gejala yang bersifat alamiah. Sebab, umumnya penguasa selalu ingin merekrut orang yang memiliki hubungan kekerabatan sebagai bawahannya.

Namun, Ibn Khaldun mengingatkan bahaya politik ashabiyah. Dengan tegas Ibn Khaldun menyatakan bahwa politik ashabiyah pada saatnya bisa mengakibatkan kehancuran negara. Dalam konteks budaya modern, praktik politik ashabiyah juga menjadi persoalan serius. Apalagi jika politik ashabiyah dijalankan dalam suasana demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang. Karena praktik politik dinasti sangat berbahaya, pemerintah dan legislatif harus merumuskan regulasi yang tegas.

Modal untuk membuat regulasi sejatinya sudah ada. Misalnya, larangan terhadap seseorang menjadi kepala daerah lebih dari dua periode. Sayang, peraturan itu disiasati beberapa kepala daerah yang tidak boleh mencalonkan diri karena sudah menjabat dua periode. Caranya, mencalonkan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan dirinya. Cara lainnya, mencalonkan orang-orang yang bisa menjamin keamanan dirinya dari kasus hukum setelah tidak lagi berkuasa.

Bermula dari budaya politik kekerabatan itulah, praktik politik dinasti semakin menggurita. Idealnya, batasan maksimal dua periode juga berlaku untuk jabatan di legislatif. Hal tersebut penting supaya publik tidak disuguhi caleg 4L (lu lagi, lu lagi). Karena itu, pemerintah harus merancang regulasi tentang boleh tidaknya kerabat dekat maju sebagai pejabat eksekutif dan legislatif. Peraturan itu penting untuk meminimalkan budaya politik dinasti.

Praktik politik dinasti pada saatnya akan mengganggu proses checks and balances antarlembaga negara. Fungsi saling mengontrol pasti tidak bisa maksimal jika sejumlah jabatan publik dikuasai satu keluarga besar. Padahal, untuk menyemai nilai-nilai demokrasi, fungsi kontrol penting. Jika kontrol terhadap pemerintah lemah, terjadilah budaya kolutif dan koruptif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar