Kamis, 05 Februari 2015

Memberantas Korupsi di Daerah

Memberantas Korupsi di Daerah

Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
KOMPAS, 04 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

GEGER KPK versus Polri tidak boleh mengendurkan upaya pemberantasan korupsi di daerah. Pasal 19 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan, ”KPK dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi”. Inilah dasar hukum pembukaan perwakilan KPK di provinsi sebagai perpanjangan tangan melaksanakan tugas dan wewenangnya. Perilaku korupsi memang sudah merambah ke daerah, bahkan sampai ke pedesaan.

Sebaran korupsi telah mematikan nalar penyelenggara negara dalam memandang keuangan negara sebagai milik rakyat yang harus dijaga. Nyaris tidak ada tempat dan waktu yang steril dari keinginan menyalahgunakan wewenang atau perbuatan melawan hukum bagi pejabat di daerah.

Berdasarkan catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada Februari 2014, 318 kepala daerah terjerat korupsi. Menjelang akhir tahun, jumlah itu meningkat menjadi 339 kepala daerah terlibat kasus korupsi.

Tercatat juga 1.221 aparat sipil negara terlibat kasus korupsi, sedangkan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota di berbagai daerah yang terjerat korupsi 3.169 orang. Sungguh suatu jumlah yang fantastis.

Jangan setengah hati

Namun, sebelum gagasan itu kesampaian, sejumlah pihak sudah menolak. Wakil Ketua DPR memandangnya tidak perlu, Wakil Presiden Jusuf Kalla mempertanyakannya, bahkan ada lembaga anti korupsi dan aktivis yang juga menganggap tidak perlu.

Cukup beragam alasannya, ada yang menilai memberatkan anggaran negara karena butuh biaya besar untuk operasionalnya, ada yang menilai bisa membuat kepolisian dan kejaksaan di daerah merasa tersaingi, ada pula yang meragukan integritas dan keberanian personel KPK di daerah.

Alasan terakhir itu cukup wajar didiskusikan sebab menemukan sosok yang betul-betul berintegritas dan berani mengungkap kasus korupsi pejabat di daerah tidak semudah membalik telapak tangan.

Perlu dikaji secara mendalam agar daya pukul KPK yang selama ini dipercaya publik tidak justru melahirkan persoalan baru. Misalnya, perlu pengawasan ketat dan mencari sosok yang betul-betul berani melawan jejaring korupsi di daerah. Jika personel perwakilan hanya punya nyali seadanya, bukan tidak mungkin 
akan menjadi barang mainan pejabat di daerah.

Kekhawatiran banyak kalangan itu harus diantisipasi KPK, juga didukung secara penuh oleh pemerintah daerah, kepolisian dan kejaksaan, serta para aktivis dan kampus. Apalagi ketentuan Pasal 19 Ayat (2) UU KPK menyebut ”dapat” membentuk perwakilan di daerah provinsi, yang berarti tidak harus ada.

Namun, melihat betapa sistematis dan masifnya korupsi di daerah, gagasan KPK perlu diapresiasi dan disambut baik. Paling tidak bisa membuat pejabat daerah yang secara terselubung bercita-cita melakukan korupsi kelimpungan.

Lebih dari itu, pemerintahan Jokowi-JK menempatkan pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas yang tidak boleh dilakukan setengah hati.

Menghadirkan perwakilan KPK di provinsi tidak boleh secara membabi-buta dipertentangkan dengan upaya penghematan anggaran negara. Sebab, anggaran negara yang dikorupsi malah jauh lebih besar sehingga perlu ada pengawasan, pencegahan, dan penindakan yang lebih efektif.

Kehadiran perwakilan KPK di daerah bisa lebih mendorong kepolisian dan kejaksaan untuk meningkatkan profesionalitas dan keberanian untuk bersinergi secara sehat mencegah dan memburu para pencuri uang rakyat.

Pentingnya pencegahan

Kode etik KPK yang memegang prinsip ”zero toleran” atau tidak ada kesalahan sedikit pun yang boleh ditoleransi—sehingga pelanggaran sekecil apa pun harus dipecat—bisa menjadi garansi bagi personel perwakilan.

Korupsi dengan modus suap dan gratifikasi dalam mengeluarkan perizinan atau bersekongkol dengan pengusaha hitam menjadi fakta urgen keberadaan tangan yang kokoh, mata yang tajam, dan telinga yang awas dari KPK di berbagai daerah yang korupsinya punya tren meningkat.

Belitan korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan yang ada dalam genggaman penyelenggara negara di daerah merupakan komoditas yang dapat dibisniskan. Apalagi, sampai kini, secara realitas kepolisian dan kejaksaan belum efektif dan efisien dalam memberantas korupsi.

Di situlah peran perwakilan KPK di daerah untuk memotivasi dan memperkuat kepolisian dan kejaksaan dalam memerangi kejahatan luar biasa itu.
KPK tidak boleh selamanya menjadi institusi dan aktor tunggal dalam pemberantasan korupsi. Kasus suap dan gratifikasi di kabupaten/kota seharusnya bisa ditangani kepolisian dan kejaksaan. Akan tetapi, lantaran belum efektif, KPK pun ikut mengurusnya.

Oleh karena itu, tugas koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi, serta pencegahan dan monitoring terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara, seperti diatur dalam Pasal 6 UU KPK, harus menjadi perhatian serius. Bukan hanya melulu melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Memasuki tahun 2015, pola pemberantasan korupsi perlu diformulasi. Tidak semata menangkapi pelaku, tetapi yang juga penting adalah memperkuat upaya pencegahan agar tidak lahir calon koruptor baru atau terjadi regenerasi koruptor. Termasuk memperkuat kepolisian dan kejaksaan yang memiliki jaringan sampai kecamatan (kepolisian sektor).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar