Presiden dan Rokok
Hasbullah Thabrany ;
Chair, Center for Health Economics and
Policy Studies Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
28 November 2015
Tidak jelas apakah
Presiden Joko Widodo menyadari risiko masa depan dari investasi industri
rokok sekarang. Sekembalinya Presiden Jokowi berkunjung ke Amerika bulan
lalu, Sekretariat Negara dalam lamannya merilis komitmen investasi lebih dari
15 miliar dollar AS. Yang menarik adalah di situ termasuk investasi 1,9
miliar dollar AS (lebih dari Rp 25 triliun) Philip Morris, sebuah industri
rokok.
Kini Philip Morris
menguasai lebih dari 30 persen pangsa pasar rokok yang bernilai lebih dari Rp
300 triliun setahun. Sebelum keberangkatan Presiden, isu tentang itu sudah
beredar. Para penggiat pengendali rokok melihat investasi Philip Morris akan
menjadi beban biaya kesehatan dan kerusakan generasi muda masa depan.
Kedekatan Istana dengan industri rokok sesungguhnya bukan hal baru. Di zaman
Orde Baru, Presiden Soeharto biasa membagikan dua kotak rokok kepada tamu
atau undangan rapat di Istana. Dari semua presiden yang pernah memimpin
negeri ini, hanya Presiden Habibie yang memiliki keberpihakan kendali rokok
yang jelas.
Pemahaman risiko masa depan
Sesungguhnya pemimpin
dunia telah memahami bahwa konsumsi rokok berisiko bagi kesehatan dan
produktivitas bangsa di masa depan. Kerugian ekonomis konsumsi rokok
berkali-kali lipat dari penerimaan cukai negara. Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) merilis data di Indonesia paling sedikit 500 orang mati setiap hari
akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok. Kementerian Kesehatan
mengungkap kerugian ekonomis akibat rokok mencapai lebih dari Rp 370 triliun
pada tahun 2012.
Apakah investasi
Philip Morris tak menambah kematian dan kerugian negara di masa depan? Tak
mudah meyakinkan dan mewujudkan keyakinan menjadi kebijakan. Masalahnya, efek
asap rokok tidak kasatmata dan tak masif seperti efek asap kebakaran hutan.
Publik pun tak mudah merasakan dampak buruk asap rokok. Ada kekhawatiran
bahwa investasi Philip Morris lebih banyak menguntungkan investor asing
sekarang dan menyisakan risiko besar bangsa di kemudian hari.
Tidak jelas apakah
Presiden Jokowi memahami masalah rokok dan risiko masa depan tersebut. Bisa
jadi beliau memahami risiko di masa depan, tetapi beliau bersikap masa depan
adalah urusan presiden nanti. Urusan
sekarang adalah mendapat investasi sesuai target.
Bisa jadi beliau tidak
tahu-menahu tentang investasi Philip Morris ini, tetapi tim investasi dan tim
industrilah yang memutuskan. Kementerian Perindustrian telah mengubah rencana
produksi rokok dari 260 miliar batang di tahun 2015 menjadi hampir 400 miliar
batang dan menargetkan produksi sampai 500 miliar batang. Jika produksi itu
untuk dalam negeri, artinya setiap orang Indonesia, termasuk bayi baru lahir,
harus dipengaruhi agar merokok sampai sekitar 2.000 batang rokok. Jika hal
ini benar, tim investasi menjerumuskan Presiden.
Di lain pihak,
Kementerian Kesehatan dan komitmen dunia dalam Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan yang ditandatangani Wapres Jusuf Kalla justru menargetkan
penurunan konsumsi rokok.
Bisa jadi Presiden
tahu dan sadar akan risiko masa depan, tetapi Presiden tak mampu mencari
industri lain yang menyehatkan rakyat yang mau berinvestasi. Karena itu,
pilihan berisiko diambil. Jika hal ini
benar, keberpihakan Presiden kepada rakyat banyak yang menjadi ikon dirinya
merupakan kosmetik belaka.
Bisa jadi semua
kebijakan ekonomi yang menyangkut konsumsi rokok lebih banyak dipengaruhi
pemilik industri rokok besar. Dalam lima tahun terakhir, sekitar 1.000
industri rokok kecil sudah gulung tikar, tak mampu bersaing dengan industri
besar. Bisa jadi, tim di kabinet ini berutang budi kepada industri rokok
besar yang telah membantu memuluskan pemilu. Apa boleh buat, hal itu
merupakan konsekuensi politik demokrasi.
Banyak lagi yang
mungkin terjadi. Apakah pengambil keputusan memahami secara komprehensif
masalah dan situasi rokok? Hanya para pelakulah yang mengetahui.
Lain dulu lain sekarang
Bisa jadi para pejabat
merasa hanya meneruskan kebijakan masa lalu. Ketika Pak Harto membagi-bagikan
rokok, dunia belum memiliki bukti luas tentang bahaya rokok. Dulu produksi
dan penjualan daun ganja belum dilarang. Dulu di pesawat udara merokok
dibolehkan. Dulu pemilik industri rokok adalah putra bangsa, kini hampir
didominasi investor asing. Dulu di banyak negara maju merokok di dalam gedung
tidak dilarang. Kini merokok di taman yang banyak anak-anak pun dilarang di
negara maju. Dulu pemimpin agama menyatakan merokok makruh hukumnya. Kini
Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan pemimpin agama di banyak
negara Islam mengeluarkan fatwa haram merokok.
Masalah terbesar
konsumsi rokok adalah dampak buruk yang terjadi secara perlahan/lamban.
Kelambanan perubahan menjadi biang keladi rendahnya daya saing. Seekor katak
yang diletakkan dalam air yang perlahan-lahan dipanaskan akan kehilangan
kemampuan melompat. Masyarakat juga tidak menyadari bahaya rokok karena
ketidakmampuannya mendeteksi bahaya yang terjadi secara lamban. Reaksi
pemerintah dalam mengatasi asap kebakaran hutan relatif cepat karena
masyarakat secara kasatmata merasakan bahayanya. Namun, reaksi pemerintah dan
juga para ulama nahdliyin dalam menyikapi kerusakan akibat asap rokok sangat
lamban. Reaksi buruh rokok industri kecil yang bangkrut dan reaksi petani
tembakau merasa terancam lebih tampak. Pemerintah pun terjebak pada kebijakan
reaktif, bukan kebijakan strategis.
Kontroversi kebijakan
tentang rokok masih akan berlangsung cukup lama. Ketiadaan peta jalan
pengendalian rokok yang komprehensif mengancam masa depan lebih dari 100 juta
rakyat yang telah kecanduan atau terpaksa menghirup asap rokok secara pasif.
Perempuan dan generasi muda dari kalangan ekonomi bawah dan berpendidikan
rendah merupakan kelompok paling rentan. Pemerintah akan berani bersikap
tegas jika terjadi tekanan publik yang kuat. Sayangnya, pemahaman, sikap, dan
keberanian penduduk kelas menengah mewujudkan tekanan publik belum cukup
kuat.
Bagaimana nasib bangsa
ke depan? Tergantung kejelian pemimpin sekarang melihat peluang dan risiko
masa depan serta keberanian mereka berpihak kepada kepentingan masa depan
rakyat banyak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar