Jumat, 13 Februari 2015

Memotret Wajah Politik KPK

Memotret Wajah Politik KPK

Ma’mun Murod Al-Barbasy   ;   Dosen Program Studi Ilmu Politik UMJ,
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
KORAN SINDO, 12 Februari 2015
                                                        
                                                                                                                                     
                                                

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan maksud untuk menanggulangi dan memberantas korupsi. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Pengertian ”kekuasaan mana pun” adalah kekuatan yang dapat memengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individual terkait dengan tindak korupsi.

Artinya, kerja KPK tak boleh keluar dari pakemnya sebagai lembaga penegak hukum. KPK tidak boleh menjalankan tugas dan wewenangnya atas dasar ”pesanan” pihak lain. KPK harus steril dari kepentingankepentingan internal KPK di luar kepentingan penegakan hukum, akuntabel, proporsional, dan demi kemaslahatan, sebagaimana menjadi asas KPK.

Namun, realitasnya kerja KPK justru kerap offside dengan memasuki ranah politik, ranah yang tak seharusnya dilakukan KPK. Kenyataan ini terasa sekali di era Abraham Samad. Terlalu sering KPK melakukan kerja penegakan hukum yang berwajah politis. Tentu secara moral, ini hal yang tak patut dilakukan oleh pimpinan KPK.

Wajah Politik

Saat menjelang Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya, publik dibikin kaget ketika muncul berita terkait kedatangan Jokowi ke KPK untuk ”konsultasi” terkait calon-calon menterinya. KPK memberikan rekomendasi atas nama-nama yang dinilai berapor merah dan kuning. Saat itu berbagai spekulasi merebak. Ada yang menyebut konsultasi tersebut sebagai bentuk kehati-hatian (ikhtiyat) Jokowi dalam menyusun kabinet.

Jokowi tak mau ada ”cacat moral” dalam kabinetnya. Ada spekulasi yang menyebut bahwa Jokowi sengaja ”nabok nyilih tangan” untuk memotong beberapa orang Megawati (PDIP), PKB, dan partai pendukung lain. Ada juga yang menyebut KPK telah offside. KPK dinilai terlalu politis. Apalagi kalau menyikapi pernyataan Abraham yang bernada ”ancaman” kepada Jokowi, yang kalau tetap mengangkat calon menteri berapor merah dan kuning, maka dalam waktu yang tidak lama KPK akan menetapkan status hukumnya.

Rasanya ini pernyataan tak proporsional dari pimpinan lembaga penegak hukum. Buktinya, tiga bulan lebih setelah menteri-menteri berapor merah dan kuning dilantik belum juga ada tindakan hukum dari KPK. Rasanya bukan kali ini saja KPK melakukan kerja beraroma politis.

Seminggu sebelum menjadikan Suryadharma Ali sebagai tersangka, Abraham sudah cuap-cuap ke media bahwa dalam satu atau dua pekan ke depan KPK akan menetapkan tersangka terkait proyek barang dan jasa penyelenggaraan ibadah haji tahun anggaran 2012-2013. Abraham bahkan menyebut bahwa ”calon” tersangka merupakan petinggi negeri.

Pernyataan ini juga tak layak diucapkan oleh seorang ketua KPK. Menetapkan seseorang jadi tersangka tentu ada aturannya dan tak perlu cuap-cuap di media. Suka cuap-cuap itu hanya layak disandang oleh para politisi karena politisi memang kerjanya harus bicara.

Ketika Setya Novanto terpilih jadi Ketua DPR, Abraham menyayangkan karena Setya pernah beberapa kali diperiksa sebagai saksi terkait penyidikan sejumlah kasus korupsi. Sebaliknya, Zulkifli Hasan yang ketika terpilih sebagai ketua MPR tak ada nada keberatan dari Abraham, justru beberapa hari selepas dilantik dipanggil KPK selama dua hari berturut-turut.

Bukankah KPK mempunyai prosedur dalam memanggil dan menetapkan status hukum seseorang? Justru ketika KPK menyayangkan terpilihnya Setya, meminta keterangan Zulkifli yang terkesan begitu tiba-tiba, termasuk juga cuap-cuap soal rapor merah dan kuning calon menteri Jokowi, publik pantas curiga dengan cara-cara kerja KPK selama ini dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Minta Maaf JPU

Wajah politis KPK yang paling kasatmata terlihat dalam kasus Anas Urbaningrum. Penetapan tersangka didahului oleh pernyataan SBY dari Jeddah, diikuti pencabutan kewenangan Anas sebagai ketua umum Partai Demokrat dengan menabrak anggaran dasar partai dan diikuti oleh bocornya surat perintah penyidikan. Surat perintahnya pun isinya tidak jelas: ”...proyek Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya,” yang ternyata tidak terbukti di persidangan.

Meski demikian, Anas tetap dipaksakan dituntut tinggi. Malah ada alasan yang dibuat-buat, Anas dituduh melakukan obstruction of justice. Karena modalnya hanya kesaksian Nazaruddin dan pegawainya, jaksa penuntut umum (JPU) melakukan ”pencucian keterangan”. Nazaruddin dimuliakan jadi justice collaborator, sementara oleh hakim Nazaruddin digelari Pinokio.

Adalah pemaksaan yang luar biasa telanjang ketika seorang Pinokio ditinggikan derajatnya menjadi justice collaborator hanya karena menjadi modal satu-satunya untuk memaksakan Anas bersalah. Anehnya juga, hakim pun akhirnya menjadikan keterangan Pinokio sebagai dasar untuk menjatuhkan vonis berat kepada Anas, vonis yang mengabaikan fakta persidangan.

Karena proses hukum yang demikian, lahirlah permintaan agar diadakan mubahalah, yang kalau ditarik ke belakang mempunyai sambungan dengan ”Sumpah Monas” yang jauh hari disampaikan Anas. Keduanya diikat oleh sebuah keyakinan tidak bersalah. Anas juga pernah berkata ringan, ”Karma akan bekerja dan mencari alamatnya sendiri-sendiri”.

Sekarang muncul kasus Bambang Widjojanto dan Abraham. Muncul pula laporan untuk Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain. Bambang sudah menjadi tersangka. Abraham kabarnya juga segera menjadi tersangka. Dua pimpinan KPK yang lain sedang dalam proses penyelidikan, tidak tahu apa yang akan terjadi. Di dalam pleidoi Anas juga menyatakan bahwa esok hari adalah misteri. Karena itu, jangan adigang, adigung, adiguna ; jangan pula bersikap sopo siro sopo ingsun.

Apakah peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini ada keterkaitan dengan ajakan mubahalah dan karma yang tengah bekerja lebih cepat? Wallahu alam. Itu bagian dari misteri dan wilayah kekuasaan Tuhan. Yang kita perlu meyakini adalah setiap kezaliman akan diikuti balasannya. Selain pasti di akhirat, boleh jadi mulai dicicil di dunia juga. Aturan main yang demikian berlaku buat kita semua, apa pun tugas kita. Bisa jadi komisioner KPK, penyidik, jaksa, hakim, wartawan, politisi, pengamat, atau apa saja.

Menurut penuturan Anas, setelah selesai persidangan terakhir, komandan JPU sempat menyampaikan bisikan permintaan maaf dan bilang hanya melaksanakan perintah. Fakta ini sengaja tidak disampaikan Anas saat vonis majelis hakim untuk menghindari adanya bias penafsiran di mata publik.

Pengakuan komandan JPU yang menyebut dirinya hanya ”melaksanakan perintah” semakin memperkuat dugaan bahwa kasus Anas memang bukan murni kasus hukum, tapi kasus politik yang memanfaatkan rapuhnya institusi lembaga penegak hukum.

Kembali ke Khitah KPK

Bangsa ini masih sangat memerlukan KPK. Tentu saja KPK yang setia kepada khitah saat KPK didirikan. KPK yang tidak diperkuda oleh kepentingan politik para pimpinannya dan pihak-pihak lain yang bisa memesannya.

Kita semua layak mendukung KPK yang berjalan lurus di atas rel dalam tugas pemberantasan korupsi yang profesional, mandiri, imparsial, dan bersinergi dengan lembaga-lembaga penegak hukum lain. KPK yang demikian itu adalah KPK kita. KPK yang diperalat oleh kepentingan politik adalah KPK yang sudah saatnya dikoreksi dan dikembalikan ke jalan yang benar. Wallahu alam.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar