Disruptions
Win-Win-Win
Rhenald Kasali ;
Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN SINDO, 05 Januari
2017
Bertahun
silam keluarga Chesky berlibur. Mereka ingin menginap di sebuah hotel
berbintang lima, tetapi ditolak mentah-mentah. Alasannya hotel ini hanya
diperuntukan bagi tamu-tamu VVIP. Keluarga Chesky sakit hati. Pada 2007,
Brian Chesky dan koleganya, Joe Gabbia, pergi ke San Francisco, Amerika
Serikat. Oleh karena uangnya terbatas, mereka dengan perasaan sakit hati
harus mengakui bahwa mereka tak mampu menyewa kamar hotel. Akhirnya keduanya
terpaksa menginap di mobil. Di malam gelap nan dingin, menjelang tidur,
keduanya berkhayal.
Seandainya
saja ada kamar yang bisa disewa dengan tarif murah, mereka mungkin tak perlu
tidur di tempat yang sesak dan kedinginan. Ketidakmampuan membayar kamar
hotel, lamunan itu, dan rasa sakit hati itu, tanpa disadari, akhirnya
melahirkan Airbnb. Anda tahu, Airbnb—perusahaan yang business modelnya
dicetuskan Brian Chesky dan Joe Gabbia—terbukti mampu memorakporandakan
tatanan bisnis perhotelan dunia. Tentu ada versi lain yang juga banyak
diceritakan, yaitu beranjak dari masa kuliah mereka berdua yang dituangkan
dalam buku kosong Moleskine.
Tapi
begitulah kisah bertahun-tahun sebelum gagasan itu tiba. Iya, Chesky mampu
membalik rasa sakit hatinya menjadi energi yang positif. Energi yangia dan
Gabbia gunakan untuk membangun model bisnis degan konsep sharing dan empowering
dari aset-aset idle milik masyarakat. Konsepnya bukan lagi win-win, tetapi sudah win-win-win. Maksudnya, sebagai
pebisnis, Chesky-Gabbia harus win. Namun para pemilik aset juga win, begitu
pula dengan konsumennya. Jadi betul-betul siapa pun menjadi pemenangnya—
kecuali mungkin para pemilik hotel.
Konversi
Negeri
kita juga kaya dengan kisah tentang orang-orang yang sakit hati. Ada yang
sakit hati karena terlalu lama hidup dalam kemiskinan, sakit hati karena
dihina. Sakit hati karena jabatannya tidak naik-naik, tetapi malah didemosi
atau diturunkan dari jabatannya. Sakit hati karena tidak dipercaya atasan
atau karena kalah bersaing. Sakit hati karena di-PHK atau dipecat dan masih
banyak lagi penyebab lain. Tapi kini tambah lagi: sakit hati karena baca
berita, lihat video yang sudah dipenggalpenggal seseorang, dan seterusnya.
Sayangnya,
tidak seperti Chesky dan Gabbia, sebagian dari rasa sakit hati itu tidak
dikonversi menjadi energi untuk move on. Sebaliknya malah memanjakan diri
dengan sakit hatinya, menjadikannya alasan untuk tidak membukukan kinerja
terbaiknya. Semua itu pada akhirnya membuat mereka semakin tenggelam. Gagal
mengungkit rasa sakit hatinya. Atau, yang lebih buruk lagi, mereka
menggunakan energi dari sakit hatinya untuk menyakiti orang lain.
Semangatnya
untuk balas dendam, bahkan kepada orang lain lagi. Membabi buta. Kini kita
merasakan dampaknya. Semua orang mulai merasa dirinya telah di-bully,
disakiti. Semua merasa dirinyalah korban. Hoax, disinformasi, kabar palsu dan
menyesatkan, informasi bodong, ujaran kebencian, sumpah serapah beredar dengan
leluasa. Padahal yang menyebarkan, motifnya cuma satu: duit! Di mana-mana, di
mediamedia konvensional, dan terutama di media sosial. Masyarakat yang dibuat
sakit hati dapat menelan informasi utuhutuh.
Mereka
jadikan itu sebagai bahan gunjingan—padahal tidak jelas siapa penebar
informasinya dan benar atau tidaknya. Sayang! Padahal, seandainya masyarakat
kita bisa mengonversi rasa sakit hati itu, ia akan menjadi sumber energi yang
dahsyat. Energi yang mampu membalik kemiskinan menjadi kesejahteraan, hinaan
menjadi pujian, demosi menjadi promosi, nama buruk menjadi nama baik, yang
kalah menjadi pemenang, serta rasa dendam dan sakit hati menjadi kasih
sayang. Bicara soal mengonversi rasa sakit hati, saya jadi teringat dengan
orang-orang yang bekerja di kantor pemerintah.
Anda
tahu, banyak karyawan BUMN yang juga sakit hati karena dianggap kompetensinya
rendah— meski sebagian dari mereka menyandang gelar S-2 dan S-3. Tak dapat
dimungkiri, ada masanya sebagian orang bisa menjadi karyawan negara lantaran KKN.
Dulu orang tuanya atau pamannya bekerja di situ. Hak itu kemudian turun ke
anakanaknya atau ke keponakannya.
Lalu
bekerja di lembaga atau perusahaan negara juga dianggap tidak jelas ukuran
keberhasilannya. Pendeknya jauh dari gambaran kinerja perusahaan-perusahaan
yang profesional. Tentu stigma ini tak sepenuhnya benar karena banyak yang
sudah berubah. Apalagi di BUMN.
Imajinasi tanpa Batas
Bicara
soal ini, saya jadi teringat dengan catatan sobat saya, Dahlan Iskan, sewaktu
masih menjadi menteri BUMN. Dahlan menulis tentang PT Boma Bisma Indra (BBI).
Anda tahu, BBI adalah BUMN yang ahli dalam memproduksi boiler, kondensor, dan
produk-produk engineering lainnya. Sayangnya akibat mismanagement, selama
puluhan tahun BUMN ini mangkrak.
Utangnya
ke Bank Mandiri macet. BBI juga punya utang ke PT Krakatau Steel Tbk (KS).
Akibatnya sebagai jaminan pelunasan utangnya, banyak aset BBI yang disita KS.
Alhasil, BBI tak bisa beroperasi. Di BBI sebetulnya banyak teknisi yang
pintar, tetapi mereka kurang pandai menyelesaikan restrukturisasi utang. Maka
begitu utangnya berhasil direstrukturisasi, sakit hati orang-orang pintar di
BBI— akibat terlalu lama diremehkan tadi—pun akhirnya menemukan salurannya.
Ditambah
sinergi dengan BUMN-BUMN lain, seperti inilah yang terjadi. Anda tahu, untuk
mengatasi kekurangan tenaga listrik, PLN menggagas pembangunan 30 unit PLTU
di seluruh Indonesia. Untuk PLTU tersebut, turbinnya dibuat oleh PT Nusantara
Turbin Propulsi, anak usaha Dirgantara Indonesia. Kondensornya dibuat oleh
BBI. Boilernya buatan PT Barata Indonesia. Sementara PT Wijaya Karya Tbk menangani
pekerjaan sipilnya.
Lalu
pembuatan generatornya dilakukan PT Pindad. Jadi, semuanya dikerjakan oleh
BUMN, bangsa sendiri. Bagi saya, inilah potret dari keberhasilan orang-orang
BUMN dalam mengonversi sakit hati (akibat terlalu lama diremehkan) menjadi
energi untuk move on. Persis seperti kisah Brian Chesky dan keluarganya,
bukan? Lalu tambahkanlah ke dalamnya imajinasi—bukan sekadar kemampuan
melakukan rekayasa. Jadi bukan hanya engineering, tetapi juga imagineering.
Maka
hasilnya betulbetul inovasi yang mampu membongkar tatanan bisnisbisnis lama,
sebagaimana Airbnb menghancurkan Hilton atau Marriot atau Uber Taxi dan Grab
Car mengguncang sendisendi bisnis Blue Bird dan Express. Kata Albert
Einstein, “Imagination is more valuable
than knowledge. Knowledge is limited to all we now know and we understand.
While imagination embraces the entire universe and all there ever will be to
know and understand.” Iya, imajinasi lebih berharga ketimbang
pengetahuan. Pengetahuan serbaterbatas, sementara imajinasi tanpa batas.
Itulah yang dilakukan Chesky.
Dia
berimajinasi, bagaimana mampu menyediakan kamar untuk menginap bagi para
wisatawan yang berkantong tipis. Oleh karena minim bisnis perhotelan,
imajinasi Chesky menjadi tanpa batas. Begitu liar. Hal semacam itulah yang
seringkali tidak bisa dilakukan organisasi-organisasi bisnis yang telanjur
mapan. Mereka sudah terlalu lama masuk ke dalam perangkap zona nyaman sehingga
tidak punya nyali untuk merusak tatasan bisnis sendiri. Maka jadilah orang
lain yang merusak tatanan bisnis mereka.
Pertanyaannya,
kata pakar disruption Christensen:
apa yang harus dilakukan kalau Anda menjadi kompetitor bagi diri Anda
sendiri? Itulah bahasan buku baru saya yang akan terbit bulan depan: Disruption. Semoga Anda bersabar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar