Tabir
Mantra Jokowi
Musyafak ; Staf
di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
|
KORAN
TEMPO, 04 Februari 2015
Jokowi meninggalkan jejak semiotik yang menarik untuk
dimaknai di tengah suasana ribut antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dan Polri. Sang Presiden, yang didesak agar bersikap tegas dalam menengahi
konflik "cicak vs buaya", malah menulis sebaris ungkapan Jawa pada
laman akun media sosialnya: suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti
(www.tempo.co, 25/01/2015). Ungkapan yang dinukil dari syair pujangga
Ronggowarsito tersebut kurang-lebih berarti sebesar apa pun angkara murka,
bakal kalah jika dihadapi dengan kebijaksanaan.
Ungkapan Jokowi di media sosial itu lebih mewakili dirinya
secara personal dan subyektif. Berbeda dengan pidato Jokowi dua hari
sebelumnya di Istana Bogor, yang berdimensi politis dan bersifat publik.
Ekspresi Jokowi di media sosial memaknakan suasana batin atau ide personal
dirinya dalam merespons situasi politik yang menekannya.
Jokowi menyadari adanya "tangan-tangan murka"
yang sedang mengonari langkah pemerintahan seumur jagung yang ia jalankan.
Sebagai presiden dan kader partai sekaligus, Jokowi tentu paham betul soal
kepentingan-kepentingan di balik suro diro jayaningrat (angkara murka) yang
mengintimidasi kekuasaannya. Namun rasanya sikap pangastuti (kebijaksanaan,
kelembutan, atau kasih sayang) tak akan mudah mengalahkan angkara murka.
Sebab, yang hendak dilawan dengan pangastuti itu, sebagaimana situasi politik
yang berkembang sekarang ini, adalah "ibu politik" Jokowi sendiri,
yang menggendongnya menaiki anak tangga hingga ke kursi RI-1.
Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti memang bukan
sepenuhnya berarti kepasrahan yang dibalut dalam kata-kata puitis. Hikayat
Nyai Pamekas versus Pangeran Citrasoma mengilustrasikan bagaimana siasat
lembut dapat mengalahkan hawa nafsu yang kasar. Alkisah, Citrasoma begitu
berahi terhadap Pamekas, hingga terang-terangan ingin menidurinya.
Pamekas menolak secara lembut dan penuh siasat. Citrasoma
diminta untuk meniduri semua orang agar perzinahan mereka tak bisa diketahui
seorang pun. Namun hasrat Citrasoma tak lantas terpenuhi ketika semua orang
telah berhasil dia sirap. Malah, Pamekas berkata kepadanya bahwa Tuhan yang
Maha Kuasa belum tidur. Begitulah, akhirnya kebijaksanaan dan kelembutan
Pamekas meluluhkan hasrat durjana Citrasoma.
Sebagaimana Pamekas, di balik kelembutan Jokowi (publik
menafsirkannya sebagai ketidaktegasan), bisa saja terkandung siasat
perlawanan juga. Pembentukan Tim 9 mengindikasikan "serangan
samping" terhadap pihak-pihak yang mengintervensi pencalonan Kapolri.
Kalau nantinya Jokowi mengindahkan rekomendasi Tim 9, yang terdiri atas para
negarawan dan begawan itu, "serangan samping" tersebut tentu punya
arti. Kalau Tim 9 hanya dijadikan "gincu" oleh Jokowi, dengan
sendirinya Jokowi membeberkan bahwa dirinya hanya berlindung di balik mantra
syair Ronggowarsito.
Jokowi tentu lain dengan Pamekas, yang inferior ketika
berhadapan dengan Citrasoma. Dilihat dari posisi politik dan konstitusi,
Jokowi bukanlah manusia tak berdaya. Amanah rakyat dan konstitusi yang
menjadi kekuatan utama Jokowi merupakan amunisi besar yang semestinya
dimanfaatkan untuk melawan dengan tegas pihak-pihak yang mengintervensinya
dalam menjalankan pemerintahan. Betapa "kebijaksanaan lembut"
Jokowi memakan waktu lama, sehingga potensial membuka celah-celah persoalan
baru yang kian ruwet di tengah pertikaian antarlembaga penegak hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar