Relaksasi
Ekspor Mineral
Singgih Widagdo ; Ketua Kebijakan Publik Ikatan Ahli Geologi
Indonesia
|
KOMPAS, 12 Januari
2017
Hari
ini, 12 Januari 2017, menjadi "pintu" untuk menilai apakah
pemerintah tetap konsisten ataukah justru sebaliknya. Namun, dari siaran pers
Kementerian ESDM (10/1/2017) mengenai arahan Presiden Joko Widodo, jelas
pemerintah tetap akan membuka dan mengizinkan relaksasi ekspor mineral
mentah. Enam pertimbangan arahan Presiden pada dasarnya bukan hal baru.
Arahan Presiden Jokowi jelas telah diketahui jauh sebelumnya oleh ESDM
sebagai kementerian teknis.
Jadi,
perulangan lunak sikap pemerintah atas industri pertambangan mineral akibat
ketidaktegasan pemerintah sendiri, ditambah sikap nakal penambang yang tidak
mematuhi serta tidak ditindak tegas selama ini.
Konsistensi
pemerintah dalam mengelola kekayaan negara adalah wujud tanggung jawab
pemerintah terhadap rakyatnya. Perdebatan soal ekspor mineral mentah
seharusnya tidak terjadi jika pemerintah konsisten dengan UU No 4/2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Sangat
ironis, saat terjadi perdebatan revisi peraturan pemerintah (PP) terkait
relaksasi mineral mentah, pemerintah belum punya Kebijakan Pertambangan
Nasional Indonesia (KPNI). KPNI semestinya jadi arah saat UU Minerba dibuat.
Dapat dikatakan absurd, tanpa KPNI, minerba dapat dikelola dalam jangka
panjang. Kebijakan pertambangan yang terintegrasi dengan ketersediaan sumber
daya minerba, pengusahaan, konservasi, pengembangan industri, infrastruktur,
dan lingkungan hidup seharusnya ada di depan sebagai arah pembangunan
industri pertambangan secara menyeluruh.
Sikap
pemerintah yang menganggap enteng menjadi penyebab semuanya menjadi tidak
sejalan dengan UU Minerba. Bagi pelaku usaha pertambangan, PP menjadi arah
dalam melakukan eksekusi langkah bisnisnya.
Semestinya,
yang terbangun, kontrak karya (KK) telah mampu melakukan pengolahan dan
pemurnian. Apalagi telah diberikan waktu lima tahun sejak UU Minerba
diterbitkan. Demikian juga, walaupun tidak dibatasi waktu tertentu, izin
usaha pertambangan (IUP) operasi produksi (OP) dan izin usaha pertambangan
khusus (IUPK) semestinya sebagian telah mampu melakukan pengolahan dan
pemurnian, baik sendiri maupun dalam bentuk kerja sama di antara mereka.
Amanah
UU Minerba, jika dijalankan pemerintah dengan tegas, seharusnya telah memberi
manfaat bagi kesejahteraan rakyat secara langsung, seperti peningkatan
pertumbuhan ekonomi, penerimaan pemerintah, dan penciptaan lapangan kerja.
Namun, yang terjadi saat ini justru perdebatan soal relaksasi yang bisa
memicu terjadinya pengangguran besar-besaran.
Melangkah ke depan
Sikap
tegas pemerintah terhadap KK seharusnya juga berlaku bagi IUP/IUPK, dengan
catatan harus tetap sesuai amanah UU Minerba. Pemerintah selama ini belum
mengevaluasi secara detail perkembangan pembangunan smelter pada pertambangan
skala IUP. Mungkin telah dilakukan sebatas pemegang IUP skala besar.
Komunikasi antara pemerintah dan IUP lebih hanya melihat komitmen IUP untuk
membangun smelter atau kerja sama di antara IUP dalam membangun smelter.
Laporan IUP yang saat itu diserahkan ke kabupaten (saat ini ke gubernur),
menjadi kendala pemerintah pusat untuk mengontrolnya.
Pemerintah
semestinya melakukan evaluasi individual per-IUP menyangkut berbagai masalah,
seperti keuangan, infrastruktur dalam membangun smelter, belum lagi terhadap
masalah kebutuhan energi. Di sisi lain, pemerintah tampaknya belum memiliki
platform untuk mengantisipasi munculnya ribuan IUP akibat ulah pemerintah
sendiri dalam membuka "keran" pelaku usaha pertambangan. Pada awal
2016, jumlah IUP OP mineral yang telah clear and clean mencapai 2.422.
Melihat
kondisi pertumbuhan industri pertambangan (khususnya IUP) saat ini, khususnya
ribuan tenaga kerja yang telah terserap, pemerintah perlu hati-hati, tetapi
tetap bersikap tegas dengan melakukan langkah sesuai amanah Pasal 5 UU
Minerba, yaitu melalui penetapan kebijakan pengutamaan mineral dan atau
batubara untuk kepentingan dalam negeri sekaligus pengendalian produksi dan
ekspor.
Dalam
UU Minerba tertulis jelas: pemerintah, setelah berkonsultasi dengan DPR,
dapat menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun per provinsi,
bersamaan pula dapat mengendalikan produksi dan ekspor. Bahkan pemerintah pun
telah mengaturnya dalam PP No 23/2010, pada Pasal 84 dan 85.
Meskipun
dalam UU untuk IUP tidak diatur masalah batasan waktu pengolahan dan
pemurnian, pemerintah dapat melakukan melalui mekanisme pengendalian produksi
dan ekspor. Akan tetapi, pemerintah juga bukan lantas memberikan lampu hijau
pada IUP/IUPK untuk melakukan ekspor mineral mentah sampai waktu tak
terbatas. Pemerintah harus tegas dalam memberikan batasan waktu atas dasar
kondisi infrastruktur di mana IUP beroperasi, jenis mineral yang dimiliki,
besarnya investasi, serta waktu yang dibutuhkan dalam membangun smelter.
Kemudian,
atas dasar evaluasi teknis dan keuangan setiap IUP (mungkin diperlukan
sekitar enam bulan), pemerintah segera perlu menghentikan ekspor mineral demi
kepentingan nasional. Harus disadari, sebagai negara kepulauan, jenis dan
kondisi sebaran mineral serta kondisi infrastruktur jadi bervariasi. Artinya,
dari sisi waktu, pembatasan pelarangan ekspor mineral tidak harus sama
seperti yang menjadi perdebatan saat ini.
Pemerintah
berhak memberikan hukuman kepada KK dan IUP. Namun, harus diawali sosialisasi
sanksi yang akan dimasukkan PP. Sanksi harus didetailkan atas parameter
lokasi, luasan IUP, jenis mineral, kondisi infrastruktur, dan kondisi
kebutuhan energi.
Penutup
Harus
diapresiasi pembangunan smelter telah berjalan. Namun, jumlah dan besaran
industri smelter belum sepadan dengan industri pertambangan yang telah
terbangun sampai sekarang. Meski industri hilirisasi saat ini baru sebatas
mengekstrak logam utama bijih, pemerintah perlu terus mendorong pemanfaatan
logam untuk kepentingan industri hilir, bahkan semaksimal mungkin dapat
memenuhi kebutuhan industri berteknologi tinggi.
Bisa
jadi, memecahkan masalah pengolahan dan pemurnian oleh KK melalui IUPK dapat
dilakukan oleh pemerintah, tetapi masalah luasan wilayah izin usaha
pertambangan khusus sebatas 15.000 hektar hanya dapat diberikan untuk satu
jenis meneral tentu jadi perdebatan sendiri. Belum lagi masalah ribuan IUP
yang secara legal telah ada. Namun, itulah konsekuensi dari kesalahan pemerintah
yang "kebablasan" membuka perizinan tambang di awal otonomi daerah.
Akhirnya,
hanya dengan menyadari mineral notabene milik rakyat, langkah untuk terus
membangun mineral demi kesejahteraan rakyat harus tetap diperjuangkan.
Mewujudkan industri berbasis mineral harus terus diperjuangkan dan semestinya
harus diawali dengan memiliki KPNI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar