Minggu, 08 Februari 2015

Reformasi Tata Kelola Listrik

Reformasi Tata Kelola Listrik

Rinaldy Dalimi  ;  Guru Besar UI dan Anggota Dewan Energi Nasional
KOMPAS, 07 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

LIMA minggu setelah dibentuk, Komite Reformasi Tata Kelola Migas pada 21 Desember 2014 mengeluarkan rekomendasi pertama kepada pemerintah: menghentikan impor premium (RON 88) dan menggantinya dengan pertamax (RON 92) serta memberikan subsidi pada pertamax. Rekomendasi ini menimbulkan pro-kontra sehingga diperlukan ketegasan, kehati-hatian dan ”keberanian” serta konsistensi untuk melaksanakannya.

Ada empat tugas yang harus diselesaikan dalam waktu enam bulan oleh komite ini. Pertama, meninjau ulang, mengkaji seluruh proses perizinan dari hulu hingga hilir. Kedua, menata ulang kelembagaan, termasuk memotong mata rantai birokrasi yang tidak efisien.  Ketiga, mempercepat revisi UU Migas. Keempat, mendorong lahirnya iklim industri migas di Indonesia yang bebas dari pemburu rente dari setiap rantai aktivitasnya.   

Waktu enam bulan bukanlah waktu yang panjang sehingga komite ini harus bekerja cepat, cermat dan komprehensif karena cakupan empat tugas itu sebenarnya terkait hampir semua aspek tata kelola migas itu sendiri. Hasilnya akan menentukan arah tata kelola migas di Indonesia di masa yang akan datang.

Komite reformasi listrik?

Namun, jangan lupa, permasalahan di sektor tenaga listrik tidak kalah rumitnya. Selama ini sebagian besar diselesaikan dengan ”tambal sulam” sehingga terjadi inefisiensi.  Karena itu, mereformasi sektor tenaga listrik nasional jadi keniscayaan.

Hal-hal utama yang perlu direformasi di antaranya pengadaan energi primer yang ditentukan dari pusat; perencanaan dan perizinan yang terpusat; struktur organisasi PLN yang besar; dan cakupan tanggung jawab PLN yang cukup berat untuk melistriki seluruh wilayah Indonesia.  Saat ini PLN merupakan salah satu perusahaan listrik terbesar di dunia dengan jumlah konsumen sekitar 58 juta, dengan cakupan wilayah kepulauan yang luas seluruh Indonesia.  

Perencanaan dan pengoperasian sistem tenaga listrik PLN yang terpusat mengikuti  konsep negara-negara kontinental. Dengan kondisi geografis negara kepulauan seperti Indonesia, konsep kontinental itu tidak efisien karena beragamnya kondisi dan kebutuhan dari wilayah.  Apa yang direncanakan dan diputuskan dari pusat sering tidak sesuai dengan kebutuhan di daerah.

Dengan adanya momentum yang baik, terutama setelah berhasilnya pemerintah mengurangi subsidi BBM, seyogianya perlu dibentuk juga Komite Reformasi Tata Kelola Listrik. Komite ini diperlukan untuk membenahi inefisiensi pengelolaan sektor tenaga listrik dan melakukan restrukturisasi tata kelola perlistrikan nasional, paralel dengan reformasi migas.

Merestrukturisasi sektor tenaga listrik yang dimonopoli PLN tentu harus dimulai dari internal PLN.  Sekarang ini dalam struktur PLN di bawah direktur utama terdapat delapan direktur: direktur perencanaan; direktur konstruksi dan energi baru terbarukan; direktur SDM; direktur keuangan; direktur operasi Jawa Bali Sumatera; direktur operasi Indonesia Timur; direktur pengadaan strategis; serta direktur kepatuhan dan manajemen risiko.

Dari susunan direksi seperti ini terjadi tumpang tindih tanggung jawab. Daerah Indonesia yang begitu luas hanya dibagi dua wilayah operasi, masing-masing di bawah satu direktur.  Di setiap wilayah terdapat beberapa general manager (GM) yang bertanggung jawab kepada direktur yang berbeda.

Contohnya di wilayah Sumatera Utara terdapat empat GM, yaitu GM wilayah, GM pembangkitan, GM yang membawahi pembangunan proyek pembangkit, dan GM yang membawahi pembangunan proyek transmisi dan gardu induk.  Setiap GM bertanggung jawab kepada direktur yang berbeda.   Sering terjadi, keputusan yang diambil di tingkat pusat justru memperlambat proses penyelesaian suatu proyek pembangunan atau penyelesaian masalah.

Kondisi internal PLN seperti ini perlu diubah terlebih dahulu.  Direktur yang selama ini bertanggung jawab berdasarkan jenis pekerjaan diubah jadi bertanggung jawab terhadap operasional dan perencanaan sistem perlistrikan secara keseluruhan dalam satu wilayah.  Jadi, di bawah direktur utama hanya ada direktur wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Papua, dan direktur wilayah kepulauan.

Semua pulau kecil ditangani satu direktur karena karakteristik daerah kepulauan hampir sama, yaitu isolated system.  Dengan kondisi ini, semua GM yang ada di setiap wilayah hanya bertanggung jawab kepada satu direktur saja.  Langkah ini merupakan awal dari pelaksanaan regionalisasi sektor perlistrikan nasional, yang berujung pada dibentuknya Perusahaan Listrik Regional.  Nantinya wilayah Indonesia di bagi jadi region Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua, dan kepulauan.

Regionalisasi kelistrikan

Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2050, yaitu tentang desentralisasi tanggung jawab kepada pemerintah daerah, dan UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan merupakan pendukung dari terwujudnya desentralisasi dan regionalisasi sektor tenaga listrik nasional, yang harus dilakukan secara bertahap dan hati-hati, agar proses pembangunan tidak terganggu.  Desentralisasi dilaksanakan setelah  restrukturisasi manajemen di internal PLN sudah berjalan baik.

Tugas PLN pusat nantinya hanya menangani dan merencanakan pembangunan transmisi nasional yang ada di semua Perusahaan Listrik Regional.  Di sinilah peran pemerintah untuk membangun infrastruktur transmisi dengan dana APBN yang dilakukan oleh PLN pusat, seperti halnya pemerintah membangun jalan nasional yang dilakukan oleh Jasa Marga pada Kementerian Pekerjaan Umum (kini: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat).

Dana subsidi untuk sektor kelistrikan dapat difokuskan pada pembangunan transmisi nasional tersebut.  Dalam pengoperasian transmisi nasional, pemerintah juga dapat menerapkan konsep power wheeling yang sama dengan konsep jalan tol atau open access pada pipa gas sehingga pengembalian investasi dapat diperoleh dan dananya dapat digunakan untuk memperluas jaringan transmisi nasional.

Salah satu tugas penting Perusahaan Listrik Regional adalah menerapkan tarif listrik regional berdasarkan biaya pokok penyediaan (BPP) di setiap wilayah.  Tarif listrik di setiap wilayah nantinya berbeda-beda dan akan ditetapkan oleh pemda dan DPRD, sesuai UU Ketenagalistrikan.  Pada saatnya nanti jika sebagian subsidi listrik juga sudah menjadi tanggung jawab daerah (sesuai dengan KEN-2050), pada saat itulah regionalisasi sektor tenaga listrik tuntas dilakukan.

Reformasi tata kelola listrik merupakan keniscayaan, yang prosesnya butuh waktu dan kehati-hatian.  Berbeda dengan migas, pada sektor kelistrikan yang harus diubah terlebih dahulu adalah konsep dasar perencanaan dan pembangunan sektor: dari konsep kontinental ke konsep kepulauan. Tanpa perubahan konsep, penyelesaian masalah sektor tenaga listrik akan selalu bersifat ”tambal sulam”, dan pengelolaannya akan semakin tidak efisien. Ketersediaan energi listrik yang efisien faktor utama dalam pembangunan Indonesia untuk jadi negara maju dengan ketahanan energi yang kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar