Ikhtiar
Pendalaman Ekonomi
Ahmad Erani Yustika ; Ekonom Universitas Brawijaya; Direktur
Eksekutif Indef
|
KOMPAS,
09 Februari 2015
Siklus ini terus berulang di sektor pertanian: panen tiba,
produk melimpah, harga jatuh, dan komoditas yang tak (belum) terjual
membusuk. Separuh jawaban juga telah tersedia: tata niaga yang buruk dan
inovasi/teknologi yang terbatas.
Tata niaga dikuasai segelintir pelaku ekonomi yang
mengontrol harga sepenuhnya, sedangkan pada saat yang bersamaan informasi
petani amat sedikit. Komoditas yang dipanen tidak bisa disebar ke daerah lain
dengan cepat akibat kendala informasi, transportasi, dan jaringan distribusi.
Teknologi/inovasi yang absen membuat sebagian produk
pertanian mudah rusak. Jika tersedia teknologi pendingin atau penyimpan, umur
komoditas itu sangat bisa diperpanjang sehingga kuantitas pasokan ke pasar
dapat diatur agar tidak mengganggu harga. Perkara ini sampai sekarang tak
juga ditangani secara layak.
Situasi yang bertolak belakang juga nyaris terjadi setiap
tahun. Pada masa paceklik atau periode tidak normal, tiba-tiba harga
komoditas melonjak tanpa kemampuan meredamnya. Harga kedelai, cabai, jagung,
bawang, dan buah-buahan pernah mengalami kondisi seperti itu.
Bahkan, beberapa komoditas strategis pangan yang
dikonsumsi rutin masyarakat, seperti beras, gula pasir, daging sapi, telur
ayam, dan kedelai, harganya sebagian meroket lebih dari 10 persen setiap
tahun. Beras, misalnya, selama periode 2009-2014 (November) harganya naik
55,7 persen, harga gula pasir naik 30,4 persen, harga daging sapi naik 54,3
persen, harga telur ayam ras meningkat 35,6 persen, dan kedelai impor
harganya naik 40,3 persen (Kementerian
Pertanian, 2014).
Heboh buah apel impor yang terpapar bakteri beberapa
minggu lalu juga menjadi penanda penting: ketergantungan pada impor
buah-buahan sudah mencemaskan, padahal potensi produksi domestik amat tinggi.
Di balik itu, masih tersimpan urusan lain yang tak kalah
pelik. Percepatan kerusakan komoditas itu seharusnya dapat dihindari apabila
tidak seluruhnya dikonsumsi dalam wujud bahan mentah. Produk pertanian yang
diproduksi dalam jumlah besar, yang dikonsumsi di pasar domestik atau
sebagian diekspor, seharusnya diolah terlebih dahulu.
Jika proses ini yang dipilih, stabilitas harga mudah dicapai.
Selain itu, nilai tambah juga kian besar dan penciptaan lapangan kerja
terdongkrak.
Tentu saja, tuntutan ini tidak semata-mata untuk mengatasi
kerusakan komoditas, tetapi juga mengikuti pola konsumsi masyarakat yang
terus berubah. Permintaan terhadap makanan dan minuman olahan terus meningkat
sehingga pelaku ekonomi mesti beradaptasi terhadap perubahan itu. Jika tidak,
barang imporlah yang akan memenuhi pasar dan menimbulkan komplikasi ekonomi.
Pengembangan produk merupakan bahasa modernisasi ekonomi
yang tak boleh gagap dieksekusi. Indonesia terbukti mengalami dua persoalan
serius dalam hal ini: sumber daya ekonomi domestik yang melimpah dibiarkan
pergi tanpa proses ”pendalaman” dan pengembangan sektor industri yang
menyedot bahan baku impor.
Sampai saat ini, 6-7 komoditas ekspor dengan nilai
tertinggi masih bergantung pada produk primer, sedangkan 70-72 persen dari
total impor berupa bahan baku. Berapa kesempatan ekonomi yang menguap dari
keganjilan kebijakan ini?
Kasus di Yunani ini menarik: setiap kenaikan pendapatan 1
juta dollar AS dalam kegiatan pengolahan pangan menghasilkan 4,6 juta dollar
AS pendapatan pada keseluruhan ekonomi (termasuk lapangan kerja). Adapun 19
persen ekspansi di sektor pangan akan menggandakan 62 kali kegiatan ekonomi di
luar sektor pangan (Winger dan Wall,
2006).
Jadi, dari sektor pangan saja (termasuk buah-buahan) telah
muncul pekerjaan yang amat mengasyikkan buat pemerintah.
Kementerian Pertanian lini tugasnya mengidentifikasi
komoditas yang akan diteruskan menjadi produk ”industri pengolahan”. Tentu
saja, dengan basis kalkulasi yang matang dari beragam aspek: pemetaan lokasi,
skala ekonomi, pilihan kluster, dan organisasi pelaku ekonomi.
Kementerian Perindustrian fokus mendesain insentif inovasi
produk dan identifikasi kebutuhan teknologi, sedangkan Kementerian
Perdagangan berjibaku dengan urusan komersialisasi produk. Perkara
komersialisasi ini tidak sekadar mengatur perdagangan domestik, tetapi juga
strategi promosi menerobos pasar internasional. Proses ini memang tak
sederhana karena menghendaki kemanunggalan gerak lintas departemen yang
selama ini terbiasa bekerja secara isolatif.
Dengan deskripsi tersebut, desain baru alokasi anggaran,
kerangka anyar kebijakan ekonomi, gemuruh pembangunan infrastruktur, poros investasi,
serta arah riset dan pengembangan mesti diletakkan dalam konteks pendalaman
kegiatan ekonomi tersebut. Sektor pertanian mempunyai titik strategis karena
merupakan sumber daya ekonomi terpenting nasional, yang pada saat yang sama
terjebak dalam persoalan klise setiap tahun.
Peta jalan dan pembagian kerja mestinya telah dipahami
dengan baik, demikian pula komparasi dengan negara lain mudah dibaca
(Australia dan Selandia Baru satu dekade lalu lebih kurang telah mengirim
5.000-10.000 produk makanan/minuman baru per tahun ke supermarket, sedangkan
AS sekitar 18.000 produk). Kata kuncinya: kerja-kerja detail segera
dieksekusi di alam nyata, bukan sekadar membuat panggung di dunia maya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar