Radikalisme
dan Pancasila
Donny Gahral Adian ; Dosen Teori-teori Ideologi Universitas
Indonesia
|
KOMPAS, 14 Januari
2017
Belakangan
ini radikalisme mendapatkan momentum politiknya. Kasak-kusuk lirih itu
berubah menjadi suara yang nyaring dan lantang. Kita pun seperti
tergopoh-gopoh merespons gelagat tersebut. Sebagian bertanya, ”Apakah
demokrasi tidak bisa mengatur dirinya sendiri dan memadamkan api intoleransi
dalam tubuhnya?” Bagi saya, kita terlalu memandang tinggi demokrasi. Kita
semua lupa bahwa demokrasi bukan mekanisme pemadam intoleransi. Dia cuma
mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak. Netralitas
semacam itu yang membuat kita (politically
speaking) terhuyung-huyung dan nyaris pingsan. Kenyataannya, belakangan
ini suara radikal mendapat sokongan publik. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Demokrasi melempem
Filsuf
Chantal Mouffe menuduh demokrasi liberal yang mengutamakan diskusi dan bukan
kontestasi sebagai biang keladi sektarianisme. Kebangkitan politik kanan ditengarai
Mouffe sebagai akibat ketidakmemadaian demokrasi liberal melahirkan kaum
demokrat sebagai identitas kolektif. Demokrasi liberal tidak dapat menjawab
pertanyaan tentang bagaimana kaum demokrat sebagai identitas kolektif
diciptakan sebagai lawan sepadan bagi identitas sektarian.
Kegagapan
demokrasi liberal menjelaskan pembentukan kaum demokrat disebabkan
kebutaannya terhadap watak politik sebagai antagonisme. Demokrasi liberal
tidak mampu menangkap kodrat pluralistik sebuah realitas sosial dan konflik
yang mengikutinya. Individualisme yang menjadi acuan antropologis demokrasi
liberal sulit mencerna watak kolektif sebuah konflik.
Konflik
tidak terjadi antarindividu akibat perbedaan keinginan, tetapi antaridentitas
kolektif. Politik adalah perkara pembentukan ”kami” di hadapan ”mereka”. Dia
adalah arena bagi keputusan dan bukan kesepakatan.
Politik
adalah keputusan eksistensial tentang siapa ”kami” dan siapa ”mereka”. Kedua
keputusan tersebut sama pentingnya. Sebab, tanpa mengetahui siapa ”mereka”, ”kami”
juga tidak dapat sepenuhnya tersusun. Tanpa pemahaman tentang siapa itu
”kelompok fundamentalis”, ”kelompok moderat” tidak dapat menjelaskan dirinya.
”Mereka” adalah yang mempertanyakan identitas ”kami” dan mengancam
eksistensinya. Politik berlangsung ketika ”kelompok moderat” berhadapan
secara frontal dengan ”kelompok fundamentalis”.
Materialisasi
demokrasi juga berkontribusi menyulut radikalisme. Materialisasi demokrasi
adalah kondisi semakin relativistiknya demokrasi sebagai akibat etika
toleransi yang dikembangkan liberalisme. Dalam konteks etika toleransi
liberal tidak ada yang tidak diakomodasi. Politik menjadi silang pendapat
belaka tanpa kriterium demarkasi yang mampu menggaris yang benar dari yang
keliru. Demokrasi pun sekadar persoalan siapa yang menguasai opini publik.
Opini publik tidak diukur berdasarkan benar atau salah, tetapi ada atau
tiadanya pengikut.
Di
bawah terang demokrasi material, kelompok fundamentalis dapat memenangkan
opini publik dan meraih dukungan secara perlahan tetapi pasti. Absennya
konfrontasi di dalam demokrasi liberal turut berkontribusi pada proyek
politik kaum fundamentalis. Kaum fundamentalis dapat meraih dukungan dengan
menyebar kebencian terhadap Barat atau kaum moderat (yang dituduh) kaki
tangan Barat. Opini publik pun direbut dengan mengatasnamakan kondisi ekonomi
umat yang terpuruk.
Ceramah
penyebar kebencian dapat berlindung di balik kebebasan berpendapat dan
menarik simpati massa. Apalagi ketika kebencian tersebut menyentuh sesuatu
yang memang dirasakan betul di akar rumput sebagai persoalan. Demokrasi
liberal berbasis konsensus tidak dapat mencegah penguatan politik sektarian
semacam itu. Kaum moderat tidak pernah berhasil menghadapi kaum fundamentalis
karena senantiasa gagal membangun identitas kolektif ”moderat”. Alhasil, kaum
moderat sibuk membuat forum diskusi dan seminar, sementara kaum fundamentalis
sudah mengorganisasi diri dalam satuan-satuan yang militan.
Pancasila
Demokrasi
sebagaiteori pilihan sosial niscaya gagap menjawab perkara radikalisme. Dia
memerlukan semacam ideologi yang melampaui agregasi suara belaka. Tanpa
ideologi, demokrasi gagal mencium malapetaka dalam dirinya. Kita menyaksikan
dalam bentang sejarah betapa demokrasi justru melahirkan rezim yang mematikan
rahim politiknya sendiri (baca: demokrasi).
Demokrasi
membutuhkan kaum demokrat sebagai kolektivitas yang militan. Bukan individu
atomistik yang terasing satu sama lain. Individualisme, menurut hemat saya,
tidak mampu menangkal radikalisme. Sebab, justru di balik kebebasan individu
radikalisme sering mendapatkan tempat persembunyiannya. Kolektivitas militan
membutuhkan ideologi komunal-terbuka. Dengan kata lain, demokrasi harus
diinjeksi oleh sesuatu dari luar dirinya. Pancasila, saya pikir, dapat
berfungsi sebagai antibodi bagi demokrasi melawan radikalisme.
Pancasila
tak lain dan tak bukan adalah komunalisme. Dalam salah satu rapat BPUPKI,
Soekarno berkata: ”Apa guna grondwet kalau ia tidak dapat mengisi perut orang
yang hendak mati kelaparan, maka karena itu, jikalau kita betul-betul hendak
mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong menolong,
paham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkan tiap-tiap pikiran,
tiap-tiap paham individualisme dan liberalisme daripadanya” (Yamin, 1959).
Pancasila
pun melawan liberalisasi agama yang berujung pada ”egoisme agama”. Soekarno
jauh-jauh hari mengingatkan bahwa ketuhanan jangan terjangkiti oleh
liberalisme dan menjadi sebentuk ”egoisme agama”. Soekarno berpesan agar
bangsa ini bertuhan secara kebudayaan. Bertuhan secara kebudayaan adalah
bertuhan yang mengedepankan sifat toleransi, solidaritas, dan keterbukaan.
Soekarno berkata, ”Marilah kita amalkan, dijalankan agama, baik Islam maupun
Kristen dengan cara yang berkeadaban; ialah hormat-menghormati satu sama lain.”
Lima
sila Pancasila harus dibaca dalam semangat kolektivitas yang memagari
demokrasi dari kaum radikal. Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan,
dan keadilan adalah ide-ide kolektivitas. Kita tidak pernah bertuhan
sendirian. Kita harus bertuhan sambil memelihara solidaritas antarmanusia.
Kesatuan pun harus diletakkan di atas perbedaan.
Perbedaan
bukan sesuatu yang menepis, melainkan memperkaya kesatuan. Dalam mengelola
perbedaan, kita tidak mengambil suara terbanyak, tetapi bermusyawarah untuk
mufakat. Terakhir, keadilan harus menjadi acuan di segala sudut kehidupan.
Negara tidak boleh membedakan perlakuan terhadap warganya. Semua berhak
menikmati hak sosial, ekonomi, dan politiknya. Tak boleh satu pun warga
dicabut hak politiknya hanya karena keyakinan yang bersangkutan.
Sekali
lagi, malapetaka mengintai di balik kerah baju demokrasi. Radikalisme bukan
pepesan kosong lagi. Dalam arena demokrasi nir-ideologi, radikalisme
berkembang secara nyaman. Untuk itu, kita memerlukan Pancasila guna mengisi
rongga gelap demokrasi. Pancasila sebagai kolektivitas bekerja memisahkan
demos dari non-demos, moderat dari radikal.
Dengan
kata lain, yang bukan Pancasilais tidak ambil bagian. Terdengar keras?
Memang. Sebab, demokrasi yang terlalu lunak justru memanjakan kaum radikal.
Kaum yang satu saat membunuh pengasuhnya sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar