Jumat, 06 Januari 2017

Pertanian untuk Tingkatkan Kualitas Pertumbuhan

Pertanian untuk Tingkatkan Kualitas Pertumbuhan
Bustanul Arifin ;   Guru Besar UNILA dan Ekonom Senior INDEF
                                                KORAN SINDO, 05 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pertumbuhan ekonomi dianggap berkualitas apabila perekonomian tidak terlalu banyak dihinggapi tiga persoalan besar yakni ketimpangan, kemiskinan, dan pengangguran.

Agak sulit untuk membanggakan kinerja perekonomian yang mencatat pertumbuhan 5,02%, tapi ketimpangan pendapatan masih besar dengan indeks gini 0,40, angka kemiskinan mendekati 11%, dan pengangguran 5,6%. Pada triwulan III 2016 pertumbuhan sektor pertanian hanya 2,67%, masih cukup jauh untuk mampu berkontribusi pada peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi.

Literatur ekonomi tentang ketimpangan pendapatan telah banyak dan menjadi fokus kajian selama bertahun-tahun, baik pada tingkat global maupun pada tingkat domestik. Literatur itu bahkan dapat dirunut jauh ke belakang sampai pada era Simon Kuznets pada dekade 1950-an. Pemikiran Kuznets tentang hubungan tingkat pendapatan atau produk domestik bruto (PDB) dengan ketimpangan pendapatan berbentuk Kurva- U terbalik walaupun bukan tanpa kritik. Pada tahap awal tingkat pendapatan rendah dan ketimpangan juga rendah.

Kemudian, pendapatan meningkat, ketimpangan juga meningkat, sampai pada suatu titik kritis tertentu, pendapatan meningkat, ketimpangan pun menurun. Pada tingkat perekonomian yang tinggi, ketimpangan pendapatan akhirnya rendah. Literatur terbaru tidak sekadar menelusuri Kurva-U tersebut, tapi banyak membedah determinan dari ketimpangan pendapatan tersebut, mulai dari kualitas kebijakan fiskal, belanja negara dan perpajakan, ketidakstabilan politik, sampai pada dimensi ekonomi-politik yang lebih komprehensif (misalnya Jaejoon Woo, 2011; Inyong Shin, 2012; Atkinson, 2015; dan lain-lain).

Pada tataran global, fenomena ketimpangan ekonomi dapat dituliskan secara sederhana sebagai berikut: (1) Ketimpangan di China dan India amat buruk, mendekati angka indeks gini 50, atau dua kali lipat dari indeks gini negara-negara Nordic di Eropa; (2) Ketimpangan di Amerika Latin cukup tinggi: Meksiko, Peru, Uruguay, Brasil, Kolombia; dan (3) Ketimpangan di negara maju OECD juga masih tinggi, tapi ada kecenderungan terjadi penurunan sejak 1980-an. Sesuatu yang perlu dicatat adalah data ketimpangan pada tataran global tidak mudah untuk diperbandingkan karena sumber data dan kualitasnya sering bermasalah.

Ketimpangan dan Kemiskinan

Di dalam negeri, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan adalah dua fenomena yang saling berhubungan dan menjadi persoalan tersendiri dalam pembangunan ekonomi. Angka resmi Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2016 menunjukkan bahwa rasio gini pada Maret 2016 tercatat 0,397 atau terjadi sedikit penurunan dari angka Maret 2015 sebesar 0,408 pada skala tiga digit di belakang koma.

Angka kemiskinan pada Maret 2016 masih tercatat 10,86% atau mengalami penurunan dari 11,22% pada Maret 2015. Dalam angka absolut, jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan masih 28,01 juta orang pada Maret 2016, lebih rendah dari 28,59 juta orang pada Maret 2015. Di samping itu, angka kemiskinan di perdesaan, yang sebagian besar bekerja di pertanian, juga meningkat menjadi 17,89 juta jiwa pada 2015 (62,7% dari total orang miskin) dari 17,73 juta jiwa (62,6%) pada 2014.

Dalam hal lapangan kerja, jumlah penduduk bekerja pada Agustus 2016 tercatat 118,4 juta orang atau 94,4% dari jumlah angkatan kerja 125,4 juta orang. Angka itu bertambah 3,6 juta orang dibandingkan jumlah penduduk bekerja pada Agustus 2015 sebesar 114,8 juta orang atau 93,8% dari jumlah angkatan kerja 122,4 juta orang. Artinya, jumlah penganggur di Indonesia pada Agustus 2016 tercatat 7,03 juta (5,61%) atau mengalami penurunan 530.000 orang dari jumlah penganggur pada Agustus 2015 sebesar 7,56 juta orang (6,18%).

Pekerja di sektor pertanian naik sedikit dalam jumlah, sekitar 20.000 orang, dari 37,75 juta orang pada 2015 menjadi 37,77 juta orang pada 2016. Tapi, menurun dalam persentase, dari 32,9% dari total pekerja pada 2015 menjadi 30,3% pada 2016. Pekerja di sektor industri juga sedikit meningkat, dari 15,25 juta (13,28%) pada 2015 menjadi 15,54 juta (13,5%) pada 2016. Implikasinya, pekerja di sektor jasa menurun dalam hal jumlah, dari 51,8 juta orang menjadi 51,6 juta orang, tapi meningkat dalam persentase, dari 42,3% pada 2015 44,8% pada 2016. Lambannya penurunan angka kemiskinan dan pengangguran selama dua tahun terakhir pemerintahan Kabinet Kerja tidak dapat dilepaskan dari melebarnya ketimpangan pendapatan, terutama sejak otonomi daerah.

Indeks gini 0,40 saat ini termasuk tinggi karena mengalami peningkatan 10 basis poin dari 0,30 pada 2000 atau sebelum era otonomi daerah. Upaya mendekatkan pelayanan publik kepada warganya melalui desentralisasi ekonomi tidak serta membawa dampak pemerataan pendapatan. Siapa pun yang menjadi pemimpin akan sulit menanggulangi ketimpangan pendapatan ini jika orientasi kebijakan hanya bervisi jangka pendek dan tidak berupaya melakukan pembenahan struktural. Karakter pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas juga terkonfirmasi dengan dominasi sektor non-tradable, yang tidak diimbangi kinerja sektor tradable yang masih tertatihtatih, terutama pertanian dan industri manufaktur.

Sektor tradable itu memiliki keterbatasan akses terhadap faktor produksi dan sumber daya strategis lain, buruknya infrastruktur ekonomi, dan sumber daya produksi lain. Dalam hal distribusi kepemilikan aset, petani pangan yang memiliki lahan sempit (0,5 hektare atau kurang) kini diperkirakan telah mencapai 55%.

Governansi yang buruk dalam pengelolaan subsidi pupuk juga membuka peluang terjadi ketidakmerataan akses pada faktor produksi pertanian yang lain. Sekitar 65% petani miskin menerima 3% subsidi pupuk, tetapi 1% petani kaya menikmati 70% subsidi. Sekitar 5% petani terkaya bahkan telah menikmati 90% subsidi pupuk yang selama ini justru terkesan amat tidak efektif.

Inisiatif Peningkatan Kualitas

Beberapa pilihan kebijakan ekonomi dan inisiatif dunia usaha perlu secara hati-hati dirumuskan agar diperoleh manfaat dan dampak ganda yang lebih efektif. Dunia usaha dan pemerintah perlu mengambil kebijakan perubahan teknologi untuk mendorong inovasi yang mampu meningkatkan keahlian tenaga kerja (employability) dan dimensi kemanusiaan dalam pelayanan. Kebijakan publik perlu mengarah pada perimbangan kekuasaan, dimensi pemerataan kebijakan persaingan usaha, serta kerangka legal bagi serikat pekerja untuk mewakili kepentingannya.

Opsi kebijakan yang perlu diambil misalnya fokus pada penciptaan lapangan kerja perdesaan di luar usaha tani (off-farm). Pembagian pupuk, benih, dan traktor gratis bagi petani terlihat populis dalam jangka pendek, tetapi dapat mengganggu logika insentif ekonomi dan kewirausahaan petani jika membuat ketergantungan akut pada bantuan pemerintah. Pembagian sarana pertanian itu akan lebih membawa dampak horizontal yang lebih produktif apabila pemerintah dan pemerintah daerah lebih serius melatih keterampilan dan memberdayakan pemuda desa.

Kementerian Pertanian perlu lebih sering bekerja sama dalam pembangunan perdesaan ini dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (DPDTT). Terakhir, penargetan kebijakan subsidi perlu diperbarui melalui perbaikan distribusi kepemilikan aset dan lahan pertanian. Pemerintah wajib mengembangkan kebijakan kerja sama ekonomi usaha besar dan usaha kecil dan menengah (UKM) dalam suatu skema kemitraan yang saling menguntungkan. Pembenahan identifikasi petani (farmers-farmers ID) berisi nama dan alamat yang akan memperoleh akses terhadap faktor produksi dan sumber daya lain menjadi hampir mutlak harus dilakukan.

Kemudian, pemantauan wajib dilakukan secara berjenjang terhadap kebijakan subsidi dan bantuan pemerintah, tidak hanya untuk keperluan administratif, tetapi juga untuk tujuan strategis berjangka panjang, yaitu meningkatkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar