Jumat, 06 Februari 2015

Pengadaan Tanah untuk Jalan Tol

Pengadaan Tanah untuk Jalan Tol

Bahrul Ilmi Yakup  ;  Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi; Advokat dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat Kajian BUMN
KOMPAS, 06 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PEMBANGUNAN infrastruktur merupakan program unggulan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,  antara lain jalan tol dan dermaga. Oleh karena itu, Jokowi menargetkan jalan Tol Trans-Sumatera dan dermaga penyeberangan Merak-Bakauheni dapat dimulai pada Maret 2015 dan selesai tahun 2019, seiring berakhirnya  masa jabatan Jokowi (Kompas, 26/1/2015).

Rakyat seyogianya memberikan dukungan penuh terhadap proyek pembangunan infrastruktur yang dicanangkan Jokowi tersebut. Sebab, baik jalan tol maupun dermaga tentunya akan  memberikan manfaat bagi peningkatan taraf kesejahteraan rakyat, baik langsung maupun tidak langsung.

Namun, fakta yang muncul sering kali kontras dengan  prediksi dan harapan. Data empiris justru membuktikan bahwa  pembangunan jalan tol merupakan proyek yang paling banyak menghadapi kendala, terutama kendala pembebasan lahan. Hampir  semua proyek pembangunan jalan tol, seperti Jalan Tol Dumai-Pekanbaru, Trans-Jawa, Cibitung-Cilincing, Balikpapan-Samarinda, Serpong-Balaraja, dan Indralaya-Palembang , menghadapi masalah pembebasan lahan.

Satu-satunya proyek pembangunan jalan tol yang tidak terkendala pembebasan lahan adalah tol akses Tanjung Priok Seksi E-1 ruas Rorotan-Cilincing sepanjang 3,4 kilometer. Pembangunan tol tersebut tidak terkendala pembebasan lahan sebab lahannya telah selesai dibebaskan pada tahun 1974. Dampaknya, pembangunan tol tersebut dapat diselesaikan dua hari lebih cepat daripada alokasi waktu pembangunan yang disediakan selama 540 hari.

Sementara banyak proyek pembangunan jalan tol lain terbengkalai akibat pembebasan lahan yang tak kunjung tuntas. Sebutlah Jalan Tol Bakauheni-Terbanggi Besar sepanjang 155 kilometer yang ditender sejak 2006, tetapi  sampai saat ini tidak terealisasi karena tidak ada investor yang berani berinvestasi.

Investasi di proyek jalan tol di Indonesia dianggap oleh sebagian besar investor sebagai  investasi berisiko tinggi yang cenderung mereka hindari. Faktor risiko berinvestasi di jalan tol antara lain fluktuasi nilai tukar rupiah yang terkait dengan lamanya masa investasi, eskalasi biaya akibat  keterlambatan pembangunan, dan market pengguna yang masih rendah. Oleh karena itu, pertumbuhan jalan tol di Indonesia jauh lebih rendah daripada di Malaysia dan Tiongkok.

Faktor yang paling krusial yang menyebabkan investasi jalan tol menjadi berisiko adalah  keterlambatan pembangunan akibat tidak tersedianya lahan. Lahan untuk jalan tol tidak tersedia sebagai akibat dari tidak tuntasnya pembebasan lahan  yang dilakukan lembaga pengadaan lahan yang ditugaskan.

Dukungan aturan hukum

Dari aspek pengaturan, pengadaan tanah untuk proyek jalan tol sejatinya sudah sangat lengkap. Sudah ada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 yang mengatur Pengadaan Tanah demi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pengaturan ini kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah demi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,    yang kemudian diubah dengan  Perpres Nomor 40 Tahun 2014, yang terakhir diubah lagi dengan Perpres Nomor 99 Tahun 2014 yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelang akhir masa jabatannya.

Pada level teknis pelaksanaan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membuat Permendagri Nomor 72 Tahun 2012 yang mengatur dukungan dana dari APBD untuk Penyelenggaraan Pengadaan Tanah demi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga menerbitkan Peraturan Kepala BPN Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pengadaan Tanah.

Ditinjau dari substansi  pengaturan, sebetulnya semua aspek menyangkut pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol sudah diatur oleh rangkaian aturan hukum tersebut. Namun, fakta yang terjadi, sampai saat ini pengadaan tanah untuk jalan tol menjadi isu serius yang belum dapat diatasi secara cepat dan tuntas. Salah satu implikasinya, Jalan Tol Trans-Jawa ruas Pemalang-Batang dan Batang-Semarang sampat saat ini belum dapat dikonstruksikan.

Beranjak dari berbagai pengalaman empiris  di atas, sangat mungkin cita-cita Jokowi membangun Jalan Tol Trans-Sumatera dan infrastruktur  lain  yang dia unggulkan sebagai pilar  penghela pertumbuhan akan tersendat oleh kendala pembebasan lahan.  Oleh karena itu, sedari awal proyek pembangunan infrastruktur yang dicanangkan Jokowi itu seyogianya  didukung strategi pengadaan tanah yang tepat, yang mampu memenuhi kebutuhan tanah yang dibutuhkannya.

Belajar dari Agrarische Wet

Fenomena terhambatnya proyek publik oleh kendala pengadaan tanah sebetulnya baru muncul di era Reformasi. Fenomena tersebut tidak terjadi pada masa Presiden Soeharto, bahkan tidak pula muncul pada zaman kolonial Belanda.

Persoalan pengadaan tanah pada zaman Belanda tuntas hanya dengan satu aturan hukum yang disebut Agrarische Wet, yang disahkan pada 9 April 1870. Melalui Agrarische Wet, semua persoalan serta kebutuhan tanah untuk pembangunan atau investasi modal asing di Indonesia pada masa itu dapat disediakan secara tuntas dan pasti.

Kunci sukses Agrarische Wet menyediakan tanah untuk pembangunan dan investasi  sebetulnya hanya satu, yaitu adanya sistem pengadaan tanah yang efektif dan efisien.

Dibandingkan sistem pengadaan tanah yang diatur Agrarische Wet, sistem pengadaan tanah yang diatur oleh UU Nomor 2 Tahun 2012, berikut peraturan pelaksanaannya, jauh lebih kompleks. Kompleksitas itu paling tidak menyangkut beberapa hal.

Pertama, lembaga dan wewenang untuk  mengurus dan mengambil keputusan. Proses pengadaan tanah yang diatur UU Nomor 2 Tahun 2012 berikut peraturan pelaksanaannya melibatkan terlalu banyak lembaga dengan kewenangan yang tidak tegas dan tuntas. Akibatnya, proses pengadaan tanah menjadi berlarut dalam proses birokrasi Indonesia yang terkenal sangat lamban. Apalagi para birokrat saat ini umumnya bersikap terlalu hati-hati dan tidak berani mengambil risiko terkena tuduhan korupsi.

Kedua, tahapan administrasi dan proses pengadaan tanah begitu rumit sehingga memakan waktu cukup lama. Semua tahapan dihitung dan harus dilakukan pada hari kerja. Padahal, untuk tahun 2015, hari kerja birokrasi Indonesia hanya 180 hari. Artinya, lebih dari setengah tahun birokrasi Indonesia akan  libur.  Terkait dengan ini,  sangat tipis harapan pembebasan tanah untuk Tol Trans-Sumatera dan proyek infrastruktur lain dapat dituntaskan dalam tahun 2015.  Implikasinya, anggaran untuk proyek infrastruktur tersebut akan gagal terserap, yang berarti tidak akan memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat.

Oleh karena itu, untuk mendukung percepatan realisasi pembangunan infrastruktur yang dicanangkan, ada baiknya Jokowi  membentuk suatu badan khusus yang diberi wewenang menangani pengadaan tanah untuk proyek infrastruktur secara terintegrasi. Sebab, sistem dan kelembagaan yang ada sepertinya tidak kompatibel untuk menyokong kesuksesan proyek infrastruktur yang ia canangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar