Pertaruhan Kehormatan Mahkamah Kehormatan Dewan
W Riawan Tjandra ; Pengajar Magister Ilmu Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN
TEMPO, 07 Desember 2015
Kehadiran Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) dalam sistem parlemen tak terlepas dari gejala
pemurnian fungsi kelembagaan yang berkembang dalam sistem ketatanegaraan di
republik ini. Hal itu terkait dengan pergeseran paradigma konstitusi dari
sistem distribusi kekuasaan negara menjadi pemisahan kekuasaan negara yang
sudah lama dipikirkan oleh para pemikir besar, seperti Immanuel Kant, John
Locke, dan Montesquieu.
Dengan kian kuatnya
pengaruh konsep pemisahan kekuasaan negara, masing-masing lembaga negara berupaya
menyelesaikan sendiri jika terjadi kasus-kasus pelanggaran etika yang
menyeret sebagian oknum fungsionarisnya melalui sarana peradilan etik (ethical court), yang ditempatkan
sebagai sistem kontrol internal pada masing-masing lembaga tinggi negara tersebut. Hal itu pernah dipraktekkan di Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Demikian pula
pada Pasal 119 sampai 149 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD yang telah diamendemen dua kali (UU MD3), juga menghadirkan
institusi peradilan etik yang diberi nama MKD.
Jika berkaca pada
tugas dan kewenangan MKD sebagaimana diatur dalam UU MD3, terlihat sederet
kewenangan MKD yang menyerupai lembaga peradilan karena diberikan wewenang
untuk memutuskan dugaan pelanggaran etik anggota DPR dengan mencantumkan
kepala putusan yang berkekuataan eksekutorial seperti lembaga peradilan,
yaitu memutuskan "dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan demi kehormatan
DPR".
MKD diberikan
kewenangan penuh untuk memeriksa pengaduan (pasif) ataupun berdasarkan
inisiatif sendiri (proaktif) terhadap dugaan terjadinya pelanggaran etik
ataupun hukum yang menyeret keterlibatan anggota DPR. Pengaturan mengenai
kewenangan memeriksa dugaan pelanggaran etik ataupun hukum dengan menggunakan
alat-alat bukti yang memiliki kualitas paralel dengan sistem peradilan ini
telah menempatkan MKD berkarakter yudisial, bukan lagi politis, meskipun
berkedudukan sebagai salah satu unsur dari sembilan alat kelengkapan DPR.
Pengaturan mengenai
mekanisme peradilan etik secara internal pada masing-masing lembaga tinggi
negara merupakan upaya untuk memastikan independensi dan kehormatan
masing-masing lembaga tinggi negara, termasuk DPR, dalam perspektif sistem
demokrasi konstitusional. Melihat praktek empiris yang telah dijalankan oleh
masing-masing institusi pengawasan etik dari masing-masing lembaga tinggi
negara di republik ini, di saat sebagian anggotanya terseret kasus-kasus etis
ataupun hukum, mampu membuktikan sistem pengawasan etis-internal masing-masing
lembaga tersebut telah dapat mempertahankan kehormatan institusi-institusi
tersebut.
Ujian serius kini
harus dihadapi DPR sebagai lembaga perwakilan politik yang ditempatkan
sebagai lembaga perwakilan rakyat dengan fungsi representasinya. Kasus yang
menimpa Ketua DPR Setya Novanto, terkait dengan kasus "papa minta
saham", akan menjadi ujian sangat serius bagi kehormatan DPR. Selama ini
kepercayaan rakyat terhadap para wakil rakyat di Senayan kian berada di titik
kritis, mengingat rendahnya kualitas dan integritas para wakil rakyat
tersebut.
Jika merujuk pada
Pasal 120 dan 121 UU MD3 memang terkesan bahwa ketentuan tersebut mengunci
komposisi keanggotaan dan pimpinan MKD yang harus berasal dari perimbangan
secara proporsional dari fraksi-fraksi di DPR dan tak memungkinkan diambil
dari unsur independen dari luar lembaga legislatif tersebut.
Ketentuan ini terlihat
paradoksal dalam dua hal. Pertama, tujuan pembentukan MKD adalah menjaga dan
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan
rakyat. Kedua, mekanisme pemeriksaan/persidangan MKD pada Pasal 132 sampai
146 UU MD3 yang dinisbahkan lebih berkarakter yudisial daripada politis untuk
mewujudkan obyektivitas persidangan MKD.
Cara berpikir
paradoksal tersebut mengesankan bahwa MKD, oleh DPR yang membentuknya,
"dilepas kepalanya, tapi dipegangi ekornya". Maka, harapan publik
yang sangat luas mengenai keberhasilan MKD untuk menuntaskan kasus "papa
minta saham" bisa terdistorsi oleh proses politis yang membelit
eksistensi dan pelaksanaan fungsi MKD. Padahal, keberhasilan MKD untuk
membongkar kasus ini dapat menjadi pintu masuk untuk membongkar sederet kasus
lain yang berkaitan dengan interaksi negatif antara aktor/oknum negara dengan
aktor/oknum privat dalam sejumlah kasus pertambangan lain.
Kegagalan MKD dalam
melaksanakan fungsinya sejatinya bisa menggerogoti eksistensi demokrasi
perwakilan dari dalam sistem perwakilan itu sendiri. Di titik ini, para oknum
elite DPR dalam sistem demokrasi perwakilan di republik ini sudah menebar
racun maut di gelas perjamuannya sendiri.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar