Pertanian
untuk Tingkatkan Kualitas Pertumbuhan
Bustanul Arifin ;
Guru Besar UNILA dan Ekonom
Senior INDEF
|
KORAN SINDO, 05 Januari
2017
Pertumbuhan
ekonomi dianggap berkualitas apabila perekonomian tidak terlalu banyak
dihinggapi tiga persoalan besar yakni ketimpangan, kemiskinan, dan
pengangguran.
Agak
sulit untuk membanggakan kinerja perekonomian yang mencatat pertumbuhan
5,02%, tapi ketimpangan pendapatan masih besar dengan indeks gini 0,40, angka
kemiskinan mendekati 11%, dan pengangguran 5,6%. Pada triwulan III 2016
pertumbuhan sektor pertanian hanya 2,67%, masih cukup jauh untuk mampu
berkontribusi pada peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi.
Literatur
ekonomi tentang ketimpangan pendapatan telah banyak dan menjadi fokus kajian
selama bertahun-tahun, baik pada tingkat global maupun pada tingkat domestik.
Literatur itu bahkan dapat dirunut jauh ke belakang sampai pada era Simon Kuznets
pada dekade 1950-an. Pemikiran Kuznets tentang hubungan tingkat pendapatan
atau produk domestik bruto (PDB) dengan ketimpangan pendapatan berbentuk
Kurva- U terbalik walaupun bukan tanpa kritik. Pada tahap awal tingkat
pendapatan rendah dan ketimpangan juga rendah.
Kemudian,
pendapatan meningkat, ketimpangan juga meningkat, sampai pada suatu titik
kritis tertentu, pendapatan meningkat, ketimpangan pun menurun. Pada tingkat
perekonomian yang tinggi, ketimpangan pendapatan akhirnya rendah. Literatur terbaru
tidak sekadar menelusuri Kurva-U tersebut, tapi banyak membedah determinan
dari ketimpangan pendapatan tersebut, mulai dari kualitas kebijakan fiskal,
belanja negara dan perpajakan, ketidakstabilan politik, sampai pada dimensi
ekonomi-politik yang lebih komprehensif (misalnya Jaejoon Woo, 2011; Inyong
Shin, 2012; Atkinson, 2015; dan lain-lain).
Pada
tataran global, fenomena ketimpangan ekonomi dapat dituliskan secara
sederhana sebagai berikut: (1) Ketimpangan di China dan India amat buruk,
mendekati angka indeks gini 50, atau dua kali lipat dari indeks gini
negara-negara Nordic di Eropa; (2) Ketimpangan di Amerika Latin cukup tinggi:
Meksiko, Peru, Uruguay, Brasil, Kolombia; dan (3) Ketimpangan di negara maju
OECD juga masih tinggi, tapi ada kecenderungan terjadi penurunan sejak
1980-an. Sesuatu yang perlu dicatat adalah data ketimpangan pada tataran
global tidak mudah untuk diperbandingkan karena sumber data dan kualitasnya
sering bermasalah.
Ketimpangan dan Kemiskinan
Di
dalam negeri, ketimpangan pendapatan dan kemiskinan adalah dua fenomena yang
saling berhubungan dan menjadi persoalan tersendiri dalam pembangunan
ekonomi. Angka resmi Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2016
menunjukkan bahwa rasio gini pada Maret 2016 tercatat 0,397 atau terjadi
sedikit penurunan dari angka Maret 2015 sebesar 0,408 pada skala tiga digit
di belakang koma.
Angka
kemiskinan pada Maret 2016 masih tercatat 10,86% atau mengalami penurunan
dari 11,22% pada Maret 2015. Dalam angka absolut, jumlah penduduk di bawah
garis kemiskinan masih 28,01 juta orang pada Maret 2016, lebih rendah dari
28,59 juta orang pada Maret 2015. Di samping itu, angka kemiskinan di
perdesaan, yang sebagian besar bekerja di pertanian, juga meningkat menjadi
17,89 juta jiwa pada 2015 (62,7% dari total orang miskin) dari 17,73 juta
jiwa (62,6%) pada 2014.
Dalam
hal lapangan kerja, jumlah penduduk bekerja pada Agustus 2016 tercatat 118,4
juta orang atau 94,4% dari jumlah angkatan kerja 125,4 juta orang. Angka itu
bertambah 3,6 juta orang dibandingkan jumlah penduduk bekerja pada Agustus
2015 sebesar 114,8 juta orang atau 93,8% dari jumlah angkatan kerja 122,4
juta orang. Artinya, jumlah penganggur di Indonesia pada Agustus 2016
tercatat 7,03 juta (5,61%) atau mengalami penurunan 530.000 orang dari jumlah
penganggur pada Agustus 2015 sebesar 7,56 juta orang (6,18%).
Pekerja
di sektor pertanian naik sedikit dalam jumlah, sekitar 20.000 orang, dari
37,75 juta orang pada 2015 menjadi 37,77 juta orang pada 2016. Tapi, menurun
dalam persentase, dari 32,9% dari total pekerja pada 2015 menjadi 30,3% pada
2016. Pekerja di sektor industri juga sedikit meningkat, dari 15,25 juta
(13,28%) pada 2015 menjadi 15,54 juta (13,5%) pada 2016. Implikasinya,
pekerja di sektor jasa menurun dalam hal jumlah, dari 51,8 juta orang menjadi
51,6 juta orang, tapi meningkat dalam persentase, dari 42,3% pada 2015 44,8%
pada 2016. Lambannya penurunan angka kemiskinan dan pengangguran selama dua
tahun terakhir pemerintahan Kabinet Kerja tidak dapat dilepaskan dari
melebarnya ketimpangan pendapatan, terutama sejak otonomi daerah.
Indeks
gini 0,40 saat ini termasuk tinggi karena mengalami peningkatan 10 basis poin
dari 0,30 pada 2000 atau sebelum era otonomi daerah. Upaya mendekatkan
pelayanan publik kepada warganya melalui desentralisasi ekonomi tidak serta
membawa dampak pemerataan pendapatan. Siapa pun yang menjadi pemimpin akan
sulit menanggulangi ketimpangan pendapatan ini jika orientasi kebijakan hanya
bervisi jangka pendek dan tidak berupaya melakukan pembenahan struktural.
Karakter pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas juga terkonfirmasi dengan
dominasi sektor non-tradable, yang tidak diimbangi kinerja sektor tradable
yang masih tertatihtatih, terutama pertanian dan industri manufaktur.
Sektor
tradable itu memiliki keterbatasan akses terhadap faktor produksi dan sumber
daya strategis lain, buruknya infrastruktur ekonomi, dan sumber daya produksi
lain. Dalam hal distribusi kepemilikan aset, petani pangan yang memiliki
lahan sempit (0,5 hektare atau kurang) kini diperkirakan telah mencapai 55%.
Governansi
yang buruk dalam pengelolaan subsidi pupuk juga membuka peluang terjadi
ketidakmerataan akses pada faktor produksi pertanian yang lain. Sekitar 65%
petani miskin menerima 3% subsidi pupuk, tetapi 1% petani kaya menikmati 70%
subsidi. Sekitar 5% petani terkaya bahkan telah menikmati 90% subsidi pupuk
yang selama ini justru terkesan amat tidak efektif.
Inisiatif Peningkatan
Kualitas
Beberapa
pilihan kebijakan ekonomi dan inisiatif dunia usaha perlu secara hati-hati dirumuskan
agar diperoleh manfaat dan dampak ganda yang lebih efektif. Dunia usaha dan
pemerintah perlu mengambil kebijakan perubahan teknologi untuk mendorong
inovasi yang mampu meningkatkan keahlian tenaga kerja (employability) dan dimensi kemanusiaan dalam pelayanan. Kebijakan
publik perlu mengarah pada perimbangan kekuasaan, dimensi pemerataan
kebijakan persaingan usaha, serta kerangka legal bagi serikat pekerja untuk
mewakili kepentingannya.
Opsi
kebijakan yang perlu diambil misalnya fokus pada penciptaan lapangan kerja
perdesaan di luar usaha tani (off-farm). Pembagian pupuk, benih, dan traktor
gratis bagi petani terlihat populis dalam jangka pendek, tetapi dapat
mengganggu logika insentif ekonomi dan kewirausahaan petani jika membuat ketergantungan
akut pada bantuan pemerintah. Pembagian sarana pertanian itu akan lebih
membawa dampak horizontal yang lebih produktif apabila pemerintah dan
pemerintah daerah lebih serius melatih keterampilan dan memberdayakan pemuda
desa.
Kementerian
Pertanian perlu lebih sering bekerja sama dalam pembangunan perdesaan ini
dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
(DPDTT). Terakhir, penargetan kebijakan subsidi perlu diperbarui melalui
perbaikan distribusi kepemilikan aset dan lahan pertanian. Pemerintah wajib
mengembangkan kebijakan kerja sama ekonomi usaha besar dan usaha kecil dan
menengah (UKM) dalam suatu skema kemitraan yang saling menguntungkan.
Pembenahan identifikasi petani (farmers-farmers ID) berisi nama dan alamat
yang akan memperoleh akses terhadap faktor produksi dan sumber daya lain
menjadi hampir mutlak harus dilakukan.
Kemudian,
pemantauan wajib dilakukan secara berjenjang terhadap kebijakan subsidi dan
bantuan pemerintah, tidak hanya untuk keperluan administratif, tetapi juga
untuk tujuan strategis berjangka panjang, yaitu meningkatkan kesejahteraan
umum bagi seluruh rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar