Kolonialisasi Maritim RRT di Benua Asia
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
16 Desember 2015
Klaim tumpang tindih kedaulatan di
Laut Tiongkok Selatan menjadi semakin tidak terkendali dan meluas menjadi
persoalan bilateral, regional, dan global. Masalah di laut ini tidak hanya
menjadi persoalan Tiongkok dan empat negara anggota ASEAN, tetapi juga turut
menyeret Amerika Serikat, Australia, dan negara lain.
Pernyataan bersama Jepang-India,
yang disebut sebagai Vision 2025, berisi pernyataan Perdana Menteri Jepang
Shinzo Abe dan PM India Narendra Modi—yang bertemu di New Delhi pekan
lalu—tentang Laut Tiongkok Selatan (LTS), yang dikategorikan sebagai perairan
internasional. Bahkan, kedua pemimpin Asia ini memutuskan untuk melakukan
konsultasi reguler terkait dengan isu keamanan maritim dan alur laut
komunikasi (SLOC) di LTS.
Bersamaan pernyataan bersama
India-Jepang, Australia pun ikut mengirim pesawat patrolinya ke perairan LTS
atas nama kebebasan bernavigasi dan lintas udara, seperti diatur Konvensi PBB
tentang Hukum Laut (UNCLOS). Pernyataan dan aktivitas pesawat dan kapal
militer di LTS ini menunjukkan tak berhasilnya dicapai resolusi konflik
meredakan ketegangan di LTS.
Eskalasi campuran politik,
persoalan hukum internasional, ataupun konflik pengaruh kepentingan ini
didorong beberapa faktor terjadinya perubahan dinamis di LTS. Pertama,
perilaku asertif dan agresif RRT di wilayah LTS, serta posisi keras kepala
para penguasa di Beijing, telah mendorong adanya kebersamaan atas nilai dan
norma hukum internasional.
Masalah ini yang tidak menjadi
pertimbangan strategis RRT ketika Filipina mengajukan tuntutan arbitrase
internasional di Den Haag, Belanda, yang memutuskan memiliki kewenangan
memeriksa gugatan Manila di LTS. Bahkan, secara sengaja RRT mendorong agar
dokumen mengikat tentang tata perilaku (code of conduct) di LTS dibahas
berlarut-larut tanpa penyelesaian. Hal ini memaksa ASEAN terpecah dalam sikap
pro dan kontra RRT akibat kepentingan nasional masing-masing.
Kedua, pembangunan ”pulau palsu”
atas karang dan beting kosong dalam skala masif memicu kesimpulan adanya
bentuk kolonialisasi maritim, ketika RRT tidak bisa menjelaskan kedudukan
sembilan garis putus-putus yang diklaim hanya sebagai ”hak sejarah” tanpa penjelasan
hukumnya. Kolonialisasi maritim yang ingin dilakukan RRT dilihat sebagai
keinginan menguasai SLOC strategis di kawasan LTS, termasuk lalu lintas
pesawat dan kapal militer asing.
Dan ketiga, berbagai mekanisme
struktur arsitektur keamanan yang dirancang ASEAN, seperti Forum Regional
ASEAN (ARF), KTT Asia Timur (EAS), ataupun ADMM+ (pertemuan para menteri
pertahanan ASEAN dan mitra dialog), tidak mampu menyelesaikan kesepakatan
atas perilaku asertif RRT. Bahkan, condong diblokir untuk mengeluarkan
pernyataan.
Pernyataan bersama bilateral
menjadi modus baru melakukan refleksi perilaku negara besar lain dalam
hubungan internasional, seperti pernyataan bersama Jepang-India. Tidak
mengherankan jika pertemuan bilateral Indonesia-Jepang dalam format 2+2
(antara menlu dan menhan kedua pihak) juga bisa mengeluarkan pernyataan
sejenis sampai persoalan kolonialisasi maritim ini memiliki kejelasan yang
memadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar