Tantangan
Pajak 2017
Chandra Budi ;
Bekerja di Ditjen Pajak; Alumnus Pascasarjana IPB
|
JAWA POS, 05 Januari
2017
PEMERINTAH
menutup tahun 2016 dengan kondisi defisit anggaran yang relatif aman 2,46%
atau di bawah angka 3 persen. Capaian realisasi pajak turut memengaruhi
kondisi tersebut. Penerimaan pajak adalah sebesar Rp 1.105,2 triliun atau
81,56% dari target APBNP 2016. Angka ini sedikit mengalami pertumbuhan
dibandingkan realisasi penerimaan pajak 2015 lalu. Lantas, bagaimana prediksi
penerimaan pajak 2017? Akankah penerimaan pajak lebih baik dari tahun 2016?
Amnesti Pajak
Amnesti
pajak berperan signifikan terhadap capaian penerimaan pajak pada 2016. Pada
periode satu dan dua, amnesti pajak sudah menyumbang sekitar Rp 107 triliun
atau hampir 10 persen dari keseluruhan penerimaan. Kalau tidak ada amnesti
pajak, capaian penerimaan tahun 2016 hanya sekitar 72% dan hampir dipastikan
defisit anggaran melewati batas 3 persen -angka maksimal yang diatur dalam
undang-undang.
Maka,
dapat dikatakan bahwa amnesti pajak adalah penolong capaian penerimaan pajak
tahun 2016. Walaupun tidak mencapai target Rp 165 triliun, amnesti pajak
telah membuktikan masih tingginya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
dan terkonfirmasinya tingkat kepatuhan pembayaran pajak yang masih rendah
selama ini.
Direktorat
Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) kerap kali menduga masih banyak potensi pajak
yang dapat digali. Indikator yang digunakan adalah tingkat kepatuhan formal
dan material yang masih rendah. Namun, untuk membongkar potensi yang ada dan
mengonversinya menjadi uang, Ditjen Pajak memiliki keterbatasan. Keterbatasan
ini menjadi persoalan klasik karena sering kali menyangkut masalah kapasitas,
termasuk di dalamnya hubungan antarlembaga pemerintahan. Maka, ketika program
amnesti pajak bergulir, peluang untuk menggali potensi pajak tersebut menjadi
lebih lancar dan terbuka lebar. Karena Ditjen Pajak akan mengatasi
keterbatasan tadi melalui jalur cepat (shortcut) berupa penyediaan insentif
dengan diskon tarif pajak sangat rendah dan dilakukan sendiri oleh wajib
pajak secara sukarela (voluntary).
Diharapkan
dampak amnesti pajak jangka panjang. Ujiannya adalah di tahun 2017, ketika
wajib pajak peserta amnesti pajak dengan segala datanya masuk dalam sistem
Ditjen Pajak. Ditjen Pajak harus dapat mengapitalisasi sumber daya tersebut
secara maksimal agar basis pajak tahun 2017 meningkat. Karena risiko
kehilangan uang tebusan dari amnesti pajak sebesar minimal Rp 103 triliun
sudah hampir dipastikan terjadi di tahun ini. Basis pajak baru hasil amnesti
pajak harus menjadi tambahan tumpuan penerimaan pajak 2017.
Tantangan
Triwulan
pertama 2017, Ditjen Pajak masih berharap tambahan penerimaan dari amnesti
pajak periode terakhir. Sinyal ini terlihat dari langkah cepat Menteri Keuangan
Sri Mulyani mengumumkan sasaran amnesti pajak periode tiga. Namun, berkaca
dari capaian periode dua, walaupun kampanye intensif telah dilakukan, hanya
mampu meraup Rp 6 triliun. Sebagai catatan, pada periode dua amnesti pajak
lalu, kampanye langsung dilakukan oleh Presiden Jokowi di tiga kota besar.
Artinya, dapat saja, ceruk amnesti pajak sudah semakin kecil.
Namun,
potensi penerimaan pajak tahun 2017 masih besar. Intinya, selama kepatuhan
membayar pajaknya masih rendah, justru sebenarnya kemungkinan menggali
potensi pajaknya semakin tinggi. Ditambah lagi, struktur dan komposisi
penerimaan pajak yang masih didominansi oleh segelintir wajib pajak badan
besar saja.
Perilaku
kepatuhan membayar pajak sangat ditentukan oleh seberapa ketat pengawasan yang
dilakukan oleh otoritas pajak. Semakin luas, efektif, dan tegas ruang lingkup
pengawasan, muncul kecenderungan wajib pajak akan semakin patuh. Pola
pengawasan yang telah dilakukan oleh Ditjen Pajak adalah dengan membagi
segmentasi pembayar pajak berdasar jumlah setoran pajaknya. Setiap kantor
pajak setidaknya harus mengawasi sekitar seratus atau dua ratus wajib pajak
terbesar.
Sementara
itu, ribuan wajib pajak lain tidak terawasi secara mendalam. Maka, melihat
banyaknya wajib pajak peserta amnesti pajak yang justru berasal dari luar
segmentasi wajib pajak besar, pola pengawasan Ditjen Pajak harus berubah dan
fokus mengawasi seluruh wajib pajaknya, dengan segala macam cara. Tidak
tertutup kemungkinan wajib pajak potensial justru luput karena jumlah pembayaran
pajaknya sengaja dikecilkan selama ini.
Kekurangan
pasokan data eksternal, sebagai data pembanding dalam penggalian potensi
pajak, dapat ditutupi dengan cara menciptakan data sendiri. Ditjen Pajak
dapat melakukan cara jemput bola dengan melakukan penyisiran kawasan
potensial tersebut. Pascaprogram nasional sensus pajak berakhir dua tahun
lalu, tentu telah muncul entitas bisnis baru yang belum semuanya membayar
pajak. Data hasil penyisiran kawasan ini merupakan data pembanding yang
efektif untuk mengawasi kepatuhan pajak. Cara lain adalah melalui pengawasan
masal dengan menyebarkan surat pajak berbentuk surat imbauan atau surat
tagihan pajak. Cara ini memiliki jangkauan luas sehingga mampu mengirim pesan
ke seluruh wajib pajak bahwa Ditjen Pajak sedang dan akan terus mengawasi
mereka. Ada kecenderungan wajib pajak akan patuh membayar pajak apabila ada
surat dari Ditjen Pajak.
Selain
itu, penegakan hukum pasca-amnesti pajak harus konsisten dijalankan. Ditjen
Pajak tidak perlu ragu untuk menerapkan pasal sanksi maksimal bagi wajib
pajak yang tidak jujur melaporkan hartanya ketika mengikuti program amnesti
pajak. Demikian juga, bagi wajib pajak yang sengaja tidak mengikuti amnesti
pajak dan ditemukan harta yang tidak dilaporkan, seharusnya tiada keraguan
untuk menjalankan UU Perpajakan secara komprehensif. Tahun 2017 diharapkan
menjadi titik balik untuk menuju otoritas pajak yang kredibel dan disegani
setelah dua tahun terakhir telah melakukan pembinaan kepada wajib pajak. Dari
sisi pajak, tahun 2017 adalah pembuktian bahwa amnesti pajak berdampak jangka
panjang, tidak hanya sesaat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar