Berutang
Samuel Mulia ; Penulis kolom “Konsultasi Parodi” Kompas
Minggu
|
KOMPAS,
04 Oktober 2015
Akhir pekan yang lalu, saya dan
dua teman di masa kecil berkumpul setelah cukup lama tak berjumpa. Kami sudah
berteman sejak orangtua kami memasukkan kami di sebuah taman kanak-kanak di
kota Denpasar. Jadi, sesungguhnya pertemanan itu sudah berusia setengah abad
lebih dua tahun. Pertemuan sekian jam itu sudah seperti membedah sebuah
cerita perjalanan hidup.
Waktu
hidup
Dari sejuta cerita itu, yang
paling menarik adalah ketika satu dari kami berkomentar begini. ”Aku enggak
mau sampai enggak punya uang lagi. Aku mau masa tua ku enggak ngutang ke
mana-mana. Mau tentrem.”
Pernyataan itu melambungkan kepada
suatu masa ketika saya tak punya uang. Ketika saya sudah bekerja, tetapi
kehabisan dana. Saya ingat, sampai tak bisa membayar utang kepada teman saya.
Perasaan malu mau tak mau harus dihadapi. Malu itu adalah harga yang harus
dibayar ketika sebuah tanggung jawab tidak bisa dilakukan.
Berutang uang itu sebuah keadaan
yang tak hanya memiliki arti meminjam uang orang lain yang dijanjikan akan
dikembalikan pada waktu yang telah disepakati bersama, tetapi sebuah keadaan
yang buat saya yang pernah mengalami adalah sebuah situasi yang telah meluluhlantakkan
harga diri.
Berutang itu adalah cermin bahwa
seseorang telah dengan sukses tidak bertanggung jawab atas cara mengelola
hidupnya dan membebaninya kepada orang lain yang tak seharusnya menerima
beban itu. Memberikan pinjaman itu sebuah beban, bukan hanya sekadar sebuah
tindakan menolong. Apalagi kalau waktu pembayaran utang dilanggar dengan
sejuta alasan.
Mengapa seseorang itu sampai
berutang uang? Akan ada banyak alasan sebagai jawaban untuk pertanyaan yang
sangat umum itu. Tetapi, pada umumnya tujuan peminjaman uang itu awalnya
selalu baik. Membangun usaha, memenuhi kebutuhan hidup, misalnya. Mengapa
mereka tidak menggunakan uangnya sendiri?
Kalau untuk urusan bisnis,
pengembangan megaproyek saya sungguh tidak tahu. Mungkin Anda bisa bertanya
kepada mereka yang berutang tetapi menjadi sukses karena usahanya berkembang.
Bahkan berutang kemudian menjadi sebuah kegiatan yang sungguh menyenangkan
buat mereka.
Waktu
mati
Tetapi, mendengar cerita di akhir
pekan bersama teman lama itu, saya bertanya dalam hati mengapa ada teman kami
yang sukses luar biasa dan ada yang sengsaranya setengah mati. Apakah hidup
itu memang harusnya demikian? Ada yang harus berperan kaya dan ada yang
miskin. Ada yang memberi pinjaman dan ada yang meminjam. Ada yang harus meninggal
di masa muda, ada yang sampai usia lanjut masih sehat walafiat.
Benarkah kalau di atas saya
menuliskan bahwa berutang semata-mata sebuah tindakan yang tidak bertanggung
jawab? Apakah pernyataan itu akan lebih tepat bagi mereka yang berutang
karena malas menabung, hidup yang lebih besar pasak dari tiang, atau untuk
mereka yang doyannya memang berutang?
Tetapi, bagaimana kalau mereka
sudah berusaha sedemikian rupa, menabung dengan benar, memilih investasi
dengan benar tetapi perjalanan hidupnya tak membuat ia mampu berdiri di atas
uangnya sendiri?
Saya jadi teringat di masa sekolah
dulu. Ada 30 murid di dalam kelas yang diberikan pelajaran yang sama. Tetapi,
tak semua murid menjadi pandai dan juara kelas. Ada yang malas belajar, ada
yang memang dilahirkan dengan IQ yang gitu deh seperti saya. Mungkin kalau
yang malas, Anda dan saya akan berkata ya… sudah lumrah. Tetapi bagaimana
yang IQ-nya ya... gitu deh?
Saya ini bisa dikatakan murid yang
rajin belajar, tidak pernah membolos kecuali sakit, setiap sore mengerjakan
pekerjaan rumah didampingi ayah yang pandai, tidak sabar, dan galaknya
setengah mati. Kadang ia sampai geleng kepala, kok untuk soal sesepele itu
saya menjawab begitu lamanya. Alhasil dari jumlah murid 30 orang itu, saya
selalu juara satu atau kadang dua, dihitung dari bawah.
Sepulang dari pertemuan malam itu,
hati saya bergoyang galau. Bagaimana kalau suatu hari saya tak bisa lagi
membiayai hidup ini. Bukankah tak ada yang bisa mengetahui apa yang terjadi
di masa depan? Bisa saja sekarang berjaya, kemudian ambruk dan tak berdaya.
Bagaimana kalau saya harus
berutang, ketika hidup yang sudah saya atur sedemikian rupa benarnya,
ternyata membinasakan saya dalam ketidakberdayaan finansial? Malam itu saya
berdoa agar yang Mahakuasa tak membuat saya harus menyengsarakan orang lain.
Menyengsarakan itu bukan meminta bantuan orang lain untuk memandikan saya
ketika saya tidak mampu lagi bangkit dari tempat tidur.
Bukan juga menyuapi saya ketika
saya tak berdaya menikmati makanan dengan tangan saya sendiri dan menuntun
saya ketika saya kehilangan ingatan. Tetapi, agar saya tak mati dalam keadaan
berutang, bahkan berutang untuk semua keperluan mengurus menidurkan saya di
liang lahat.
Agar ketika mereka yang hadir di
pemakaman pulang ke rumah, mereka pulang dengan perasaan kehilangan saya,
bukan karena kehilangan uang mereka yang tidak akan pernah kembali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar