Senin, 09 Februari 2015

Babak Penutup bagi Indonesia

WAWANCARA

Babak Penutup bagi Indonesia

Joshua Oppenheimer   ;   Sutradara Film
KOMPAS, 08 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Udara dingin yang disertai hujan salju di akhir Januari tidak menyurutkan semangat peserta menghadiri kelas master bersama Joshua Oppenheimer, sutradara film ”The Look of Silence” (”Senyap”), pada Festival Film Internasional Goteborg, yang berakhir 2 Februari lalu. Sekitar 200 kursi yang disediakan penuh terisi. Tanya jawab yang berlangsung selama 1,5 jam memenuhi keingintahuan peserta seputar pembuatan film Senyap.

Pesan terpenting yang ingin disampaikan dalam film ini, kata Oppenheimer, adalah never again. ”Jangan sampai terjadi lagi di mana pun atau pada siapa pun. Jangan sampai lagi ada impunitas yang didukung sistem politik dan dirayakan,” ujarnya.

Nasib sang pemain, Adi Rukun, beserta keluarganya juga menjadi pertanyaan banyak hadirin. Apakah keselamatan mereka terjamin? ”Satu tahun sebelum film ini ditayangkan, keluarga itu telah dipindahkan ke tempat yang aman. Kami telah mempersiapkan segala kemungkinan,” kata Oppenheimer.

Film Senyap begitu menyedot perhatian penonton festival sehingga karcis sudah habis terjual sebelum jadwal penayangan. Tepuk tangan panjang mengiringi setiap akhir pertunjukan. Namun, itu bukan berarti pertanda gembira. Seorang pria yang duduk di kursi sebelah bahkan berkali-kali menyusut air matanya. Reaksi ”bagaimana mungkin kita sampai tidak mengetahuinya”, muncul di sana-sini,

Ketika Senyap kemudian dinobatkan sebagai film dokumenter terbaik (Dragon Award Best Nordic Documentary), publik sudah menduga. Padahal, di ajang ini Oppenheimer harus berkompetisi dengan tujuh film yang tak kalah kuat, di antaranya Every Face Has a Name karya Magnus Gertten yang mengisahkan mereka yang lolos dari maut di kamp konsentrasi Nazi.

Dewan juri menilai Senyap berhasil memecah penghalang antara dokumenter dan fiksi dengan membuka ruang bagi kilas balik sejarah, dan menginspirasi rekonsiliasi.

Bagi pembaca yang belum sempat menonton Senyap, film ini merupakan sekuel dari film The Act of Killing (Jagal) yang menjadi nomine penghargaan Oscar tahun 2014. Jagal mendokumentasikan kesaksian para pembantai yang membunuh warga yang dituduh komunis di Deli Serdang pada periode 1965-1966. Dalam Senyap, adik seorang korban pembantaian, Adi Rukun, mencari kejelasan tentang kematian sang kakak, Ramli. Ia pun dipertemukan dengan para pembantai.

Oppenheimer yang mengaku kini sulit untuk bisa datang kembali ke Indonesia karena berbagai intimidasi yang dihadapi membutuhkan waktu 10 tahun untuk menyelesaikan Jagal dan Senyap. Pada 29 Desember 2014, Lembaga Sensor Film (LSF) dalam suratnya menolak seutuhnya film tersebut untuk dipertontonkan kepada khalayak umum atau bioskop.

Berikut perbincangan Kompas dengan Joshua Oppenheimer di Goteborg, Swedia.

Kedua film ini banyak memperoleh penghargaan internasional yang prestisius. Apa maknanya bagi Anda?

Setiap penghargaan menguatkan dampaknya bagi Indonesia. Asvi Warman Adam dalam artikelnya menyebutkan, perhatian internasional setidaknya memaksa diskursus di Indonesia karena untuk pertama kali dunia luar menyadari hal itu. Dengan demikian, perdebatan tidak bisa lagi sepenuhnya diset oleh pemerintah. Ini berarti harapan.

Sewaktu The Act of Killing menjadi nomine penghargaan Oscar, Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan, ini pertama kali setelah film itu diputar 1 tahun 4 bulan. Bagi saya pernyataan itu sangat positif karena pemerintah mengakui ada pelanggaran kemanusiaan dan mengatakan perlu rekonsiliasi. Satu hal yang baru dinyatakan kembali sejak pertama kali dilontarkan oleh pemerintahan Gus Dur. Tapi, kalau menyebut ini sebagai film buatan asing, tunggu dulu. Kalau kita melihat credit title di akhir film Jagal, ada 60 orang Indonesia yang terlibat di situ, termasuk ko-sutradara yang semuanya disebut anonim. Jelas ini bukan film buatan asing.

Apakah pesan never again dari film tersebut sudah tersampaikan?

Ini baru permulaan. Dari sejumlah penayangan dilaporkan sudah 53.000 orang yang menonton. Ruang yang sudah dibuka ini menunjukkan betapa terbelahnya masyarakat yang satu dengan yang lain. Lalu bagaimana kita menjembatani itu? Melalui kerendahhatian seperti yang ditunjukkan Adi, juga yang dicontohkan oleh putri dari seorang pembantai yang meminta maaf. Sungguh indah. Ia menemukan martabat kemanusiaannya dengan memohon maaf atas nama sang ayah. Ini menunjukkan bahwa proses penyembuhan itu mungkin terjadi. Kita butuh proses dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berupa sejumlah pengakuan kolektif bahwa ini adalah salah, bahwa perilaku premanisme, intimidasi yang sudah selama beberapa dekade didiamkan, dinyatakan terlarang. Dan ini memang harus diperjuangkan.

Apakah ini dimaksudkan sebagai sebuah film politik?

Anda tidak bisa memisahkan individu dari masyarakatnya. Terkait pembantaian massal, siapa yang harus bertanggung jawab? Apakah individu atau sistem politik? Individu tidak akan eksis tanpa masyarakat, begitu juga sebaliknya. Kita adalah satu entitas kolektif. Film apa pun yang mengangkat cermin kemanusiaan secara inheren adalah politik, tapi juga sekaligus manusiawi dan universal.

Bagaimana Anda melihat reaksi pro dan kontra di Indonesia. Apakah ini sudah diperkirakan?

Sepertinya begitu. Ketika Komisi Nasional HAM dan Dewan Kesenian Jakarta memutar film ini dan dihadiri sekitar 2.000 orang, juga ketika Adi dikenalkan di panggung dan memperoleh 10 menit standing ovation, itu membuat 500 penayangan lainnya juga dihadiri banyak orang. Dan itu semua membuat Anda penuh harap. Tapi, apa yang terjadi belakangan (penghentian penayangan) sudah diperkirakan. Komnas HAM sudah men-submit film itu kepada LSF, tak ada respons. Mereka baru merespons ketika polisi dari Malang men-submit film itu ke LSF, dan kemudian LSF melarang penayangan film itu.

Menyakitkan

Anda mengatakan telah melewati pergulatan yang sangat menyakitkan ketika membuat film ini. Itu dikarenakan materinya atau karena telah ”memunculkan” situasi yang menyakitkan?

Keduanya. Saya rasa pembuatan The Act of Killing (Jagal) memang menyakitkan, sedangkan The Look of Silence lebih mengkhawatirkan karena saya khawatir dengan keselamatan kami semua, khususnya para kru. Tapi, proses dalam The Look of Silence merupakan proses penyembuhan (healing). Itu sebuah cara untuk mengucapkan selamat tinggal. Sebuah cara untuk membuat babak penutup, babak 10 tahun terakhir dalam kehidupan saya. Mereka adalah keluarga dan kru yang sangat saya cintai. Itu seperti sebuah perpisahan panjang.

Materi The Act of Killing memang menyakitkan, tapi saya dipaksa untuk tidak tergetar dan tetap membuka hati, khususnya untuk Anwar Congo (salah satu pembantai). Persoalannya, tak ada yang selama ini pernah mendengarkan Anwar. Cara dia membual (boasting) ketika melakukan pembantaian adalah cara untuk meyakinkan dirinya bahwa dia adalah pahlawan sehingga ia bisa lari dari rasa salah. Tidak ada yang pernah mendengarkan apa makna hal itu bagi dirinya. Berkali-kali ia mengatakan sering mimpi buruk. Tapi, tak ada yang pernah bertanya, apa mimpinya, apa yang membuatnya takut, apakah ia merasa bersalah?

Jadi, upaya boasting yang dilakukan selama bertahun-tahun merupakan upaya untuk meyakinkan dirinya, untuk menutupi jeritan hatinya. Dan ketika saya datang dan mendengarkan, Anwar mulai berbicara lebih jujur, dan muncullah rasa sakit itu. Saya ikut merasakan rasa sakit Anwar itu, tapi Anwar tetap ingin melanjutkan. Tentu saja saya bergulat dengan situasi seperti itu. Dan kadang saya juga merasa bersalah dengan situasi semacam itu.

Bagaimana Anda mengatasinya?

Saya mendapat dukungan dari para kru yang luar biasa, para kru Indonesia adalah orang-orang yang menakjubkan. Ko-sutradara saya adalah orang yang sangat mencintai pepohonan. Dia membawa saya jalan-jalan dan mengajari saya tentang pepohonan. Dia berbicara tentang pohon dengan penuh rasa kasih, dan hal itu sangat menenangkan dan menghibur. Mengingatkan mengapa kemanusiaan itu begitu berarti. Karena film bukan untuk menyalahkan, film ini berbicara tentang kita semua.

Puitik      

Setelah menyaksikan film ini, penonton umumnya merasa sedih yang sangat sakit. Namun, Anda menyebutnya puitik?

Banyak puisi yang menyedihkan. Saya rasa puisi yang terindah selalu tentang kesedihan. Salah satu satu favorit saya adalah puisi The Waste Land karya TS Eliot. Salah satu puisi yang sangat menyedihkan tapi visioner. Membuat kita melihat tentang kebenaran fundamental di dunia. Salah satu yang menginspirasi The Act of Killing adalah karya Dante, Inferno, sebuah puisi panjang. Salah satu alasan mengapa film ini puitik karena dalam hampir semua dokumenter saya tentang HAM selalu diakhiri dengan sebuah harapan. Setidaknya penonton yang keluar dari ruangan merenung bahwa sesuatu sudah dilakukan.

Saya akan membuat puisi itu sebagai in memoriam terhadap kesenyapan yang menghancurkan. Saya ingin menghormatinya melalui sinema puisi, mengingat tak ada lagi yang bisa kita tegakkan untuk semua yang telah dihancurkan, tak ada yang bisa mengembalikan dekade-dekade yang hilang pada keluarga Rukun. Karena itu, film ini adalah sebuah puisi, melihat pada jurang kesenyapan. Meminta kita untuk berupaya mendengarkan suara-suara lirih yang mungkin datang dari kesenyapan itu. Seperti juga adegan ketika ibu Adi melihat kacang yang bergerak di telapak tangannya. Itu merupakan metafora tentang harapan, tentang sesuatu yang akan muncul. Saya berharap itu adalah rekonsiliasi yang kita tunggu-tunggu.

Bagaimana reaksi publik di Amerika Serikat (AS)?

Film ini baru diputar di festival-festival. Sejauh ini, reaksinya sangat baik. Sangat kuat. Ketika saya hadir bersama Adi di AS, orang-orang begitu antusias menyambut Adi. Setiap kali dia hadir dalam penayangan film, Adi selalu memperoleh standing ovation. Hal itu sedikit atau banyak merupakan penyembuhan untuk Adi atas penderitaan yang dialami dia dan keluarga selama 50 tahun, bagaimana ia dan keluarga distigmatisasi tidak bersih lingkungan.

Apakah publik AS menyadari pemerintah mereka secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam tragedi itu?

Rakyat AS memiliki kenangan terbatas atas apa yang terjadi di Indonesia. Tapi, kami mengerti bahwa AS terlibat dan pemerintah kita terlibat dalam menggerakkan kekerasan atas nama korporasi multinasional di sejumlah negara di dunia. Kami (AS) punya sejarah di Amerika Latin, di Vietnam, di Filipina, dan cukup banyak yang berpendapat bahwa AS berperang di Irak karena minyak. Saya pikir masyarakat di sini menyadari itu. Di film ini pun kita lihat bagaimana perusahaan Goodyear memperbudak pekerja dan membiarkan pekerjanya dibunuh, seperti juga perusahaan Jerman menggunakan pekerja dari Auschwitz. Kenyataan ini sangat memukul penonton AS. Pada pemutaran ketiga The Look of Silence di AS, seorang putri dari eksekutif Goodyear menangis tersedu-sedu setelah melihat film ini. Dia sangat terpukul.

Sejauh mana Anda melakukan intervensi dalam pembuatan film ini? Sejauh mana sutradara dibenarkan melakukan intervensi dalam film dokumenter?

Tidak ada batasnya. Pembuat film memiliki tanggung jawab untuk bertindak sejauh yang dibutuhkan untuk mengungkapkan kebenaran terpenting, untuk mengeksplorasi pertanyaan terpenting. Kami juga bertanggung jawab untuk tidak mencederai siapa pun, untuk menjaga keselamatan siapa pun.

Sebagai contoh dalam adegan The Act of Killing, sewaktu Herman memeras orang di pasar, saya berpikir bagaimana saya harus memfilmkan ini, dengan juga mempertimbangkan rasa takut yang dialami pemilik toko setiap hari. Setelah pengambilan gambar selesai, kami sampaikan kepada pemilik toko bahwa kami akan membayar berapa pun yang diambil oleh Herman. Langkah ini diambil untuk mencegah pencederaan apa pun bentuknya. Anda selalu bertanggung jawab untuk melakukan intervensi. Adalah bohong jika Anda mendokumentasikan realitas yang preexisting. Di dalam film Anda selalu menciptakan realitas. Anda juga bertanggung jawab bertindak sejauh yang dibutuhkan untuk mengekspresikannya sekuat mungkin.

Jika melihat kembali perjalanan 10 tahun terakhir Anda, apa yang Anda lihat? Apa yang Anda rasakan?

Saya dihadapkan pada sejumlah aspek menyakitkan yang membuat kita menjadi manusiawi. Juga pada sejumlah kebenaran fundamental, bukan tentang Indonesia, melainkan tentang masyarakat. Saya juga dihadapkan pada hal-hal yang menakutkan, keterbukaan, kejujuran, dan cinta yang mungkin dilakukan. Dan itu membuat Anda tidak takut untuk terus bergerak maju karena Anda telah berhasil mengalahkan rasa takut yang membuat Anda tidak mau melihatnya. Setidaknya Anda kini bisa menatapnya langsung. Saya harap film ini bisa berdampak sama terhadap para penonton Indonesia. Saya juga ingin berbagi rasa hormat dengan para kru, saya merasa istimewa memperoleh kepercayaan mereka. Saya rasa, sangat jarang seni bisa membuat perbedaan.

Film ini juga mengubah cara pandang saya. Saya lebih mudah untuk memaafkan, seperti simpati saya yang dalam untuk Anwar meskipun bukan simpati terhadap apa yang dia lakukan.

Kuatkah dampaknya terhadap kehidupan pribadi Anda?

Sangat menguras, sampai saya harus pindah ke Denmark untuk mengedit film ini karena Denmark yang membiayainya. Saya juga terus bermimpi buruk selama hampir satu tahun. Sangat berat. Tapi, saya tidak pernah menyesal. Saya juga perlihatkan film ini kepada orangtua saya. Saya ingin mereka melihat sesuatu yang dalam tentang diri saya yang mungkin tidak pernah mereka ketahui sebelumnya. Mereka sangat menyukainya, dan itu sangat berarti bagi saya. Saya juga memiliki keluarga kedua di Indonesia yang sangat saya cintai. Sungguh sedih bahwa situasi ini membuat saya tidak bisa datang dan mengunjungi mereka.

Film berikutnya akan seperti apa?

Akan bercerita tentang ketakutan, kerakusan, penipuan diri. Tidak akan dibuat di Indonesia dan tidak terkait Indonesia. Banyak yang bertanya, mengapa saya tidak membuat sekuel ketiga. Di luar kesulitan teknis pembuatannya, saya berpikir bahwa apa yang selanjutnya terjadi di Indonesia adalah milik masyarakat Indonesia. Film pertama sudah membuka ruang. Film kedua menunjukkan sejumlah kemungkinan untuk rekonsiliasi. Babak ketiga adalah milik masyarakat Indonesia. (Myrna Ratna)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar