Selasa, 15 Desember 2015

Politik adalah Kepentingan

Politik adalah Kepentingan

Anita Y dan Agnes T  ;  Wartawan Kompas
                                                      KOMPAS, 15 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ilmuwan Perancis, Montesquieu (1689-1755), mendefinisikan lembaga legislatif sebagai kumpulan orang-orang yang dipilih untuk membuat undang-undang sebagai refleksi dari kedaulatan rakyat. Lembaga itu juga berfungsi sebagai mediator antara rakyat dan penguasa (eksekutif).

Definisi Montesquieu itu tecermin dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Pasal 69 UU itu menyatakan, DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Ketiga fungsi itu dijalankan dalam kerangka representasi rakyat dan juga untuk mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pertanyaannya, sampai sejauh mana DPR telah melaksanakan tugasnya seperti yang tertulis dalam undang-undang yang mereka susun bersama dengan pemerintah itu?

Hingga akhir 2014, fraksi-fraksi di DPR, yang terbagi dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang ada di dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang ada di luar pemerintahan, sibuk memperebutkan posisi di pimpinan DPR ataupun alat kelengkapan Dewan. Pertarungan itu juga sempat melebar dalam perebutan pimpinan MPR.

Namun, kondisi itu berangsur berubah di tahun 2015. Hubungan KMP dan KIH, yang kemudian berubah nama menjadi Kerja Sama Partai Politik Pendukung Pemerintah (KP3), makin mencair. Bahkan, jika ada kepentingan yang sama, mereka akan kerja sama. Namun, jika kepentingan mereka berbeda, fraksi-fraksi itu akan ”berpisah” meski sama-sama berada dalam satu koalisi.

Hal itu setidaknya terlihat dalam pengajuan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Pada Juni lalu, DPR dan pemerintah menyetujui revisi UU itu masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 dan jadi inisiatif pemerintah. Namun, pada Oktober 2015, sejumlah anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura mengusulkan revisi UU KPK diambil alih jadi inisiatif DPR. Alasannya, agar pembahasan lebih cepat. Enam fraksi yang mengusulkan pengambilalihan ada yang dari KMP dan KP3.

Di tengah suara kritis masyarakat, rapat konsultasi pimpinan DPR dan Presiden pada Oktober lalu akhirnya memutuskan, revisi UU KPK dibahas pada masa sidang berikutnya.

Setelah putusan itu, pelaksanaan uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK periode 2015-2019 di DPR sempat terkatung-katung.

Komisi III DPR awalnya menjadwalkan, uji kelayakan dan kepatutan itu pada akhir November lalu. Namun, rencana itu batal karena banyak hal yang dipersoalkan komisi itu. Mulai dari format laporan, pemenuhan persyaratan calon pimpinan, hingga ketiadaan unsur kejaksaan dalam daftar calon pimpinan KPK. Komisi III sampai empat kali menggelar rapat dengar pendapat untuk meminta penjelasan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK terkait hal-hal itu.

Keputusan bahwa uji kelayakan dan kepatutan dilaksanakan kemarin dan hari ini akhirnya diputuskan Komisi III DPR pada 30 November lalu. Keputusan itu diambil setelah pemerintah menyetujui usulan pengambilalihan inisiatif RUU KPK oleh DPR. Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly sendiri yang menyerahkan inisiatif penyusunan RUU KPK ke DPR dalam rapat kerja Badan Legislasi DPR pada 27 November.

Sulit untuk tak melihat tak ada kaitan antara peristiwa 27 November dan 30 November di atas. Apalagi, sempat terdengar ada anggota DPR yang berharap kerja KPK periode mendatang sudah memakai UU KPK yang telah direvisi. Sulit juga untuk tidak menghubungkan antara polemik seputar kelanjutan seleksi calon pimpinan KPK dan revisi UU KPK dengan kegerahan sejumlah parpol dengan langkah KPK selama ini hingga membuat sejumlah kader parpol diproses hukum.

Kekompakan antara KMP dan KP3 juga terlihat dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. Semua fraksi di DPR kompak menolak usulan anggaran sebesar Rp 39 triliun untuk penyertaan modal negara di sejumlah badan usaha milik negara (BUMN). Kinerja BUMN di bawah Menteri BUMN Rini Soemarno disebut sebagai alasan penolakan anggaran tersebut.

Urusan pribadi

Sepanjang 2015, sejumlah anggota DPR juga lebih terlihat sibuk dengan kepentingan dan masalah pribadi. Hal itu terutama terlihat pada penanganan kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua DPR Setya Novanto oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Pada awal pengusutan perkara, parpol anggota KP3 terkesan kompak merapatkan barisan mendukung laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said ke MKD. Namun, sikap mereka berubah terutama setelah rekaman pertemuan Novanto bersama pengusaha M Riza Chalid dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PT FI) Maroef Sjamsoeddin diperdengarkan dalam dua sidang MKD yang digelar terbuka.

Perubahan itu terlihat saat menentukan sidang dengan agenda meminta penjelasan Novanto selaku teradu. Dari lima fraksi parpol anggota KP3, hanya Fraksi Partai Hanura dan Partai Nasdem yang meminta sidang digelar terbuka, seperti saat mendengarkan penjelasan Sudirman dan Maroef. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat nasional mendukung sidang digelar tertutup. Sementara sikap tiga anggota Fraksi PDI-P terbelah. Junimart Girsang mendorong sidang tetap digelar terbuka. M Prakosa dan Marsiaman Saragih mendukung sidang digelar tertutup.

Perbedaan sikap di antara parpol anggota KP3 dan juga antara tiga anggota MKD dari PDI-P dalam menyikapi persidangan Novanto memunculkan dugaan, kepentingan yang mereka perjuangkan dalam perkara ini terutama bukan kepentingan parpol anggota pendukung pemerintahan, tapi lebih merupakan kepentingan perseorangan mereka.

Apa yang diduga dilakukan Novanto dalam perkara ini ditengarai juga lebih merupakan kepentingan pribadi. September lalu, Novanto juga pernah berurusan dengan MKD terkait kehadirannya dalam jumpa pers politik bakal calon presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump. Saat itu Novanto menjelaskan, pertemuan dengan Trump bagian dari fungsi parlemen, yakni untuk meningkatkan hubungan baik RI-AS dan investasi AS di Indonesia.

Sementara terkait pertemuannya dengan Maroef, Novanto menuturkan, hal itu bagian dari tugas diplomasi (Kompas, 17/11). Penjelasan Novanto tentang tugas diplomasi dan upaya meningkatkan hubungan baik tidak ada dalam tugas DPR seperti yang diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Dalam kasus pertemuan dengan Trump, Novanto mendapat teguran dari MKD. Kini, publik masih menunggu putusan MKD terhadap Novanto dalam kasus PT FI.

Kinerja terabaikan

Kegaduhan di parlemen yang antara lain dipicu oleh ”pelaksanaan tugas” seperti tugas diplomasi ikut membuat kerja DPR atas sejumlah bidang yang dicantumkan di UU tidak optimal.

Di bidang legislasi, misalnya, sampai menjelang pergantian tahun ini, DPR baru berhasil mengesahkan dua dari 39 RUU prioritas Prolegnas 2015. Kedua RUU itu adalah UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah.

Pencapaian DPR 2014-2019 di bidang legislasi pada tahun keduanya ini lebih rendah dibandingkan pencapaian DPR periode 2009-2014 dalam periode yang sama. Tahun 2010, DPR mengesahkan delapan RUU jadi UU.

Akhirnya, yang terjadi di DPR selama 2015 makin mengukuhkan pemeo bahwa hanya kepentingan yang abadi di politik. Namun, sejumlah persoalan yang muncul menunjukkan, kepentingan yang diperjuangkan sebagian anggota DPR masih jauh atau bahkan bukan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Apakah ini akan berubah di 2016? Waktu yang akan menjawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar