Salim Kancil dan Absennya Negara
Fajar Kurnianto ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
(PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta
|
KOMPAS,
10 Oktober 2015
Negara didirikan antara lain untuk melindungi kehidupan warga
melalui seperangkat hukum yang dibuatnya. Setelah hukum ada, negara
menegakkan hukum itu tanpa pandang bulu. Maka, negara harus terus hadir di
tengah masyarakat dalam konteks ini. Apa jadinya jika negara absen? Salah
satunya peristiwa tragis ini: seorang Salim Kancil dibantai secara keji oleh
sejumlah orang di depan balai desa (simbol negara di tingkat paling bawah).
Salim Kancil seorang petani dan aktivis lingkungan hidup yang
tergabung dalam Forum Petani Anti Tambang. Salim dibunuh oleh puluhan orang
pada Sabtu (26/9), sesaat sebelum demonstrasi penolakan tambang pasir di Desa
Selo Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Puluhan warga pro penambangan pasir itu juga mengeroyok
Tosan.Seperti halnya Salim, Tosan merupakan petani penggerak penolakan penambangan
pasir di Pantai Watu Pecak. Hal tersebut mereka lakukan lantaran penambangan
mengakibatkan pesisir pantai rusak. Di sisi lain, lahan pertanian warga juga
terkena imbas kerusakan. Terlebih lalu lalang truk besar pengangkut pasir
pertambangan telah merusak beberapa ruas jalan desa.
Salim tewas dengan luka bacok dalam kondisi tangan terikat.
Adapun Tosan mengalami luka serius dan tengah dirawat secara intensif di RS
Saiful Anwar, Malang. Hingga kini 37 berkas pemeriksaan tersangka perkara
sudah dihimpun: 24 kasus penganiayaan dan pembunuhan; 9 kasus penambangan
ilegal; dan 4 khusus kasus pengeroyokan Tosan dan pembunuhan Salim serta
penambangan ilegal.
Menurut Kontras, kronologi pembantaian keji itu dimulai ketika
sekelompok orang yang diduga merupakan anggota Tim 12 bersama-sama yang
lainnya hingga berjumlah 40 orang merangsek ke rumah Salim. Mereka kemudian
menyeret Salim dengan tali tampar yang biasa dibuat untuk menggiring sapi
menuju Balai Desa Selok Awar-Awar. Suasana ketika itu cukup lengang karena
pegawai libur pada Sabtu. Mereka lalu merebahkan Salim untuk menyetrumnya.
Upaya pembunuhan atas Salim dengan setrum itu diduga disaksikan
oleh anak-anak PAUD (pendidikan anak usia dini) yang kebetulan sedang
menggelar kelas di sebelah balai desa. Meski disetrum, Salim kabarnya masih
bisa bertahan. Dia kemudian disiksa secara keji di luar batas kemanusiaan, di
sekitar tempat pemakaman umum, sehingga ia meninggal.
Menurut data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Salim bukanlah
orang pertama yang diduga jadi korban pembunuhan akibat menolak penambangan
pasir di Kabupaten Lumajang. Dari Desember 2014, proyek ini (penambangan
pasir) dimulai dan melewati tiga desa. Dari semua desa masing-masing ada satu
yang meninggal. Salim ini yang keempat, kata pengacara publik LBHJ, Alldo
Felix (28/9).
Ada dalam
ketiadaan
Apa yang terjadi pada Salim dan Tosan menggambarkan dengan
terang absennya negara yang direpresentasikan oleh aparat keamanan (polisi).
Aparat sebenarnya sudah dilapori perihal penambangan pasir ilegal. Para
pelapor itu sering kali mendapat ancaman dari orang-orang yang merasa bisnis
ilegal mereka terganggu. Pada kenyataannya, peristiwa tragis itu terjadi, dan
aparat begitu lambat mengantisipasi. Mestinya aparat segera memberikan
jaminan perlindungan karena sebenarnya masalahnya sudah serius dan
membahayakan.
Ini masalah kehidupan warga yang jelas harus dilindungi oleh
negara. Tetapi, sayangnya, negara seperti ”ada tapi tak ada”. Aparat sebagai
penegak hukum di satu sisi, dan balai desa sebagai simbol negara di sisi
lain, seperti ”ada tapi tak ada”. Ia ada dan berwujud. Tetapi, ada-nya itu
seperti tidak ada. Atau ada, tetapi seperti tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah ada kejadian, baru tiba-tiba muncul. Tidak hanya aparat dan
pemerintah daerah setempat, tetapi bahkan dari pusat. Suara- suara dari pusat
pemerintahan di Jakarta bermunculan begitu nyaring terdengar, meminta kasus
itu dituntaskan.
Semua sepakat kasus itu memang harus dituntaskan. Tetapi, apakah
negara dengan segala perangkatnya itu selama ini menyadari absennya mereka
dalam banyak persoalan riil di lapis bawah? Salim dan Tosan, juga orang-orang
seperti mereka di tempat-tempat lain, adalah simbol perlawanan masyarakat
lapis bawah itu, sekaligus seperti hendak mengatakan bahwa negara itu harus
hadir melindungi warga dan menegakkan hukum.
Jika kasus-kasus seperti Salim dan Tosan tidak diusut tuntas,
hal yang sama bisa jadi bakal terjadi di tempat-tempat lain dengan cerita
serupa. Negara harus memaksimalkan fungsinya seperti yang diistilahkan oleh
Jeremy Bentham sebagai panopticon dalam karya klasiknya, Panopticon; Or The
Inspector House (1787). Menurut Foucault (1995), dalam panopticon, satu orang
pengawas di menara bisa mengawasi aktivitas banyak orang dalam tahanan. Yang
dikembangkannya adalah sebuah model pengawasan melalui segelintir kecil orang
(para sipir atau pengawas, dan atasannya) secara konstan mengawasi banyak
orang. Para tahanan tahu bahwa mereka selalu berada dalam pengawasan, tetapi
tidak satu pun dari mereka tahu kapan pengawasan dilakukan.
Fungsi panopticon
sebenarnya adalah mendisiplinkan masyarakat dengan melakukan pengawasan
terus-menerus tanpa diketahui oleh yang diawasi. Dalam kasus Salim dan Tosan,
negara tidak mengawasi, tetapi tampak membiarkan dengan tidak melakukan antisipasi
dan perlindungan yang maksimal. Akhirnya, setelah nyawa Salim melayang, baru
tiba-tiba negara hadir dengan penuh kekagetan. Kasus ini menjadi pelajaran
penting bagi negara untuk tidak absen mengawasi dan melindungi kehidupan
warganya. Sebab, itulah di antara tugas penting negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar