Momentum Reformasi Investasi
A Prasetyantoko ; Pengajar di Universitas Katolik Indonesia
Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS,
14 Desember 2015
Presiden Joko Widodo bisa jatuh
karena kasus Freeport. Begitu sebuah
keyakinan yang coba diembuskan. Paling tidak, begitulah sepenggal pernyataan
yang ada dalam rekaman yang beredar luas. Kasus
ini memang telah memasuki fase berbahaya. Setelah Presiden marah, kini
giliran Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang murka di
hadapan media.
Publik masih meyakini Presiden
sangat layak marah. Akan tetapi, layakkah pihak lain untuk marah? Pihak yang
punya kepentingan dalam kasus itu tak pantas merasa terganggu. Keberadaan
merekalah yang justru mengganggu eksistensi bangsa ini.
Di sisi lain, pergulatan di
parlemen juga tak kalah menegangkan. Setelah Mahkamah Kehormatan Dewan
berhasil menguak sekelumit aroma kebusukan, kini muncul wacana pembentukan
panitia khusus hak angket PT Freeport Indonesia. Pertarungan kepentingan
belum akan usai, dan babak akhir sama sekali belum terlihat. Publik hanya
berharap kepentingan kotor di negeri ini makin hari makin sempit ruang
geraknya. Rakyat harus merapatkan barisan.
Terlepas dari hiruk pikuk politik
di dalam negeri, kasus Freeport tak bisa dilepaskan dari prahara krisis
global yang belum juga usai. Kejatuhan harga komoditas membuat perusahaan
berbasis sumber daya alam kalang kabut. Begitu pula Freeport McMoRan Inc
(FCX), induk PT Freeport Indonesia.
Situs kantor berita ekonomi CNBC
melaporkan, sejak awal triwulan IV-2015, saham FCX telah terkoreksi 10
persen. Puncak kejatuhan terjadi pada 9 Oktober, ketika pada penutupan sore
hari terjadi koreksi sekitar 30 persen. Nilai perusahaan menyusut tajam,
mencapai nilai terendah sebelum 2013. Dalam situasi sulit seperti sekarang,
bahkan dengan harga obral sekalipun, sulit menemukan pembeli FCX.
Pada Oktober lalu, Deutsche Bank
menurunkan rekomendasi saham FCX dari ”beli” menjadi ”tahan” serta menurunkan
proyeksi harga saham dari 17 dollar AS menjadi 11 dollar AS. Harga saham FCX
terus meluncur tajam, hingga mencapai 6,63 dollar AS pada 8 Desember lalu.
Dalam 52 minggu, sahamnya melorot dari 25 dollar AS menjadi 6 dollar AS atau
menyusut sekitar 72 persen.
Hal yang dialami FCX bukanlah
anomali, melainkan realitas gelembung masif utang korporasi di pasar keuangan
AS. Dengan penurunan tajam harga komoditas, eksplorasi minyak menjadi begitu
mahal dan hanya bisa dibiayai dengan penerbitan surat utang. Tanpa indikasi
kenaikan harga komoditas, rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika
Serikat, The Fed, hanya akan membuat gelembung utang swasta meletus.
Menghadapi situasi sulit, FCX
berencana mengurangi investasi dari 2 miliar dollar AS menjadi 1,8 miliar
dollar AS pada 2016 dan turun lagi menjadi 1,2 miliar dollar AS pada 2017.
Perusahaan juga menghentikan pembayaran dividen 20 sen per unit saham guna
mempertahankan likuiditas. Meski demikian, belum tentu Freeport bisa keluar
dari situasi sangat sulit ini.
Dalam konteks inilah, kasus PT
Freeport Indonesia meledak. Banyak pihak bertanya, mengapa manajemen
perusahaan ini begitu berani membuka rekaman? Bukankah justru akan
membahayakan perusahaan? Bagaimana mungkin dalam situasi induk perusahaan di
ujung tanduk, anak perusahaannya di Indonesia justru bermanuver politik?
Pertanyaan ini sulit dijawab
secara pasti. Analisis konspirasi yang bersifat ekonomi-politik terlalu
riskan mengandung spekulasi. Namun, fakta yang sulit dibantah, nilai
perusahaan ini cenderung merosot dengan menyisakan beban utang tinggi.
Jikapun pemerintah memaksa mengakuisisi seluruh perusahaan, bisa jadi hanya
akan menemukan ”pepesan kosong”.
Oleh karena itu, basis kita harus
sangat jelas memperjuangkan kepentingan nasional, bukan kelompok kepentingan
belaka. Pertama, kegaduhan ini tentu harus dikelola agar para pemburu rente
tidak merajalela. Kedua, harus realistis memaksimalkan keberadaan PT Freeport
Indonesia bagi kepentingan bangsa, khususnya tanah Papua.
Apa pun alasannya, harus ditempuh
langkah yang memperhatikan kaidah pasar. Bukan kebijakan politik membabi buta
yang justru akan membuat petaka bangsa. Sikap paling baik bagi pemerintah
adalah konsisten dengan lima hal yang pernah diajukan sebagai syarat
perpanjangan kontrak.
Salah satu pertanyaan menarik,
bagaimana mekanisme pelepasan saham PT Freeport sebaiknya dilakukan? Pilihan
paling rasional adalah melalui penjualan di pasar saham secara terbuka dan
transparan. Bursa Efek Indonesia akan memeriksa secara jeli para calon
pembeli pelepasan 10 persen saham PT Freeport Indonesia.
Meski demikian, kita tak bisa
naif, karena dalam penjualan saham di bursa efek sekalipun tetap ada ruang
bagi para mafia. Komitmen pemerintah harus kuat, menggunakan momentum kasus
”papa minta saham” ini sebagai pintu masuk untuk memperbaiki iklim investasi
di Indonesia, baik investasi langsung maupun tidak langsung di bursa saham.
Oleh karena itu pula, pemerintah
harus satu suara, tak boleh terbelah oleh kepentingan di dalam. Jelas ini
bukan pertarungan kepentingan sederhana. Peperangan terjadi secara tidak
simetris, yang melibatkan begitu banyak pihak, baik domestik maupun global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar