Rabu, 04 Februari 2015

Memanfaatkan Penurunan Harga Minyak

Memanfaatkan Penurunan Harga Minyak

Sandy Harianto  ;  Kepala Program Akuntansi, Prasetiya Mulya Business School
KOMPAS, 03 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

PADA masa kampanye pemilihan umum presiden, salah satu topik yang menjadi ”bola panas” bagi calon presiden adalah isu subsidi BBM. Subsidi BBM yang begitu besar dalam APBN ini disoroti Bank Dunia dalam laporan Indonesia: Avoiding The Trap (Mei 2014). Bank Dunia menyarankan penghapusan subsidi BBM secara bertahap karena beban subsidi BBM Rp 285 triliun pada APBN-P 2014 atau 15 persen dari total belanja negara tahun 2014 dinilai tidak sehat.

Satu bulan setelah dilantik menjadi Presiden RI, Joko Widodo mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi sehingga harga premium menjadi Rp 8.500 per liter dan solar menjadi Rp 7.500 per liter. Pada 1 Januari 2015, pemerintah memutuskan mencabut subsidi untuk BBM jenis premium dan membatasi subsidi Rp 1.000 per liter untuk solar, harga premium turun menjadi Rp 7.600 per liter dan harga solar menjadi Rp 7.250 per liter. Tidak sampai sebulan, mulai 19 Januari 2015 pemerintah kembali menurunkan harga premium menjadi Rp 6.600 per liter dan solar Rp 6.400 per liter.

Ada beberapa faktor yang melemahkan harga minyak dunia sejak September 2014. Faktor utamanya, menurut Badan Energi Internasional (IEA), adalah kelebihan pasokan minyak akibat tingginya tingkat produksi shale oil (minyak serpih) di wilayah Amerika Utara (AS dan Kanada) sehingga Amerika Serikat selaku pengguna terbesar minyak dunia mengurangi nilai impor minyak mereka secara signifikan.

Faktor kedua adalah kembali normalnya tingkat produksi minyak di wilayah konflik/bekas konflik, seperti Libya, Suriah, dan Irak. Produksi minyak Irak pada 2014 tertinggi di negara tersebut dalam 35 tahun terakhir.

Faktor ketiga adalah kelesuan ekonomi dunia akibat belum berakhirnya krisis di Eropa dan Amerika, serta perlambatan ekonomi Tiongkok.

Faktor keempat adalah keengganan negara-negara yang tergabung di dalam OPEC, terutama Arab Saudi selaku produsen terbesar, untuk mengurangi produksi mereka. Dalam pertemuan OPEC tanggal 27 November 2014, negara-negara OPEC memutuskan untuk tidak mengurangi jumlah produksi minyak mereka.

Keengganan itu berdasar pengalaman masa lalu yang menyakitkan. Pada periode 1980-an, saat harga minyak dunia turun drastis, Arab Saudi setuju untuk mengurangi produksi minyak mereka hingga 75 persen (dari 10 juta barrel tahun 1980 hingga 2,5 juta barrel tahun 1985). Namun, yang terjadi adalah negara lain meningkatkan produksi sehingga harga minyak dunia tetap turun, sementara Arab Saudi kehilangan pangsa pasar. Arab Saudi lalu melancarkan perang harga dengan menjual minyak di bawah 10 dollar AS per barrel.

Segera manfaatkan

Tren rendahnya harga minyak dunia harus dimanfaatkan Indonesia karena kita tidak pernah tahu kapan tren pelemahan harga ini akan berakhir. Penghapusan subsidi BBM jenis premium telah dilakukan pemerintah tanpa gejolak berarti karena tidak terjadi peningkatan harga BBM saat subsidi tersebut dicabut. Maka, defisit neraca migas selama tiga tahun terakhir akibat tingginya konsumsi BBM bersubsidi jenis premium dapat diakhiri.

Dana yang dalam APBN 2015 sebelumnya dialokasikan untuk subsidi dapat dialihkan ke sektor yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur, sebagaimana tercantum dalam Nawa Cita pemerintahan Jokowi-JK. Nota Keuangan APBN-P 2015 yang diajukan pemerintah ke DPR juga sudah menunjukkan penurunan defisit transaksi berjalan dan penambahan alokasi belanja modal pemerintah di sektor produktif, utamanya untuk meningkatkan kedaulatan pangan, pengembangan energi dan ketenagalistrikan, kemaritiman dan pariwisata, serta industri.

Rendahnya harga minyak dunia harus digunakan pemerintah untuk meningkatkan ekspor dari bidang manufaktur dan mengurangi ketergantungan pemerintah terhadap ekspor sumber daya mineral dan komoditas karena penurunan harga minyak dunia cenderung akan diikuti penurunan harga batubara dan komoditas pertanian, seperti kelapa sawit.

Menurut laporan perekonomian Indonesia tahun 2013 yang dirilis Bank Indonesia, subsektor transportasi, peralatan, dan mesin mempunyai ekspor yang relatif tinggi dibandingkan subsektor lain.

Meskipun demikian, subsektor tersebut juga mengimpor dengan nilai lebih besar dari nilai ekspornya. Untuk mengatasinya, kandungan lokal di ketiga subsektor ini harus ditingkatkan supaya nilai ekspornya melebihi nilai impor.

Subsektor lain yang memiliki kandungan impor tinggi adalah subsektor industri kimia yang sebagian besar berujung pada tanaman bahan pangan (pupuk). Guna meningkatkan dan memelihara kedaulatan pangan, selain membangun dan memperbaiki saluran irigasi, sudah saatnya pemerintahan Jokowi-JK mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk kimia yang sebagian besar bahan bakunya diimpor.

Pemerintah juga harus menggunakan momentum rendahnya harga minyak dunia untuk mempersiapkan sarana guna mengurangi ketergantungan Indonesia dari impor minyak mentah.

Hal yang dapat dilakukan adalah mempercepat pembangunan kilang minyak baru, pengembangan energi alternatif yang potensinya berlimpah di Indonesia, seperti tenaga angin dan tenaga air, ataupun pengembangan tanaman-tanaman penghasil biofuel, seperti jarak, biji nyamplung, dan kemiri sunan. Hal ini perlu dilakukan supaya, saat harga minyak dunia kembali tinggi, Indonesia tidak lagi tersandera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar