Republik Nama Baik
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
|
KOMPAS,
10 Oktober 2015
What's in a
name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.
Juliet, dalam
Shakespeare, Romeo and Juliet, Babak 2, Adegan 2
Juliet berasal dari keluarga Capulet. Ia tak diperboalehkan
bergaul dengan Romeo yang berasal dari keluarga ningrat Montague karena
permusuhan di antara kedua keluarga itu.
Gadis itu berangan-angan seandainya sang kekasih tak bernama
Romeo. Sebagaimana bunga mawar sama harum seandainya tidak dengan nama mawar,
begitu juga sang kekasih akan tetap sama bagi Juliet apa pun namanya. Cinta
gadis itu akan tetap sama. Hanya saja, faktanya nama keluarga Capulet dan
Montague justru menjadi soal.
Persoalan filosofis nama hanya nama (nominalisme) atau mewakili
suatu realitas (realisme) sudah lama digumuli para filsuf sejak Abad
Pertengahan. Republik ini memilih realisme nama dengan memidanakan orang yang
melakukan pencemaran nama baik. Kasus yang kini dalam sorotan publik adalah
gugatan seorang hakim terhadap komisioner Komisi Yudisial.
Nama baik
Pemberlakuan pasal pencemaran nama baik diperluas kepada
perusahaan. Konsumen dari pengembang real estat terjerat hukum karena
mengutarakan kekecewaannya melalui rubrik Surat Pembaca di koran. Korban lain
adalah ketika seorang pasien menuliskan kekecewaannya melalui e-mail kepada
para sahabatnya tentang layanan di sebuah rumah sakit swasta besar.
Mahkamah Konstitusi pernah menolak uji materi pasal pencemaran
nama baik dengan alasan kebebasan berpendapat, meski dijamin konstitusi,
harus dibatasi sesuai dengan Pasal 28g UUD 1945 hasil amandemen. "Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan, martabat, dan harta
benda yang di bawah kekuasaannya ... atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi ... untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain".
Membaca isi pasal di atas secara keseluruhan, perendahan
martabat yang dimaksud terlalu luas ketika dikaitkan dengan pencemaran nama
baik. Tersirat kondisi obyektif ancaman dari pihak yang lebih kuat. Kondisi
tersebut tidak dialami para penggugat yang merasa nama baiknya tercemar.
Mereka hanya merasa dirugikan. Reputasi mereka dipersoalkan. Reputasi sendiri
bukan hanya nama baik, melainkan nama karena orangnya dikenal baik dalam
berkarya (kompeten) atau bertindak (profesional). Apabila reputasi dipersoalkan,
respons tepat adalah penjelasan, lalu diikuti karya atau tindakan baik
berikutnya.
Salah satu arti kias nama adalah kehormatan, seperti dalam idiom
"beroleh (mendapat) nama", dan arti itu yang dimaksud dalam
pencemaran nama baik. Menodai nama orangtua berarti merusak harga diri
orangtua. Tidak dikenal ungkapan "menodai nama anak" meski orangtua
sering mengatakan sesuatu yang jelek tentang anaknya.
Masalahnya, realisme nama tidak sederhana juga tidak egaliter.
Menjaga nama baik berarti menjaga harga diri, sesuatu yang subyektif karena
bergantung pada seberapa tinggi seseorang menilai dirinya. Pakar bahasa perlu
dihadirkan sebagai saksi ahli dalam kasus pencemaran nama baik.
Republik baik
Realisme nama juga tidak absolut. Nama baik tak berlaku ketika
orang sudah tidak menjabat atau ketika kinerjanya terbukti mengecewakan. Nama
baik tidak melekat begitu saja pada diri seseorang, apalagi pada institusi.
Prestasi pun tidak absolut. Sebagian orang menilai sebagai prestasi, sebagian
lagi tidak. Itulah isi diskursus dalam ruang publik. Negara tidak perlu
buru-buru hadir dengan ancaman pemidanaan.
Dalam praktiknya, efektivitas pasal pencemaran nama baik
dimanfaatkan sedikit orang berpengaruh. Sungguh tak terbayangkan apabila
banyak orang memanfaatkan pasal pencemaran nama baik. Belum pernah terberita
pengunjung pasar swalayan yang dipermalukan petugas keamanan atas sangkaan
mencuri lalu menggugat atas tuduhan pencemaran nama baik. Karena realitasnya
yang diuntungkan oleh pasal pencemaran nama baik adalah orang berpengaruh,
pesan tersirat di balik pemidanaannya adalah "jangan coba-coba lawan
saya".
Hukum positif tidak hanya soal kepastian hukum, tetapi juga
perlindungan kaum lemah dari kesewenang-wenangan kaum kuat. Bagaimana
republik ini mempertanggungjawabkan penegakan hukum yang mengurus kepentingan
nama baik orang-orang berpengaruh, pada saat yang sama selama puluhan tahun
memberikan stigma nama buruk "eks tapol" kepada jutaan warga tak
bersalah? Bandingkan dengan Magna Carta (1215) yang dikaitkan dengan
perlindungan hak asasi manusia ternyata melindungi hak kaum bangsawan dan
gerejawan.
Sejauh mana urgensi pasal pencemaran nama baik untuk tetap
masuk dalam Rancangan Undang-Undang KUHP? Tanpa pasal pencemaran nama baik,
ruang publik kita tidak serta-merta dipenuhi fitnah dan penghinaan. Publik
kian cerdas bersikap. Memang ungkapan di media sosial rentan dimanfaatkan
dalam kompetisi bisnis atau politik. Namun, itu domain undang-undang
persaingan usaha atau undang-undang politik.
Apabila pencemaran nama baik meresahkan masyarakat, pemerintah
punya cara untuk mencari pelaku pencemaran nama baik menyangkut orang
berpengaruh dan mengarahkan aspirasinya di saluran demokratis yang tersedia.
Salah satu tugas besar pemerintah adalah memberikan edukasi politik, bukan
mempertahankan pasal karet yang definisi kerugiannya subyektif dan manfaatnya
dipetik segelintir orang yang berkepentingan dengan nama baik.
Ada pepatah kita berbunyi "gajah mati meninggalkan gading,
harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama". Ini
bukan soal nama baik, melainkan manusia mati akan dikenang karena perbuatan
baik ataupun buruknya, jasa ataupun kesalahannya. Republik yang baik dikenang
bukan karena sibuk mengurus nama baik orang terpandang, melainkan karena sibuk
melipatgandakan perbuatan baik dan jasa warga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar