Bahaya
Politik Dinasti
Biyanto ; Dosen
UIN Sunan Ampel; Wakil Sekretaris
Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
|
JAWA POS, 07 Januari
2017
PRAKTIK
politik dinasti sepanjang era reformasi benar-benar menggejala. Untuk kali
kesekian publik disuguhi praktik politik dinasti. Kali ini lakonnya adalah
Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Hartini. Dia merupakan istri mantan bupati
Klaten. Sri Hartini mendadak terkenal lantaran ditangkap Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam suatu operasi tangkap tangan (OTT). KPK pun menetapkan
Sri sebagai tersangka kasus dugaan suap. Kini dia resmi menjadi tahanan KPK.
Saat
ditangkap KPK (30 Desember 2016), Sri baru menjabat beberapa bulan sebagai
bupati Klaten untuk periode kedua. Karena begitu lama berkuasa, pengaruh Sri
dan keluarganya sangat besar. Maka, tidak mengherankan jika publik
menggunjingkan praktik politik dinasti di Kabupaten Klaten. Dalam OTT itu,
KPK mengendus adanya praktik jual beli jabatan di lingkungan Pemkab Klaten.
Sebelum
kasus Sri ramai diperbincangkan dalam konteks politik dinasti, publik telah
mengenal sosok Ratu Atut Chosiyah. Dia pernah menjadi wanita terkuat
sekaligus gubernur Banten. Ratu Atut dan keluarganya juga begitu berkuasa.
Jabatan publik di lingkungan Pemprov Banten dan sekitarnya berada dalam
kekuasaan Ratu Atut. Sejumlah proyek di lingkungan Pemprov Banten juga berada
dalam kekuasaan Ratu Atut dan keluarganya.
Sejujurnya,
bukan hanya Sri Hartini dan Ratu Atut yang telah membangun politik dinasti.
Banyak elite di negeri ini juga melakukan politik dinasti. Fenomena itu
terjadi tidak hanya di lingkungan eksekutif. Di sejumlah jabatan di
legislatif juga terjadi praktik politik dinasti. Indikatornya, sebagian
anggota legislatif, mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat,
memiliki kerabat dengan elite partai politik dan pejabat tertinggi di
eksekutif.
Modus
politik dinasti biasanya dilakukan penguasa dengan menempatkan orang-orang
yang masih berhubungan darah, keturunan, atau kerabat sebagai pejabat publik.
Penguasa juga menempatkan orang-orang kepercayaan untuk menduduki posisi
penting di pemerintahan. Mereka pasti orang yang sangat berjasa dan berpeluh
keringat saat perebutan kekuasaan. Mereka umumnya pernah menjadi tim sukses
atau relawan politik.
Politik
dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang tumbuh di
negeri tercinta. Sebab, politik dinasti pasti mengabaikan kompetensi dan
rekam jejak. Bahkan, politik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam
menentukan pemimpin. Yang menyedihkan, politik dinasti sengaja dibingkai
dalam konteks demokrasi. Dalam alam demokrasi prosedural sekarang, masyarakat
seakan diberi peran.
Tetapi,
jika diamati secara saksama, jelas sekali masyarakat tidak memiliki kebebasan
menentukan pilihan. Hampir semua calon anggota legislatif, calon kepala
daerah, dan calon pejabat publik yang diajukan telah diskenario. Pemenangnya
harus orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elite-penguasa. Jika
tidak memiliki hubungan kekeluargaan, calon yang dimenangkan adalah mereka
yang memberikan uang sebagai mahar jabatan.
Dalam
perspektif Ibn Khaldun (1332–1406), politik dinasti dinamakan ashabiyah (group feeling). Ibn Khaldun dalam The Muqaddimah an Introduction to History
(1998) menyebut politik ashabiyah sebagai gejala yang bersifat alamiah.
Sebab, umumnya penguasa selalu ingin merekrut orang yang memiliki hubungan
kekerabatan sebagai bawahannya.
Namun,
Ibn Khaldun mengingatkan bahaya politik ashabiyah. Dengan tegas Ibn Khaldun
menyatakan bahwa politik ashabiyah pada saatnya bisa mengakibatkan kehancuran
negara. Dalam konteks budaya modern, praktik politik ashabiyah juga menjadi
persoalan serius. Apalagi jika politik ashabiyah dijalankan dalam suasana
demokrasi yang sedang tumbuh dan berkembang. Karena praktik politik dinasti
sangat berbahaya, pemerintah dan legislatif harus merumuskan regulasi yang
tegas.
Modal
untuk membuat regulasi sejatinya sudah ada. Misalnya, larangan terhadap
seseorang menjadi kepala daerah lebih dari dua periode. Sayang, peraturan itu
disiasati beberapa kepala daerah yang tidak boleh mencalonkan diri karena
sudah menjabat dua periode. Caranya, mencalonkan orang-orang yang memiliki
hubungan kekerabatan dengan dirinya. Cara lainnya, mencalonkan orang-orang
yang bisa menjamin keamanan dirinya dari kasus hukum setelah tidak lagi
berkuasa.
Bermula
dari budaya politik kekerabatan itulah, praktik politik dinasti semakin
menggurita. Idealnya, batasan maksimal dua periode juga berlaku untuk jabatan
di legislatif. Hal tersebut penting supaya publik tidak disuguhi caleg 4L (lu
lagi, lu lagi). Karena itu, pemerintah harus merancang regulasi tentang boleh
tidaknya kerabat dekat maju sebagai pejabat eksekutif dan legislatif.
Peraturan itu penting untuk meminimalkan budaya politik dinasti.
Praktik
politik dinasti pada saatnya akan mengganggu proses checks and balances
antarlembaga negara. Fungsi saling mengontrol pasti tidak bisa maksimal jika
sejumlah jabatan publik dikuasai satu keluarga besar. Padahal, untuk menyemai
nilai-nilai demokrasi, fungsi kontrol penting. Jika kontrol terhadap
pemerintah lemah, terjadilah budaya kolutif dan koruptif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar