Tidak Takut Berkompetisi di Pasar Global
Enny Sri Hartati ;
Direktur Institute for Development of
Economics and Finance
KOMPAS,
30 November 2015
Enny Sri Hartati ;
Direktur Institute for Development of
Economics and Finance
|
Presiden Joko Widodo
dalam pidato penutupan Kompas100 CEO Forum 2015 yang digelar oleh Kompas menegaskan
bahwa Indonesia tidak dapat menghindar dari kompetisi dengan negara lain.
Oleh karena itu, Indonesia harus mulai mengembangkan sikap tidak takut pada
kompetisi.
Presiden mengamanatkan
agar semua pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi,
pemerintah daerah, BUMN, maupun swasta, pada tahun 2016 hanya punya satu
misi, yaitu misi kompetisi. Pernyataan Presiden itu tentu sangat relevan
mengingat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan dimulai akhir Desember 2015.
Indonesia siap atau tidak siap harus menghadapi kompetisi terbuka.
Persoalannya, di
samping menghadapi kompetisi terbuka, tantangan persaingan global 2016
semakin ketat dan penuh ketidakpastian.
Perlambatan ekonomi
Tiongkok yang turun hingga 6,9 persen pada triwulan III-2015 tentu berdampak
terhadap menurunnya harga komoditas. Padahal, hampir 80 persen ekspor
Indonesia masih didominasi ekspor komoditas. Belum lagi ketidakpastian waktu
dan besaran kenaikan suku bunga The Fed (Fed Fund Rate) juga berpotensi
menciptakan spekulasi di sektor keuangan yang berpotensi mengguncang
stabilitas nilai tukar rupiah. Sementara itu, kinerja transaksi berjalan
masih defisit, utang luar negeri swasta dan pemerintah meningkat, serta cukup
besarnya porsi dana-dana asing pada berbagai instrumen keuangan di Indonesia,
khususnya yang berjangka pendek.
Tantangan krusial
lainnya adalah potensi serbuan tenaga kerja negara-negara ASEAN ke Indonesia.
Pasalnya, berdasarkan data produktivitas antarnegara di ASEAN, tingkat
produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya 3,75 persen, masih tertinggal jauh
dari Thailand (5,63 persen) dan Filipina (5,43 persen). Sementara itu,
sekalipun potensi dan peluang masuknya investasi asing cukup besar ke
Indonesia, kendala investasi belum juga kunjung terurai.
Besarnya minat
investasi masih terganjal beberapa kendala, terutama ketersediaan
infrastruktur dasar (energi dan logistik), kepastian lahan, harmonisasi
regulasi, dan persoalan perburuhan.
Menghadapi realitas
ketatnya kompetisi dan berbagai kendala internal itu, sekadar moto ”Tidak
Takut Kompetisi” saja tentu masih jauh dari cukup. Dibutuhkan upaya dan
strategi yang serius dan komprehensif agar dapat memanfaatkan peluang MEA dan
kompetisi di pasar global lainnya.
Semua pemangku
kepentingan harus bersinergi, memperkuat koordinasi dan kerja sama.
Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator harus konsisten menciptakan
iklim investasi yang kondusif.
Pertama, pemerintah
harus serius melakukan harmonisasi regulasi dan memiliki konsistensi
kebijakan agar konkret dapat mendorong investasi masuk ke Indonesia, terutama
harmonisasi regulasi antarsektor dan komitmen pemerintah daerah. Pasalnya,
dengan pemberlakuan MEA, besarnya potensi pasar Indonesia tidak lagi menjadi
daya tarik investasi.
Para investor dapat
memilih beberapa negara anggota ASEAN lainnya untuk berinvestasi dan tetap
dapat menjadikan Indonesia sebagai pasar. Oleh karena itu, evaluasi terhadap
efektivitas implementasi enam paket stimulus yang telah diluncurkan
pemerintah mutlak dilakukan.
Pemerintah minimal memiliki
satu contoh terbaik di mana insentif dan kemudahan investasi tersebut secara
konkret telah dapat diimplementasikan dan dapat mempercepat realisasi
investasi. Dengan adanya contoh yang riil, dengan sendirinya tentu akan
meningkatkan keyakinan dan daya tarik investor.
Kedua, pemerintah
perlu segera melakukan mitigasi penurunan harga komoditas. Indonesia harus
segera mempercepat hilirisasi industri dan mengembangkan pasar nontradisional
negara tujuan ekspor. Rendahnya harga komoditas akan mengancam kinerja ekspor
jika tidak ada strategi percepatan industrialisasi. Mestinya, anjloknya harga
komoditas justru menjadi momentum tersedianya bahan baku murah untuk
meningkatkan daya saing produk-produk industri yang berbasis bahan baku
lokal, sekaligus dapat melakukan reorientasi pasar dan penetrasi pasar ke
beberapa negara nontradisional, terutama ke kawasan Afrika, Timur Tengah,
Amerika Latin, dan Uni Eropa.
Ketiga,
memprioritaskan industri padat karya. Pemerintah harus segera dapat menekan
peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan. Persoalan yang paling krusial
tentu penyelesaian kompleksitas masalah perburuhan.
Salah satu insentif
yang paling efektif adalah peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui
perbaikan kualitas pendidikan, keterampilan, dan keahlian. Jika produktivitas
meningkat, polemik rendahnya upah minimum provinsi dan maraknya demonstrasi
buruh tentu dapat diredam. Jika tidak, investor industri padat karya akan
memilih Vietnam atau investor Tiongkok membawa tenaga kerjanya ke Indonesia.
Singkatnya, menghadapi
ketatnya kompetisi dan kondisi ketidakpastian, semangat berani berkompetisi
tentu menjadi modal dasar yang penting. Namun, yang lebih utama lagi adalah
upaya memperkuat diri, serta menyusun strategi bertahan dan menyerang yang tepat
untuk memenangi pertarungan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar