Jumat, 06 Februari 2015

Menyimak Sinetron Politik

Menyimak Sinetron Politik

Aris Setiawan  ;  Dosen Etnomusikologi ISI Surakarta
KORAN JAKARTA, 05 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Pelaksana Tugas Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, selain mengungkap sejumlah langkah politis Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, menyindir gaya kepemimpinannya. Dia menuduh Samad melakukan sinetronisasi KPK.

Akhiran “isasi” dari sinetronisasi berarti sebuah usaha menyinetronkan suatu kejadian atau peristiwa. Tanpa disadari, sebenarnya Hasto pun tengah memainkan peran dalam sinetron dengan cukup lihai. Dia banyak menuduh tanpa (segera membeberkan) bukti.

Begitulah, kadang-kadang sinetron atau dunia acting dimulai dengan tuduhan-tuduhan untuk membangun dramatika agar terlihat semakin menarik dan mampu menggoda simpati atau perhatian masyarakat.

Sejengkal pun masyarakat tidak mau lepas dari suguhan tiap adegan yang hendak dimunculkan. Kadangkala kartu truf (kunci) diungkap di belakang sehingga mengacaukan persepsi yang sebelumnya telah dibangun publik. Hasilnya bisa menyadarkan sekaligus membingungkan. Sinetron kependekan “sinema elektronik”, program drama bersambung yang disiarkan televisi Indonesia.

Dalam bahasa Inggris disebut soap opera (opera sabun). Sementara di Spanyol dan Meksiko dia disebut telenovela (marak di Indonesia pada dekade ‘90- an). Istilah sinetron mulai populer di tahun 80-an, tak jelas penemunya. Saat itu TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi yang memiliki acara unggulan dilabeli “sepekan sinetron.”

Lambat laun, sinetron menjamur di berbagai stasiun televisi swasta. Banyak peran mampu menarik simpati publik. Tak jarang pemain sinetron dihujat dan dipuja karena aktingnya. Tak jelas kenapa Hasto menyebut ketua KPK dengan istilah sinetronisasi. Mungkin saja Hasto penggemar sinetron dan memiliki idola aktor-aktris sinetron di layar televisi.

Hasto terlihat sangat paham dengan dunia persinetronan sehingga dengan percaya diri memunculkan istilah tersebut. Sinetron dinilai tidak begitu bagus baik akting maupun ceritanya. Sinetronisasi bisa saja diterapkan untuk para politikus maupun pejabat. Para politikus Senayan sangat pandai berakting. Mereka tak kalah piawai dengan aktor sinetron sesungguhnya.

Wakil rakyat itu pandai bersilat lidah dan bermain mimik ekspresi muka. Setiap hari masyarakat disuguhi berbagai sinetron politik. Setiap saat muncul suguhan baru, dari hanya adu pendapat hingga fisik dengan membanting meja dan jotosan. Tontonan tingkah-polah anggota dewan muncul tiap hari.

Padahal di satu sisi kita mendengung- dengungkan perilaku beradab (jujur, tanggung jawab, sederhana, santun, dan menghargai pendapat orang lain) kepada generasi muda. Sementara di sisi lain, rakyat dipaksa melihat yang sebaliknya di dunia sinetron perpolitikan.
                                                    
Ini termasuk fit and proper test Komjen Budi Gunawan, calon kapolri yang berjalan tanpa hambatan, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Sebagaimana dalam sinetron sesungguhnya, seolah sengaja harus ada konflik yang dibangun, agar memunculkan konflik-konflik lain berupa prahara yang menghebohkan dan dramatis. Ini sama saja mematik api di dekat bensin. Saat ini rakyat sedang menonton dan merasakan prahara atau kemelut itu.

Mudah Berubah

Semua segera ingat lagu Panggung Sandiwara ciptaan Dedi Dores: dunia ini hanya pangung sandiwara. Semua memainkan peran masing-masing. Ceritanya pun mudah berubah. Hari ini musuh, besok sudah menjadi teman. Hari ini kuning besok merah. Hari ini koalisi, besok bisa menjadi oposisi.

Dalam dunia perpolitikan ini disebut “manuver politik.” Layaknya pesawat tempur yang sedang unjuk gigi dengan berbagai manuver, sangat cepat dan tak terduga. Semua adalah semata dunia peran. Tokoh paling menggoda yang mampu “menipu” publik dengan akting memukau.

Hingga akhir cerita, kadang penonton tak sadar sedang dipermainkan aktor atau aktris. Jadi, jagan terkaget-kaget saat menonton kegaduhan dunia politik karena itu hanya sinetron. Kemarin orang memuja tokoh tertentu, ternyata di tengah adegan, dia menunjukkan sikap berbeda, tidak sesuai dengan karakter awal yang telah dibangun.

Atau sebaliknya, semula penonton menghujat tiada habis, kemudian diam-diam ganti memujanya. Perubahan demikian sangat mungkin. Percayalah dunia politik tak ada yang abadi. Sekali lagi karena itu hanya sinetron.

Jadi, masyarakat disadarkan bahwa semua hanya permainan akting, tidak lebih. Sayang, sinetronisasi para politikus tidak hanya berhenti sebagai tontonan di televisi karena efeknya menyangkut hajat hidup seluruh masyarakat. Di televisi, sinetron sekadar membangun konflik maya, tak nyata, fiktif, alias rekaan. Masyarakat hanya dirugikan perasaan sesaat.

Sinetron adalah dunia imajinasi yang tak nyata. Sementara para politikus berakting dan bermain sandiwara di bawah mandat rakyat. Di sinilah bahayanya apabila negara dikelola layaknya bermain sinetron. Jangan harap ending akan selalu berakhir manis (happy) layaknya di senetron sesungguhnya.

Dalam dunia politik, hasil akhir kadang jauh lebih pahit dan tak sesuai harapan. Di televisi, penonton berulang kali melihat ketua KPK meneteskan air mata kesedihan. Di kubu lain, ada suguhan ketidaktegasan presiden.

Sementara para politikus sedang berlomba-lomba bermain akting dengan saling tuding. Tidak jelas siapa yang memainkan peran protagonis ataupun antagonis. Semua merasa dan mengeklaim paling benar. Masyarakat kian dibuat bingung.

Di tengah kebingunan itu, muncul akting yang tak kalah memesona dari Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno yang dengan gagah berani mengungkapkan bahwa KPK didukung “rakyat yang tak jelas.” Sontak rakyat marah dan mencibirnya.

Pikiran Tedjo memang harus segera direstorasi, sesuai moto partainya “restorasi Indonesia.” Masyarakat kemudian membuat banyolan “tedjo” berarti “tak jelas.” Semoga saja dunia politik nasional tidak ‘tedjo’ layaknya dalam dunia sinetron.

Mau tak mau, rakyat yang selama ini hanya menjadi penonton “sinetron” kemudian disertakan sebagai bagian dari konflik yang tengah terjadi. Lengkaplah sudah, adegan demi adegan dan babak demi babak dibangun dalam sinteron perpolitikan mutakhir. Rakyat hanya tinggal menunggu apa akhir kisahnya. Bisa jadi konflik belum sepenuhnya terbangun dengan baik.

Dibutuhkan beberapa adegan lagi agar prahara atau meminjam istilah Putu Setia, goro-goro yang dimunculkan semakin membuat kaget masyarakat. Ah, dunia politik Indonesia mutakhir tak lebih dari sekadar kemampuan memerankan akting.

Yang paling bagus ber-acting akan mendapat simpati. Dunia politik tak ubahnya panggung sandiwara, tempat mengais keuntungan dari kemampuan bermain peran. Adakah artis politik yang pantas menjadi idola?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar