Stok Beras Nasional
M Husein Sawit ; Senior Advisor Perum Bulog 2003-2010;
Tim Ahli Kepala Bulog 1996-2002
|
KOMPAS,
10 Oktober 2015
Hingga akhir September, Bulog baru mampu merealisasikan pengadaan setara beras
sebanyak 62 persen dari angka target 4 juta ton. Kalau hanya mengandalkan pengadaan beras
melalui anggaran pelayanan publik, hanya terpenuhi 1,8 juta ton atau 45
persen.
Jauh di bawah angka yang pernah dicapai dalam tiga tahun
terakhir. Akhir Agustus, pemerintah menargetkan pengadaan pada September
sebanyak 1,4 juta ton, terealisasi hanya 30 persen.
Apabila memahami logistik beras, merancang target tinggi pada
musim gadu sangat tidak lazim dan "melawan" pasar beras yang telah
normal. Kemampuan Bulog dalam menyerap gabah/beras pada bulan puncak panen
raya saja (April-Mei) paling tinggi 1 juta ton per bulan. Hingga Januari 2016, hampir tak mungkin
lagi ada tambahan pengadaan Bulog karena telah memasuki musim paceklik dan
harga gabah/beras sudah tinggi.
Mengapa Bulog masih sulit dalam memenuhi pengadaan gabah/beras
dalam negeri yang tinggi? Padahal, sejumlah direksi Bulog telah diganti,
khusus direktur pengadaan dibentuk agar lebih fokus tidak terpecah
perhatiannya dengan penyaluran. Pada saat yang sama, tim gabungan kementerian
pertanian dan Bulog dibangun. Mereka sangat intensif mengunjungi lapangan,
memonitor dan menginformasikan data ke Bulog daerah tentang waktu, luas
panen, dan harga.
TNI AD/Polri pun dilibatkan di lapangan. Para petani penerima
bantuan dan pengusaha penggilingan padi satu per satu didatangi TNI bersama
dengan dinas pertanian setempat (Kompas, 4/9). Babinsa aktif mencarikan gabah/beras untuk
Bulog. Di beberapa tempat, misalnya NTB dan Sulsel, perdagangan gabah/beras
antarwilayah/provinsi dihambat, digiring agar disalurkan ke Bulog. Para
pedagang/pengusaha penggilingan padi "takut" menyimpan stok walau
untuk kebutuhan normal. Perdagangan beras antarwilayah/pulau lesu, tetapi
harga beras tinggi dan cenderung naik.
Tampaknya, sejumlah asumsi pemerintah kurang tepat, di antaranya
stok beras banyak dipegang pelaku usaha/penggilingan padi dan angka produksi
padi/beras tinggi pada musim gadu. Di
pihak lain, Bulog overshooting dalam melakukan pengadaan beras komersial
dengan menetapkan harga tinggi sehingga menjadi acuan harga beras untuk semua
kualitas. Perang harga pun terjadi antara Bulog (sebagai perusahaan besar)
dan para pedagang/penggilingan padi untuk merebut gabah/beras yang jumlahnya
terbatas dan kualitasnya bagus pada
panen musim gadu.
Akibatnya adalah harga gabah/beras tinggi, naik dengan laju yang
lebih cepat akhir-akhir ini, akan berlangsung hingga awal tahun depan. Pada minggu keempat September, harga beras
kualitas medium di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, telah mencapai Rp
9.040 per kg, atau Rp 1.600 lebih tinggi di atas harga pada minggu yang
sama 2014, atau mendekati "harga
mafia" yang pernah terjadi pada minggu keempat Februari yang mencapai Rp
10.090 per kg.
Stok beras
tidak aman
Dalam beberapa minggu terakhir, Presiden menyatakan stok beras
nasional aman, terakhir tanggal 3 Oktober lalu (Kompas, 4/10). Apakah itu suatu pernyataan politik? Data
stok memperlihatkan sebaliknya.
Pemerintah tidak mempunyai cadangan beras pemerintah (CBP),
minus sejak Maret lalu. Situasi minusnya CBP dalam jangka lama seperti tahun
ini tidak pernah terjadi sehingga pemerintah tidak punya "amunisi"
untuk menstabilkan harga beras. Sungguhpun pemerintah dapat mengisi CBP
dengan beras komersial (premium) Bulog yang jumlahnya 700.000 ton, itu tidak
mengubah posisi kekuatan stok beras nasional karena hanya memindahkan
pencatatan.
Pemerintah sangat mengandalkan program beras untuk rakyat miskin
(raskin) guna meredam kenaikan harga pada bulan-bulan mendatang, dirancang
penyaluran raskin bulan ke-13 (Oktober sebanyak 460.000 ton) dan bulan ke-14
(November dalam jumlah yang sama). Hingga September, Bulog telah menghabiskan
stok beras sebesar 2,1 juta ton untuk program raskin, dengan pagu tahun ini
termasuk raskin ke-13 dan ke-14 mencapai 3,3 juta ton. Suatu angka penyaluran
beras yang terlalu besar, yang dapat membuat Bulog terperangkap dengan impor
beras, tak sebanding dengan pengadaan anggaran pelayanan publik (PSO) plus
komersial yang paling tinggi 2,5 juta ton.
Pada akhir September, stok beras Bulog tinggal 1 juta ton, cukup
untuk penyaluran PSO hingga Januari 2016. Namun, kalau raskin ke-13 dan ke-14
jadi disalurkan, ditambah dengan operasi pasar sebesar 300.000 ton, stok
akhir tahun Bulog minus sekitar 1 juta ton, yang tidak pernah terjadi selama
Bulog didirikan.
Karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan dua hal berikut.
Pertama, pemerintah jangan terlalu percaya diri dengan situasi stok beras
nasional sekarang ini, taruhan politiknya terlalu tinggi. Plan B seharusnya
telah diputuskan sejak Agustus setelah menganalisis pertumbuhan produksi
beras, stok Bulog, harga beras di pasar, dan iklim. Kedua, pemerintah
sebaiknya "memperkuat" lembaga Bulog untuk kepentingan jangka
panjang, bukan seperti sekarang ini sangat ad hoc, kepentingan sesaat demi
hasrat politik jangka pendek. Semoga pemerintah tidak salah langkah, yang
akan berdampak terhadap biaya sosial dan ekonomi tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar