Kamis, 08 Oktober 2015

Berutang

Berutang

Samuel Mulia ;   Penulis kolom “Konsultasi Parodi” Kompas Minggu
                                                       KOMPAS, 04 Oktober 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Akhir pekan yang lalu, saya dan dua teman di masa kecil berkumpul setelah cukup lama tak berjumpa. Kami sudah berteman sejak orangtua kami memasukkan kami di sebuah taman kanak-kanak di kota Denpasar. Jadi, sesungguhnya pertemanan itu sudah berusia setengah abad lebih dua tahun. Pertemuan sekian jam itu sudah seperti membedah sebuah cerita perjalanan hidup.

Waktu hidup

Dari sejuta cerita itu, yang paling menarik adalah ketika satu dari kami berkomentar begini. ”Aku enggak mau sampai enggak punya uang lagi. Aku mau masa tua ku enggak ngutang ke mana-mana. Mau tentrem.”

Pernyataan itu melambungkan kepada suatu masa ketika saya tak punya uang. Ketika saya sudah bekerja, tetapi kehabisan dana. Saya ingat, sampai tak bisa membayar utang kepada teman saya. Perasaan malu mau tak mau harus dihadapi. Malu itu adalah harga yang harus dibayar ketika sebuah tanggung jawab tidak bisa dilakukan.

Berutang uang itu sebuah keadaan yang tak hanya memiliki arti meminjam uang orang lain yang dijanjikan akan dikembalikan pada waktu yang telah disepakati bersama, tetapi sebuah keadaan yang buat saya yang pernah mengalami adalah sebuah situasi yang telah meluluhlantakkan harga diri.

Berutang itu adalah cermin bahwa seseorang telah dengan sukses tidak bertanggung jawab atas cara mengelola hidupnya dan membebaninya kepada orang lain yang tak seharusnya menerima beban itu. Memberikan pinjaman itu sebuah beban, bukan hanya sekadar sebuah tindakan menolong. Apalagi kalau waktu pembayaran utang dilanggar dengan sejuta alasan.

Mengapa seseorang itu sampai berutang uang? Akan ada banyak alasan sebagai jawaban untuk pertanyaan yang sangat umum itu. Tetapi, pada umumnya tujuan peminjaman uang itu awalnya selalu baik. Membangun usaha, memenuhi kebutuhan hidup, misalnya. Mengapa mereka tidak menggunakan uangnya sendiri?

Kalau untuk urusan bisnis, pengembangan megaproyek saya sungguh tidak tahu. Mungkin Anda bisa bertanya kepada mereka yang berutang tetapi menjadi sukses karena usahanya berkembang. Bahkan berutang kemudian menjadi sebuah kegiatan yang sungguh menyenangkan buat mereka.

Waktu mati

Tetapi, mendengar cerita di akhir pekan bersama teman lama itu, saya bertanya dalam hati mengapa ada teman kami yang sukses luar biasa dan ada yang sengsaranya setengah mati. Apakah hidup itu memang harusnya demikian? Ada yang harus berperan kaya dan ada yang miskin. Ada yang memberi pinjaman dan ada yang meminjam. Ada yang harus meninggal di masa muda, ada yang sampai usia lanjut masih sehat walafiat.

Benarkah kalau di atas saya menuliskan bahwa berutang semata-mata sebuah tindakan yang tidak bertanggung jawab? Apakah pernyataan itu akan lebih tepat bagi mereka yang berutang karena malas menabung, hidup yang lebih besar pasak dari tiang, atau untuk mereka yang doyannya memang berutang?

Tetapi, bagaimana kalau mereka sudah berusaha sedemikian rupa, menabung dengan benar, memilih investasi dengan benar tetapi perjalanan hidupnya tak membuat ia mampu berdiri di atas uangnya sendiri?

Saya jadi teringat di masa sekolah dulu. Ada 30 murid di dalam kelas yang diberikan pelajaran yang sama. Tetapi, tak semua murid menjadi pandai dan juara kelas. Ada yang malas belajar, ada yang memang dilahirkan dengan IQ yang gitu deh seperti saya. Mungkin kalau yang malas, Anda dan saya akan berkata ya… sudah lumrah. Tetapi bagaimana yang IQ-nya ya... gitu deh?

Saya ini bisa dikatakan murid yang rajin belajar, tidak pernah membolos kecuali sakit, setiap sore mengerjakan pekerjaan rumah didampingi ayah yang pandai, tidak sabar, dan galaknya setengah mati. Kadang ia sampai geleng kepala, kok untuk soal sesepele itu saya menjawab begitu lamanya. Alhasil dari jumlah murid 30 orang itu, saya selalu juara satu atau kadang dua, dihitung dari bawah.

Sepulang dari pertemuan malam itu, hati saya bergoyang galau. Bagaimana kalau suatu hari saya tak bisa lagi membiayai hidup ini. Bukankah tak ada yang bisa mengetahui apa yang terjadi di masa depan? Bisa saja sekarang berjaya, kemudian ambruk dan tak berdaya.

Bagaimana kalau saya harus berutang, ketika hidup yang sudah saya atur sedemikian rupa benarnya, ternyata membinasakan saya dalam ketidakberdayaan finansial? Malam itu saya berdoa agar yang Mahakuasa tak membuat saya harus menyengsarakan orang lain. Menyengsarakan itu bukan meminta bantuan orang lain untuk memandikan saya ketika saya tidak mampu lagi bangkit dari tempat tidur.

Bukan juga menyuapi saya ketika saya tak berdaya menikmati makanan dengan tangan saya sendiri dan menuntun saya ketika saya kehilangan ingatan. Tetapi, agar saya tak mati dalam keadaan berutang, bahkan berutang untuk semua keperluan mengurus menidurkan saya di liang lahat.

Agar ketika mereka yang hadir di pemakaman pulang ke rumah, mereka pulang dengan perasaan kehilangan saya, bukan karena kehilangan uang mereka yang tidak akan pernah kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar