Selasa, 17 Februari 2015

Menggugat Dikotomi Sekolah

Menggugat Dikotomi Sekolah

Nanang Martono  ;  Dosen Sosiologi Pendidikan
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
HALUAN, 14 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Meski UN (Ujian Nasional) belum di­laksanakan dan sta­tus kelulusan sis­wa belum diumumkan, namun beberapa sekolah telah mem­buka kesempatan bagi siswa SD dan SMP untuk mendaftar ke sekolah jenjang berikutnya. Upaya ini dilakukan banyak sekolah swasta bonafit (baca: favorit) yang seolah tidak ingin kehilangan banyak siswa po­tensial.

Liberalisasi

Sudah bukan rahasia lagi bahwa di kalangan masyarakat umum telah muncul pan­da­ngan yang mendikotomi status sekolah: sekolah favorit dan tidak favorit. Sekolah yang menyandang gelar sekolah favorit akan diminati banyak siswa. Orang tua pun ber­lomba-lomba untuk me­masuk­kan anaknya ke sekolah fa­vorit. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang masuk melalui “jalur belakang”: dengan “mem­bayar lebih tinggi” atau “menggunakan surat sakti dari pejabat berpengaruh”.

Bersekolah di sekolah fa­vorit adalah sebuah kebang­gaan tersendiri. Siswa memiliki “status” yang dapat dibanggakan, sementara orang tua juga memiliki prestise yang dapat dibanggakan mana kala putra putri mereka berhasil masuk ke sekolah favorit yang (tentu saja) berbiaya mahal.

Beberapa sekolah favorit bahkan membuka banyak ke­las paralel. Bahkan ada yang membuka kelas pagi dan siang untuk mengatasi keterbatasan ruang kelas. Mereka “ter­paksa” membuka banyak kelas karena permintaan masya­rakat yang tinggi untuk menye­kolah­kan anaknya ke sekolah ter­sebut.

Ini adalah bentuk li­be­ralisasi pendidikan yang ber­langsung secara terus menerus. Pemerintah seolah tidak ber­daya menghentikan praktik liberalisasi semacam ini. Pa­dahal ini adalah liberalisasi nyata yang selalu berulang setiap tahun ajaran baru, dan lagi-lagi, siswa dari kelas ba­wah selalu menjadi korban.
Mereka tidak mampu me­nikmati pendidikan ber­kua­litas di sekolah favorit karena ketiadaan biaya. Mes­kipun ada beasiswa, namun jum­lahnya tidak sebanding dengan jumlah siswa dari keluarga miskin, dan di banyak tempat, beasiswa tersebut ternyata salah sasaran.

Dikotomi ini selain me­rugikan sebagian siswa juga merugikan sebagian guru. Guru yang mengajar di sekolah favorit lebih nyaman karena mereka hampir tidak me­nga­lami kesulitan selama me­lakukan proses pembelajaran di kelas.
Mereka mengajar siswa-siswa unggul yang telah me­lalui seleksi ketat. Siswa me­reka juga mampu secara e­konomi sehingga mereka da­pat “memaksakan” untuk mem­­berikan pelajaran tam­bahan dengan biaya tambahan pula. Mereka juga memiliki status yang lebih tinggi.

Sementara, guru-guru di sekolah tidak favorit harus bekerja lebih keras untuk men­cerdaskan siswa-siswa dengan kualitas pas-pasan. Beberapa di antaranya adalah siswa yang tidak memiliki motivasi bela­jar yang tinggi. Lalu, apa yang dapat diharapkan dari kondisi seperti ini?

Ini adalah dua kondisi yang sangat kontras yang dapat dijumpai dengan mudah di setiap daerah di Tanah Air. Dan sekali lagi, pemerintah terkesan melakukan pem­bia­ran terhadap dikotomi ini.

Anehnya, pemerintah jus­tru sering menggunakan se­kolah favorit sebagai proyek percontohan dengan mem­berikan dana yang tidak se­dikit, seperti pada kasus pro­yek RSBI beberapa tahun yang lalu. Sementara pengem­ba­ngan sekolah-sekolah kelas dua (sekolah tidak favorit) dike­sampingkan.

Menjadikan sekolah favorit sebagai percontohan adalah sebuah pembodohan publik karena proyek tersebut tidak mencerminkan kondisi se­bagian besar sekolah. Jumlah sekolah favorit lebih sedikit daripada jumlah sekolah kelas dua dan kelas tiga yang berada di pinggiran yang jauh dari pusat kota dengan kondisi yang serba minim. Ini jelas tidak adil.

Langkah Strategis

Dikotomi sekolah me­ru­pakan wujud nyata kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan sistem pen­didikan yang berkualitas dan merata di setiap daerah. Ada beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam jangka pen­dek maupun jangka panjang.

Pertama, pemerintah dapat melakukan rotasi guru secara rutin setiap lima sampai sepu­luh tahun sekali. Selain untuk meningkatkan pengalaman mengajar, ini juga untuk meng­hentikan “kemapanan” bagi guru di sekolah favorit.
Mereka harus dapat mem­buktikan bahwa dirinya mam­pu mengajar siswa dengan kualitas yang beragam. Selain itu, dengan mengganti kondisi siswa, guru akan termotivasi untuk meningkatkan kualitas diri dan saling berbagi penga­laman sesama guru. Jadi di sini ada proses belajar.

Kedua, mengatur me­ka­nisme penerimaan siswa baru. Dalam penerimaan siswa baru, sekolah harus memberikan kuota 50% siswa dengan nilai atau kemampuan di atas rata-rata dan 50% siswa di bawah rata-rata.
Sekolah dilarang hanya menerima siswa cerdas saja sementara siswa yang memiliki kemampuan rendah terpaksa mendaftar di sekolah-sekolah pinggiran kelas dua atau tiga.

Ini untuk menghentikan arogansi beberapa sekolah dalam proses penerimaan sis­wa baru yang merugikan ba­nyak sekolah di pinggiran. Mereka menerima siswa se­banyak-banyaknya tanpa mem­­­perhatikan kemampuan dan kapasitas sarana pem­belajaran.  Aturan ini tentu saja hanya diberlakukan bagi se­kolah negeri yang berada di bawah kontrol pemerintah.

Ketiga, regionalisasi atau lokalisasi. Ini merupakan re­gulasi yang mengatur bahwa siswa harus bersekolah di se­kolah yang dekat dengan tempat tinggalnya. Ini dapat dilakukan dalam jangka pan­jang ketika pemerintah telah mampu menjamin pemerataan kualitas se­kol­ah, sehingga sekolah negeri di manapun memiliki standar kualitas yang sama.

Dengan regulasi ini, pe­merintah juga tidak perlu lagi menyelenggarakan ujian na­sional karena kualitas setiap sekolah dijamin sama. Sekolah diberikan otonomi seluas-luas­nya untuk menilai dan menen­tukan kelulusan sis­wanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar