Rabu, 11 Februari 2015

Kewenangan Minus Etika

Kewenangan Minus Etika

Danang Girindra Wardana   ;   Ketua Ombudsman Republik Indonesia
KORAN SINDO, 10 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Akhir-akhir ini, publik disuguhkan dengan sebuah keprihatinan terhadap situasi dua lembaga tinggi negara kita: Kepolisian dan KPK. Lembaga yang digadang-gadang menjadi garda terdepan penegakan hukum itu kini tengah terjebak dalam situasi konfrontatif yang menyedihkan. Imbasnya, agenda penegakan hukum tersendat hanya karena fenomena saling unjuk kewenangan penegakan hukum itu sendiri.

Publik terkesan terbelah membela KPK atau Polri, sementara Presiden dipandang menjadi sumber masalah dan sekaligus tumpuan harapan penyelesaian masalah. Beberapa tokoh malah terkesan latah menghujat institusi- institusi itu dan bahkan terdengar mengumpat sosok personal Presiden dengan nada menghina, merendahkan dan memperkeruh suasana.

Padahal, saya yakin betul bahwa tokoh-tokoh itu memahami pentingnya Presiden bersikap netral, menghormati tanpa intervensi terhadap upaya penegakan hukum. Intervensi eksekutif terhadap urusan yudikatif dianggap tabu dalam tatanan trias politica, bisa menjadi umpan proses politik impeachment.

Dalam hal ini, kita perlu mengingatkan bahwa ada dua dimensi lain yang perlu dipelajari untuk mencegah konflik terulang di masa depan. Pertama, dimensi rasionalitas versus emosionalitas. Benar bahwa supremasi hukum di atas segalanya. Namun, di balik supremasi hukum yang sangat rasional itu terdapat manusia-manusia yang menerjemahkan kaidah hukum ke dalam rangkaian tindakan kewenangan praktikal manusiawi para penegak hukum lengkap dengan motif dan hasratnya.

Artinya, di sela-sela keputusan hukum oleh para pejabat publik dengan segala rasionalitasnya terdapat dimensi emosional dalam bentuk motivasi atau hasrat. Sehingga, rasionalitas keputusan pejabat publik, tidak bisa tidak, diwarnai motif atau hasrat (intangible assets) manusiawi. Rasionalitas bisa diartikan inteligensia.

Pejabat publik sangat perlu memiliki kemampuan ini untuk mempelajari semua hal terkait proses pembuatan keputusanataukebijakan. Namun, pada saat yang bersamaan, pejabat publik itu juga memiliki dimensi emosionalitas, dalam salah satu bentuknya, yakni selera (suka atau tidak suka) yang kemudian menyaring aneka pilihannya ketika menentukan hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan keputusan atau kebijakan.

Kedua, dimensi etik versus prosedur baku. Tahun lalu telah dirancang RUU Etika Penyelenggara Negara. Namun sayangnya, RUU yang menjadi bagian penting dari agenda reformasi birokrasi ini masih belum dilanjutkan dan dikeluarkan dari jadwal prioritas pembahasan.

Sekiranya saat ini sudah terdapat pengaturan tentang etika penyelenggara negara, maka bisa diharapkan adanya batas-batas etik yang berlaku universal terhadap seluruh pejabat negara dan Pemerintahan terkait dengan bagaimana seorang pejabat negara (pejabat publik) bersikap etik dalam menyusun atau mengimplementasikan keputusan atau kebijakan tersebut.

Dimensi rasionalitas dan emosionalitas itu berada dalam ranah individu-individu, namun dimensi etik berada di ranah sosial, karena itu etik sering kali paralel dengan norma-norma yang berlaku. Etika akan selalu terkait pada ruang dan waktu pada satu saat tertentu sehingga akan mewarnai dampak dari produk kebijakan itu.

Artinya sebuah produk hukum atau keputusan hukum yang bagus atau berkualitas–karena telah sesuai dengan prosedur baku– namun dikeluarkan dengan cara-cara yang tidak etis pada ruang dan waktu tertentu maka dampaknya bisa merusak. Substansi keputusan atau kebijakan apapun bakal tergerus oleh persepsi yang didominasi selera (rasa suka atau tidak suka), bukan lagi soal benar-salah keputusan atau kebijakan itu.

Terlepas dari masalah substansi dugaan pelanggaran pidana, tampak jelas bahwa fenomena perseteruan KPK dan Polri lebih kental disebabkan masalah etik. Kedua belah pihak tampak lebih bernafsu mempertontonkan kewenangan (show of force) sehingga minus kaidah-kaidah etika penyelenggaraan negara (meskipun belum terdapat pengaturan seragam untuk semua institusi negara dan pemerintahan).

Benar bahwa kedua belah pihak memiliki kewenangan besar menindak dugaan pidana, namun tampak juga benar bahwa kewenangan-kewenangan itu juga dipertontonkan sedemikian rupa pada ruang waktu tertentu, pada momentum tertentu, dengan cara tertentu. Apa etik yang dilanggar?

Polri dan KPK memiliki pengaturan kode etik masing-masing, sehingga itu bisa dipakai untuk mengukur seberapa besar deviasi antara aturan dan praktik. Pengawas internal atau dewan etik bisa berperan untuk menilai dan menjatuhkan sanksi jika terbukti ada pelanggaran etik supaya kredibilitas lembaga tidak ternoda.

Apakah etik skala mikro yang berlaku di internal lembaga ataukah etik skala makro yang perlu dipakai untuk mengukur deviasi etik pejabat publik? Mengingat bahwa ketentuan kode etik yang berlaku di setiap lembaga publik berbedabeda, maka ketentuan itu hanya berlaku dan mengikat ke dalam. Misalnya bahwa tidak mungkin susunan kode etik KPK dipergunakan untuk menindak etika pejabat Polri.

Sayangnya, saat ini, pengaturan kode etik secara makro berlaku untuk seluruh lembaga negara atau lembaga pemerintahan belum ada. Etika penyelenggara negara berada di ruang makro yang berkaitan dengan kepentingan negara atau publik di skala yang lebih luas. Di dalam kepentingan sebesar itu, pejabat publik wajib mengedepankan etika agar kepentingan- kepentingan besar itu tidak terdistorsi perilakuperilaku kewenangan.

Artinya, dalam susunan kode etik makro penyelenggara negara perlu mengemukakan pemahaman bahwa eksekusi aneka kewenangan lembaga-lembaga negara atau pemerintahan terletak di bawah kepentingan strategis negara. Artinya lebih dalam lagi, harus terdapat pemahaman di antara pejabat publik bahwa dalam menjalankan eksekusi pelbagai kewenangan itu mesti memperhitungkan potensi kebaikan atau kerusakan atas kepentingan strategis nasional.

Kita bisa pahami bahwa domain etik juga berkaitan erat dengan norma-norma pejabat negara yang secara makro berlaku umum, menurut saya setidaknya terdiri dari lima pengaturan utama: mengedepankan kepentingan strategis keamanan nasional dan ketertiban publik; menjaga rahasia negara dan jabatan; bebas konflik kepentingan; berperilaku sopan dan ucapan yang jujur; bertindak egaliter tidak diskriminatif.

Lima unsur tersebut mestinya ada di dalam ketentuan etik baik di KPK, Polri, ataupun kebanyakan institusi publik. Mengingat bahwa ruang dan waktu adalah faktor penting dalam menjalankan kewenangan, perilaku sopan dan ucapan jujur serta keputusan yang nondiskriminasi, maka hal itu bisa dipergunakan untuk menilai apakah seorang pejabat publik diindikasikan kuat melanggar ketentuan kode etik atau tidak.

 Bila teori itu diturunkan ke persoalan faktual, teori tersebut bisa digunakan untuk menilai apakah ketika pimpinan KPK atau Polri, dalam proses menentukan dan kemudian mengumumkan atau menindak seseorang dari kedua belah pihak ditetapkan menjadi tersangka, sudah melalui kaidah-kaidah etik atau tidak.

Kembali perlu kita ingat bahwa KUHAP dan segala aturan turunannya secara substansial mengatur tentang prosedur hukum acara pidana, tetapi manusia-manusia penegak hukum menerjemahkannya berdasarkan rasionalitas dan emosionalitasnya. Sehingga pada tahap eksekusi kewenangan terhadap pihakpihak luar, baik dalam hal misalnya mengomunikasikan keputusan atau melakukan penangkapan, kaidah-kaidah etik sebaiknya berlaku.

Penyimpangan kaidah etik di tahap ini justru bisa mengaburkan substansi hukum. Maka tidak heran jika kemudian muncul penilaian publik terhadap para pejabat publik di kedua belah pihak itu sebagai arogan, diskriminatif, balas dendam, sok paling kuasa. Penyimpangan kaidah etik berpotensi menjauhkan inti permasalahannya: apakah seseorang disangkakan melanggar pidana?

Pelanggaran pidana berdampak terhadap individu, tetapi pelanggaran etik bisa berdampak lebih serius terhadap sosial masyarakat (publik) dan atau harga diri instansi-instansi publik (baik di KPK ataupun Polri). Dampaknya terhadap masyarakat luas bisa terjadi polarisasi dukung-mendukung terhadap kesatuan instansiinstansi publik secara membabi buta yang mengancam kesa-tuan bangsa, kepastian hukum dan ketertiban sosial.

Pelanggaran etik meskipun sanksinya bukan sanksi pidana, juga bisa menjadi masalah yang serius. Fenomena ketegangan KPK dan Polri yang terjadi saat ini dan yang dulu dikenal dengan cicak lawan buaya, terjadi juga karena cara-cara menjalankan kewenangan (berupa perilaku dan model komunikasi) yang diduga tidak etis.

Mirip dengan peristiwa “perselisihan” Polri dan TNI di beberapa tempat, penyebabnya sederhana: tindakan tidak etis dari beberapa oknum yang kemudian melebar pada konflik dengan kekerasan antar kesatuan.

Ke depan, model-model show of force; mempertontonkan kewenangan dengan cara yang minim etika, mesti diganti dengan model show of wisdom, yang lebih menginspirasi para pejabat publik untuk menunjukkan kewenangan dengan penuh etika. Lebih elegan dan simpatik, begitulah kira-kira.

Karena itu, saya kira, kita memerlukan pengaturan etika penyelenggara negara, supaya supremasi hukum bisa dijalankan dengan etika bangsa Indonesia tanpa mengurangi substansinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar