Senin, 02 Februari 2015

Malu

Malu

Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 01 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Gara-gara tak dibelikan sepeda motor, seorang siswa SMPN 43 Purworejo, Jawa Tengah, Mukhammad Ikhsan, 15, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara terjun ke sungai (11/04/2013).

Melihat aksi nekat anaknya tersebut, kedua orang tua korban langsung shock. Berdasarkan berita sebuah situs berita, korban ditemukan tewas tenggelam setelah melakukan terjun bebas ke dalam Sungai Bogowonto. Menurut sejumlah saksi, tindakan nekat pelajar SMP ini berawal dari keluhan korban karena tidak dibelikan motor oleh orang tuanya.

Sebelum peristiwa itu terjadi, korban dan anggota keluarganya menengok neneknya Rokhimah di Desa Panungkulan, Purworejo. Selang tidak berapa lama, korban keluar rumah dan teriak akan bunuh diri karena tidak dibelikan motor. Berita-berita tragis seperti itu bukan sekali-dua kali saja terjadi di Indonesia. Dalam kasus lain, remaja yang keinginannya tak terpenuhi malah membunuh orang tua atau nenek sendiri yang sejak kecil mengasuhnya.

Atau mereka memalak temannya, merampas motor orang lain, atau merampok ”ApaMart” atau ”IndiaMart”. Pokoknya: nekat! Nenek-nenek juga disikat! Banyak teori yang mencoba menjelaskan kelakuan remaja yang serbadestruktif (termasuk tawuran antarmahasiswa atau antarsuporter bola, demo anarkistis, dll), tetapi kebanyakan teori itu melupakan satu faktor penyebab yang sangat penting, yaitu faktor ”malu”.

Berani taruhan, kalau kita bisa membangunkan kembali Mukhamad Ikhsan dari kuburnya dan kita tanya almarhum kenapa dia nekat bunuh diri, jawabannya pasti, ”Aku malu sama teman-teman. Semuanya sudah punya motor, hanya aku yang belum. Teman-teman akan meninggalkanku karena aku nggak punya motor.

Kan nggak mungkinlah, mereka ngebut ke mana-mana naik motor, secara aku ngikutin naik becak bapakku!” Nah, rasa malu itulah yang menyebabkan para anak muda bertawuran. Malu karena Arema kalah dari Persib, malu karena nggak punya duit untuk jajanin pacarnya, malu sama teman-teman kalau nggak ikutan merokok atau ngegele , bahkan baru-baru ini ada anak yang tewas karena bertaruh Rp15.000 buat siapa yang berani berenang nyeberang kali yang arusnya sedang deras.

Maka tiga anak berumur 10 tahunan spontan nyemplung ke kali (malu kalau nggak berani), 2 orang selamat, yang 1 lagi hanyut dan tewas. Tapi kebiasaan nggak mau malu ini bukan hanya monopoli anak-anak. Orang dewasa pun sama. Seorang ibu dilapori oleh guru bahwa anaknya tidak naik kelas. Ibu itu tidak kehilangan akal.

Dia minta ibu guru wali kelas untuk membuatkan rapor aspal (asli-tapi-palsu) dari sekolah, tetapi dengan nilai yang sudah dikatrol sehingga rapornya jadi bagus (tentu dengan gratifikasi). Maka dengan rapor aspal itu si ibu memindahkan anaknya ke sekolah lain dan naik kelas! Yang penting orang tua nggak malu. Salah, melanggar hukum, melanggar agama, gapapa , yang penting gak malumaluin !

Menurut Ruth Benedict dalam bukunya The Chrysanthemum and the Sword (1946), ada dua cara masyarakat mengendalikan perilaku anggota masyarakatnya agar berjalan sesuai dengan norma-norma. Cara yang pertama adalah dengan menerapkan ”budaya salah” (guilt culture). Orang Amerika (Barat) dan agama-agama menggunakan pendekatan ini. Caranya adalah dengan menerapkan aturan (undang-undang, kode etik, hukum agama) dan menetapkan sanksinya (penjara, denda, neraka/surga, dll).

Setelah beberapa generasi, aturan itu merasuk ke dalam hati individu sehingga pengemudi orang Amerika otomatis akan berhenti jika lampu merah menyala walaupun lalu-lintas sedang sepi di tengah malam. Pengemudi di Amerika otomatis akan merasa bersalah kalau menyerobot lampu merah.

Demikian pula mereka otomatis akan mengantre dengan tertib dan tidak pernah ”jam karet” kalau berjanji dengan orang lain, mengembalikan buku ke perpustakaan atau membayar pajak dengan tertib, karena mereka merasa bersalah kalau tidak melakukannya. Cara yang kedua, menurut Benedict, adalah seperti yang berlaku di Jepang (Timur) yang memberlakukan ”budaya malu” (shame culture).

Ketika Kaisar Jepang, Tenno Heika, menyerah kepada Sekutu di akhir Perang Dunia II (1945), ratusan pria berbaju putih-putih (tidak ada hubungannya dengan FPI di Jakarta) berbondong-bondong datang ke Istana Kaisar dan secara spontan bersama-sama melakukan hara kiri (bunuh diri dengan menusuk perut sendiri dengan sebilah samurai pendek). Alasannya mereka malu bahwa Jepang menyerah walaupun lebih dari 2 juta penduduk Hiroshima dan Nagasaki tewas kena bom atom Amerika.

Di sisi lain, budaya malu ini juga, yang dasarnya adalah gengsi, yang mendorong perekonomian Jepang hanya membutuhkan waktu lima tahun untuk bangkit kembali dan dalam waktu 30 tahun sudah menjadi produser barang-barang elektronik dan automotif terbesar dan terbaik di dunia. Budaya orang Indonesia sama dengan Jepang, sama-sama dari Timur, dan sama-sama mengandalkan gengsi atau budaya malu.

Tapi budaya malu di Indonesia mendorong perilaku bangsa ini ke arah yang salah. Orang korupsi nggak apa-apa karena semuanya juga korupsi, jadi nggak malu-maluin . Naik motor melawan arus atau angkot berhenti seenaknya atau menyerobot antrean nggak apa-apa juga karena nggak malu-maluin. Tapi kalau disuruh diskusi di kelas atau duduk paling depan kalau ada pertemuan, banyak yang tidak mau, soalnya malu, takut dianggap sok tahu. Padahal justru itulah yang seharusnya dilakukan.

Agama pun gagal mendorong orang berprestasi karena walaupun agama mengajarkan amar makruf nahi munkar, perilaku umatnya masih terkait terus di antara gengsi dan malu-maluin . Di era Reformasi sekarang ini, kebiasaan orang Indonesia yang berasal dari budaya malu harus diubah ke mentalitas budaya salah. Itulah sebabnya sekarang harus ada KPK, kapal pencuri ikan dibom beneran, dan PT KAI (Kereta Api Indonesia) menggantikan Perumka (Penumpang Ngerumpi di atas Kereta Api).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar