Kamis, 03 Desember 2015

Presiden dan Rokok

Presiden dan Rokok

Hasbullah Thabrany  ;  Chair, Center for Health Economics and Policy Studies Universitas Indonesia
                                                     KOMPAS, 28 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tidak jelas apakah Presiden Joko Widodo menyadari risiko masa depan dari investasi industri rokok sekarang. Sekembalinya Presiden Jokowi berkunjung ke Amerika bulan lalu, Sekretariat Negara dalam lamannya merilis komitmen investasi lebih dari 15 miliar dollar AS. Yang menarik adalah di situ termasuk investasi 1,9 miliar dollar AS (lebih dari Rp 25 triliun) Philip Morris, sebuah industri rokok.

Kini Philip Morris menguasai lebih dari 30 persen pangsa pasar rokok yang bernilai lebih dari Rp 300 triliun setahun. Sebelum keberangkatan Presiden, isu tentang itu sudah beredar. Para penggiat pengendali rokok melihat investasi Philip Morris akan menjadi beban biaya kesehatan dan kerusakan generasi muda masa depan. Kedekatan Istana dengan industri rokok sesungguhnya bukan hal baru. Di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto biasa membagikan dua kotak rokok kepada tamu atau undangan rapat di Istana. Dari semua presiden yang pernah memimpin negeri ini, hanya Presiden Habibie yang memiliki keberpihakan kendali rokok yang jelas.

Pemahaman risiko masa depan

Sesungguhnya pemimpin dunia telah memahami bahwa konsumsi rokok berisiko bagi kesehatan dan produktivitas bangsa di masa depan. Kerugian ekonomis konsumsi rokok berkali-kali lipat dari penerimaan cukai negara. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis data di Indonesia paling sedikit 500 orang mati setiap hari akibat penyakit yang berhubungan dengan rokok. Kementerian Kesehatan mengungkap kerugian ekonomis akibat rokok mencapai lebih dari Rp 370 triliun pada tahun 2012. 

Apakah investasi Philip Morris tak menambah kematian dan kerugian negara di masa depan? Tak mudah meyakinkan dan mewujudkan keyakinan menjadi kebijakan. Masalahnya, efek asap rokok tidak kasatmata dan tak masif seperti efek asap kebakaran hutan. Publik pun tak mudah merasakan dampak buruk asap rokok. Ada kekhawatiran bahwa investasi Philip Morris lebih banyak menguntungkan investor asing sekarang dan menyisakan risiko besar bangsa di kemudian hari.

Tidak jelas apakah Presiden Jokowi memahami masalah rokok dan risiko masa depan tersebut. Bisa jadi beliau memahami risiko di masa depan, tetapi beliau bersikap masa depan adalah urusan presiden nanti.  Urusan sekarang adalah mendapat investasi sesuai target.

Bisa jadi beliau tidak tahu-menahu tentang investasi Philip Morris ini, tetapi tim investasi dan tim industrilah yang memutuskan. Kementerian Perindustrian telah mengubah rencana produksi rokok dari 260 miliar batang di tahun 2015 menjadi hampir 400 miliar batang dan menargetkan produksi sampai 500 miliar batang. Jika produksi itu untuk dalam negeri, artinya setiap orang Indonesia, termasuk bayi baru lahir, harus dipengaruhi agar merokok sampai sekitar 2.000 batang rokok. Jika hal ini benar, tim investasi menjerumuskan Presiden.

Di lain pihak, Kementerian Kesehatan dan komitmen dunia dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditandatangani Wapres Jusuf Kalla justru menargetkan penurunan konsumsi rokok.

Bisa jadi Presiden tahu dan sadar akan risiko masa depan, tetapi Presiden tak mampu mencari industri lain yang menyehatkan rakyat yang mau berinvestasi. Karena itu, pilihan berisiko diambil.  Jika hal ini benar, keberpihakan Presiden kepada rakyat banyak yang menjadi ikon dirinya merupakan kosmetik belaka.

Bisa jadi semua kebijakan ekonomi yang menyangkut konsumsi rokok lebih banyak dipengaruhi pemilik industri rokok besar. Dalam lima tahun terakhir, sekitar 1.000 industri rokok kecil sudah gulung tikar, tak mampu bersaing dengan industri besar. Bisa jadi, tim di kabinet ini berutang budi kepada industri rokok besar yang telah membantu memuluskan pemilu. Apa boleh buat, hal itu merupakan konsekuensi politik demokrasi.

Banyak lagi yang mungkin terjadi. Apakah pengambil keputusan memahami secara komprehensif masalah dan situasi rokok? Hanya para pelakulah yang mengetahui.

Lain dulu lain sekarang

Bisa jadi para pejabat merasa hanya meneruskan kebijakan masa lalu. Ketika Pak Harto membagi-bagikan rokok, dunia belum memiliki bukti luas tentang bahaya rokok. Dulu produksi dan penjualan daun ganja belum dilarang. Dulu di pesawat udara merokok dibolehkan. Dulu pemilik industri rokok adalah putra bangsa, kini hampir didominasi investor asing. Dulu di banyak negara maju merokok di dalam gedung tidak dilarang. Kini merokok di taman yang banyak anak-anak pun dilarang di negara maju. Dulu pemimpin agama menyatakan merokok makruh hukumnya. Kini Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan pemimpin agama di banyak negara Islam mengeluarkan fatwa haram merokok.

Masalah terbesar konsumsi rokok adalah dampak buruk yang terjadi secara perlahan/lamban. Kelambanan perubahan menjadi biang keladi rendahnya daya saing. Seekor katak yang diletakkan dalam air yang perlahan-lahan dipanaskan akan kehilangan kemampuan melompat. Masyarakat juga tidak menyadari bahaya rokok karena ketidakmampuannya mendeteksi bahaya yang terjadi secara lamban. Reaksi pemerintah dalam mengatasi asap kebakaran hutan relatif cepat karena masyarakat secara kasatmata merasakan bahayanya. Namun, reaksi pemerintah dan juga para ulama nahdliyin dalam menyikapi kerusakan akibat asap rokok sangat lamban. Reaksi buruh rokok industri kecil yang bangkrut dan reaksi petani tembakau merasa terancam lebih tampak. Pemerintah pun terjebak pada kebijakan reaktif, bukan kebijakan strategis.

Kontroversi kebijakan tentang rokok masih akan berlangsung cukup lama. Ketiadaan peta jalan pengendalian rokok yang komprehensif mengancam masa depan lebih dari 100 juta rakyat yang telah kecanduan atau terpaksa menghirup asap rokok secara pasif. Perempuan dan generasi muda dari kalangan ekonomi bawah dan berpendidikan rendah merupakan kelompok paling rentan. Pemerintah akan berani bersikap tegas jika terjadi tekanan publik yang kuat. Sayangnya, pemahaman, sikap, dan keberanian penduduk kelas menengah mewujudkan tekanan publik belum cukup kuat.

Bagaimana nasib bangsa ke depan? Tergantung kejelian pemimpin sekarang melihat peluang dan risiko masa depan serta keberanian mereka berpihak kepada kepentingan masa depan rakyat banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar