Wajah
Politik Kita
Asep Salahudin ; Wakil Rektor I IAILM Pesantren Suryalaya
Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat
|
KOMPAS, 14 Januari
2017
Wajah dalam tubuh manusia seperti halaman muka sebuah
rumah. Santun dan tidaknya seseorang, ramah atau bengisnya manusia, bisa
dideteksi dari identitas tampilan wajahnya, dari raut mukanya.
Maka, misalnya, bagi filsuf kontemporer Perancis, Immanuel
Levinas, wajah menyimpan banyak makna. Pembenahan sengkarut politik dan
kemanusiaan harus dimulai dari penataan wajah. Wajah sebagai roh untuk
mewujudkan persaudaraan universal (universal brotherhood)dan penggerak
utama tergelarnya persatuan, perdamaian, dan keadilan.
Agar kehidupan menemukan kembali otentisitasnya, harus ada
gerakan kembali kepada khitah wajah itu. Wajah sebagai ekspresi epifani
ilahi. Wajah menjadi alamat utama keharusan kita memperlakukan orang lain
dengan penuh respek dan rasa tanggung jawab. Wajah yang tidak membunuh dan
nyinyir bagi mereka yang berlainan, baik keyakinan, budaya, maupun etniknya.
Wajah memiliki lima rukun kebaikan utama: pertama, terbuka
kepada siapa pun tanpa melihat asal-usul sejarah dan budayanya; kedua,
mengulurkan persahabatan yang ikhlas; ketiga, memberikan kegembiraan;
keempat, bersikap lapang; dan kelima, memperlakukan satu dengan lainnya
secaraetis. Lima rukun inilah pada gilirannya yang akan mampu membangun
persekutuan solidsekaligus satu sama lain tanpa sungkan bekerja sama
menghadirkan keadaban hidup.
Perbedaan tidak lagi dipandang sebagai ancaman, tetapi
sebagai kesempatan untuk mendewasakan diri dan fakta sosial yang harus
dikelola dengan penuh kebijaksanaan. Anarkisme, konflik, kekerasan, kerusakan
lingkungan, banalitas politik, korupsi, kebohongan, dan penyakit sosial
lainnya tidak lagi diselesaikan secara fragmentaris dan bersifat individu,
tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Atau dalam istilah Hans Kung, tatanan
dunia baru membutuhkan komitmen etik semua kalangan yang dijangkarkan pada
semangat dialog: a dialogue among civilizations.
Wajah inklusif
Persoalan wajah bukan sekadar kecakapan berbicara,
keindahan merangkai kata, keelokan retorika yang membakar massa atau
kecermatan memberikan senyuman, mudahnya melelehkan air mata, atau jidat yang
hitam karena dianggap sering bersujud. Ia lebih dari itu. Melampaui semua
itu.
Wajah sebagai saluran epifani ilahiah menjadi media untuk
melakukan transendensi ke arah kehidupan yang beradab. Wajah menjadi lekat
hubungannya dengan kesadaran rohaniah yang salah satunya dimanifestasikan
dalam hidup yang toleran dan penuh kasih sayang.
Maka, menjadi sangat dipahami kalau Tuhan berfirman dalam
sebuah ayat-Nya, ”Ke mana pun kalian berpaling, akan kalian temukan wajah
Tuhan”. Faaianama tuwallu fa tsamma wajah Allah. Atau dalam
ungkapan kenabian, ”Wajah yang berseri dan memberikan senyuman adalah
bernilai sedekah”.
Wajah harus punya kemampuan melampaui dirinya. Wajah yang
bisa membebaskan diri dari sekapan egoisme, politik partisan, dan hal-ihwal
yang bersifat diskriminatif, baik berhubungan dengan keyakinan maupun paham
politik. Atau dalam istilah Levinas ia terumuskan dalam ungkapan de
I’evasion.
De I’evasion semacam proses pembebasan diri dari selubung
sifat primitifnya, ”katak dalam tempurung”, menuju wawasan baru yang lebih
luas. Di antaranya dengan melihat ”liyan” sebagai jalan menuju kebaikan
bersama (public good). Tidak
sekadar melulu berbicara dan membicarakan dirinya sendiri, tetapi juga
bagaimana memosisikan orang lain dalam derajat yang setara.
Orang lain bukan obyek yang bisa dieksploitasi secara sewenang-wenang
atau dimobilisasi untuk kepentingannya, tetapi mereka adalah individu merdeka
yang harus dihormati sebagai manusia seutuhnya. Orang lain bukan bebek yang
bisa digiring dengan memanipulasi kesadarannya, tetapi mereka adalah manusia
otonom yang harus diajak berbicara penuh kejujuran.
Buruk muka
Selama ini, diakui atau tidak, wajah dan perpolitikan kita
justru menemukan gejala yang bopeng. Sering kali kita begitu cermat melihat
wajah yang kita miliki dari cermin yang setiap hari dibawa, tetapi pada saat
yang sama tidak bersedia menggunakan cermin lain, apalagi mau keluar melihat
wajah orang lain dengan respek.
Politik itu menjadi negatif karena adanya sikap keengganan
membuka diri. Orang lain dianggap berguna manakala bisa dijadikan sekadar konstituen,
kader, atau dapat dipastikan menjatuhkan pilihan pada dirinya saat pemilu
atau pilkada. Liyan dalam politik yang telah melencengdari khitahnya melulu
diposisikan tak lebih hanya ”angka”yang bisa dikonversikan dengan ”benda” dan
kekuasaan, hanya ”kartu tanda penduduk” yang dapat dihimpun untuk melengkapi
administrasi politik.
Maka, di titik ini sesungguhnya awal mula terjadinya
transaksi politik. Politik uang berlangsung dengan marakdan barter
kepentingan (kekuasaan) dilakukan tanpa merasa berdosa.
Orang lain didekati bukan jiwanya, melainkan tubuhnya
minimal lima tahun sekali atau saat reses. Tubuh yang sudah dibeli itu yang
kemudian digiring ke lapangan untuk mendengarkan pidato dan kampanye
politiknya yang sesungguhnya kalau dicermati bukan pidato politik,
melainkanlebih menyerupai sebuah hasutan dan kebohongan yang dipanggungkan
dengan gempita.
Demikian juga agama menjadi negatif ketika yang
dikembangkan adalah teologi yang meneguhkan wajah di luar dirinya sebagai
sesat, kafir, munafik, dan zindik. Di titik ini teologi yang semestinya
dijangkarkan di atas haluan ”rahmatan lil alamin” jadi menyemburkan aroma
penuh kebencian, kesumat, dan dendam. Tak ada lagi kesempatan becermin karena
sejak awal yang diteguhkan adalah keyakinan dirinya sebagai surga dan liyan
tak lebih adalah neraka. Surga yang ditanamkan dalam isi kepala itu diimani
akan semakin lapang manakala liyanyang dipandang neraka itu terus-menerus
”ditertibkan” hatta lewat teror, ancaman, pedang, dan kekerasan.
Di titik persimpangan wajah yang serba paradoksal ini,
alih-alih menimpakan kesalahan kepada diri sendiri, seperti dibilang
Dostoyevsky, tetapiyang terjadi adalah terus-menerus menyalahkan orang lain.
Tak henti mengkhotbahkan kekeliruan kepada liyan sembari menyematkan jubah kesucian
bagi diri dan kaumnya. Orang lain sebagai alasan terjadinya kemungkaran.
Orang lain pihak yang telah menjadi penyebab utama bagi terciptanya
kebobrokan moral.
Wajah angkara yang surplus kebengisan dan minus kesantunan
inilah riwayat mutakhir wajah b(t)opengpolitik dan keagamaan kita. Awal tahun
2017, demi menyambut fajar keadaban, wajah seperti itu harus selekasnya
ditanggalkan karena bukan saja tak sesuai dengan nilai-nilai keutamaan agama,
falsafah bangsa, melainkan juga bertentangan dengan budaya ketimuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar