Kamis, 03 Desember 2015

Tidak Takut Berkompetisi di Pasar Global

Tidak Takut Berkompetisi di Pasar Global

Enny Sri Hartati  ;  Direktur Institute for Development of Economics and Finance
                                                     KOMPAS, 30 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Presiden Joko Widodo dalam pidato penutupan Kompas100 CEO Forum 2015 yang digelar oleh Kompas menegaskan bahwa Indonesia tidak dapat menghindar dari kompetisi dengan negara lain. Oleh karena itu, Indonesia harus mulai mengembangkan sikap tidak takut pada kompetisi.

Presiden mengamanatkan agar semua pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, BUMN, maupun swasta, pada tahun 2016 hanya punya satu misi, yaitu misi kompetisi. Pernyataan Presiden itu tentu sangat relevan mengingat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan dimulai akhir Desember 2015. Indonesia siap atau tidak siap harus menghadapi kompetisi terbuka.

Persoalannya, di samping menghadapi kompetisi terbuka, tantangan persaingan global 2016 semakin ketat dan penuh ketidakpastian.

Perlambatan ekonomi Tiongkok yang turun hingga 6,9 persen pada triwulan III-2015 tentu berdampak terhadap menurunnya harga komoditas. Padahal, hampir 80 persen ekspor Indonesia masih didominasi ekspor komoditas. Belum lagi ketidakpastian waktu dan besaran kenaikan suku bunga The Fed (Fed Fund Rate) juga berpotensi menciptakan spekulasi di sektor keuangan yang berpotensi mengguncang stabilitas nilai tukar rupiah. Sementara itu, kinerja transaksi berjalan masih defisit, utang luar negeri swasta dan pemerintah meningkat, serta cukup besarnya porsi dana-dana asing pada berbagai instrumen keuangan di Indonesia, khususnya yang berjangka pendek.

Tantangan krusial lainnya adalah potensi serbuan tenaga kerja negara-negara ASEAN ke Indonesia. Pasalnya, berdasarkan data produktivitas antarnegara di ASEAN, tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya 3,75 persen, masih tertinggal jauh dari Thailand (5,63 persen) dan Filipina (5,43 persen). Sementara itu, sekalipun potensi dan peluang masuknya investasi asing cukup besar ke Indonesia, kendala investasi belum juga kunjung terurai.

Besarnya minat investasi masih terganjal beberapa kendala, terutama ketersediaan infrastruktur dasar (energi dan logistik), kepastian lahan, harmonisasi regulasi, dan persoalan perburuhan.

Menghadapi realitas ketatnya kompetisi dan berbagai kendala internal itu, sekadar moto ”Tidak Takut Kompetisi” saja tentu masih jauh dari cukup. Dibutuhkan upaya dan strategi yang serius dan komprehensif agar dapat memanfaatkan peluang MEA dan kompetisi di pasar global lainnya.

Semua pemangku kepentingan harus bersinergi, memperkuat koordinasi dan kerja sama. Pemerintah sebagai regulator dan fasilitator harus konsisten menciptakan iklim investasi yang kondusif.

Pertama, pemerintah harus serius melakukan harmonisasi regulasi dan memiliki konsistensi kebijakan agar konkret dapat mendorong investasi masuk ke Indonesia, terutama harmonisasi regulasi antarsektor dan komitmen pemerintah daerah. Pasalnya, dengan pemberlakuan MEA, besarnya potensi pasar Indonesia tidak lagi menjadi daya tarik investasi.

Para investor dapat memilih beberapa negara anggota ASEAN lainnya untuk berinvestasi dan tetap dapat menjadikan Indonesia sebagai pasar. Oleh karena itu, evaluasi terhadap efektivitas implementasi enam paket stimulus yang telah diluncurkan pemerintah mutlak dilakukan.

Pemerintah minimal memiliki satu contoh terbaik di mana insentif dan kemudahan investasi tersebut secara konkret telah dapat diimplementasikan dan dapat mempercepat realisasi investasi. Dengan adanya contoh yang riil, dengan sendirinya tentu akan meningkatkan keyakinan dan daya tarik investor.

Kedua, pemerintah perlu segera melakukan mitigasi penurunan harga komoditas. Indonesia harus segera mempercepat hilirisasi industri dan mengembangkan pasar nontradisional negara tujuan ekspor. Rendahnya harga komoditas akan mengancam kinerja ekspor jika tidak ada strategi percepatan industrialisasi. Mestinya, anjloknya harga komoditas justru menjadi momentum tersedianya bahan baku murah untuk meningkatkan daya saing produk-produk industri yang berbasis bahan baku lokal, sekaligus dapat melakukan reorientasi pasar dan penetrasi pasar ke beberapa negara nontradisional, terutama ke kawasan Afrika, Timur Tengah, Amerika Latin, dan Uni Eropa.

Ketiga, memprioritaskan industri padat karya. Pemerintah harus segera dapat menekan peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan. Persoalan yang paling krusial tentu penyelesaian kompleksitas masalah perburuhan.

Salah satu insentif yang paling efektif adalah peningkatan produktivitas tenaga kerja melalui perbaikan kualitas pendidikan, keterampilan, dan keahlian. Jika produktivitas meningkat, polemik rendahnya upah minimum provinsi dan maraknya demonstrasi buruh tentu dapat diredam. Jika tidak, investor industri padat karya akan memilih Vietnam atau investor Tiongkok membawa tenaga kerjanya ke Indonesia.

Singkatnya, menghadapi ketatnya kompetisi dan kondisi ketidakpastian, semangat berani berkompetisi tentu menjadi modal dasar yang penting. Namun, yang lebih utama lagi adalah upaya memperkuat diri, serta menyusun strategi bertahan dan menyerang yang tepat untuk memenangi pertarungan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar