Wajah
Perlindungan Anak 2016
Asrorun Niam Sholeh ; Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
|
KOMPAS, 13 Januari
2017
Deretan
kasus pelanggaran terhadap anak terus terjadi dengan berbagai pola dan
bentuknya sepanjang 2016. Presiden Joko Widodo sudah menjadikan kejahatan
seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa, diikuti penerbitan
Perppu Nomor 1 Tahun 2016 yang
kemudian disahkan DPR menjadi undang-undang.
Perppu
telah menjawab kebutuhan faktual untuk pemberatan hukuman bagi pelaku
kejahatan seksual terhadap anak sebagai tindakan yang tak bisa ditoleransi.
Tahun
2016, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 3.581 kasus
pengaduan masyarakat terkait pelanggaran hak anak. Kasus tertinggi anak
berhadapan dengan hukum (ABH) mencapai 1.002 kasus, disusul kasus terkait
keluarga dan pengasuhan alternatif 702 kasus, kejahatan anak berbasis siber
(cyber crime) 414 kasus, selanjutnya kasus pelanggaran anak dalam pendidikan
328 kasus.
Perbedaan
tahun 2015 dengan tahun 2016 adalah pergeseran dominasi kasus berdasarkan
pengelompokan jenis pelanggaran. Tahun 2015 kasus anak di bidang pendidikan
menempati urutan ketiga setelah kasus bidang ABH, keluarga, dan pengasuhan
alternatif. Namun tahun 2016, kasus kejahatan berbasis siber (pornografi dan
cyber crime) menempati urutan ketiga, baru pendidikan.
Adanya
pergeseran menunjukkan bahwa advokasi KPAI secara masif terhadap pemerintah
pusat dan daerah, organisasi profesi pendidik, serta satuan pendidikan dan
madrasah untuk mewujudkan sekolah ramah anak menampakkan hasil positif.
Banyak sekolah menginisiasi sekolah
ramah anak.
Namun
di sisi lain, kejahatan berbasis siber, yang menjadikan anak korban dan
pelaku, saat ini makin serius sehingga memerlukan komitmen negara untuk total
memproteksi anak karena beragamnya kejahatan berbasis siber. Dari bullying,
prostitusi online, penculikan, penipuan, hate speech, hingga terorisme. KPAI
merekomendasikan literasi pemanfaatan media berbasis siber untuk optimalkan
perlindungan anak. KPAI juga merekomendasi peningkatan kapasitas kelembagaan
untuk mencegah dan menangani kasus ini. Unit kejahatan siber Mabes Polri
perlu diperkuat.
Banyak faktor
Dari
3.581 kasus pelanggaran hak anak tahun 2016, tampaklah bahwa tingginya kasus
anak berhadapan dengan hukum, kasus keluarga dan pengasuhan alternatif, kasus
pornografi dan kejahatan siber (cyber crime), serta kasus pelanggaran di
bidang pendidikan tidak disebabkan oleh faktor tunggal. Dari sisi proteksi
negara, upaya perlindungan anak masih sangat lemah. Sangat mudah anak
mengakses pornografi di internet, juga permainan anak bermuatan judi,
kekerasan, dan sadisme. Dengan mudah anak terpapar konten negatif dan
berdampak buruk pada tumbuh kembang anak, termasuk pembentukan karakter,
nilai, dan perilaku yang akan terbawa hingga saat dewasa kelak.
Dunia
siber pun layaknya dunia offline, menjadi media bagi para predator anak untuk
membujuk rayu, menipu, bahkan mengancam anak sehingga anak berpotensi menjadi
korban kejahatan siber. Posisi anak yang rentan ini masih sering luput dari
perhatian orangtua, keluarga, dan negara. Oleh karena itu, proteksi berbasis
IT untuk kepentingan perlindungan anak merupakan keniscayaan.
Akibat
proteksi yang lemah, anak juga mudah terindoktrinasi radikalisme dan terpapar
paham ekstremisme. Kultur di satuan pendidikan juga belum sepenuhnya
responsif perlindungan anak. Masih banyak ragam kekerasan di sekolah dan
madrasah yang tidak mencerminkan napas lingkungan pendidikan, justru
mencerminkan perilaku primitif.
Senioritas,
pendisiplinan dengan cara kekerasan, bahkan orientasi sekolah bermuatan
kekerasan mudah ditemukan di sejumlah sekolah/madrasah. Kondisi ini perlu
optimalisasi proteksi negara, penguatan sistem, perubahan perilaku pendidik,
keluarga, dan masyarakat serta kesadaran bersama secara berkesinambungan.
Dari
sisi penegakan hukum, vonis bagi pelaku dewasa yang melakukan kejahatan
seksual terhadap anak sejatinya masih jauh dari rasa keadilan bagi korban.
Padahal
dalam pasal pidana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak, pelaku kejahatan seksual terhadap anak dapat dipidana minimal 5 tahun
penjara dan maksimal 15 tahun penjara. Apabila pelakunya orangtua dan tenaga
pendidik/kependidikan ditambah 1/3 pidana.
Hasil
pengawasan KPAI terhadap proses hukum pelaku kejahatan seksual di 34
pengadilan negeri di ibu kota provinsi, dengan sampel 112 kasus, menunjukkan,
pelaku dewasa rata-rata divonis pengadilan 5-10 tahun (35 persen) dan 44 persen divonis 10-15 tahun.
Advokasi kebijakan
Dalam
rangka menekan tingginya kasus pelanggaran hak anak, KPAI mengupayakan
advokasi secara intensif dengan pendekatan sistem sebagai perwujudan
menunaikan tugas sebagai pengawas penyelenggaraan perlindungan anak.
Pertama,
KPAI melakukan advokasi kepada penyelenggara negara akan pentingnya kebijakan
yang berperspektif anak di berbagai bidang dan sektor pembangunan, baik pusat
maupun daerah. Harapannya, perlindungan anak menjadi arus utama dalam
kebijakan nasional dan daerah. Namun, tantangan yang dihadapi di antaranya
adalah sejumlah peraturan perundang-undangan ataupun peraturan daerah justru
bertolak belakang dengan spirit perlindungan anak.
Kedua,
KPAI melakukan advokasi agar paradigma perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan berbasis pada perspektif perlindungan
anak. Hal ini untuk meminimalisasi pembangunan yang hanya fokus pada
pembangunan fisik dan berperspektif
kepentingan orang dewasa, minus perlindungan anak. Faktanya, hasil pantauan
KPAI, politik kebijakan anak masih lemah di berbagai sektor dan daerah,
akibat lemahnya sensitivitas perlindungan anak dari sebagian "pelaku dan
pegiat politik".
Ketiga,
KPAI secara intensif mengadvokasi penguatan kelembagaan perlindungan anak
yang didukung oleh SDM, anggaran, dan struktur birokrasi yang responsif
terhadap perlindungan anak. Hal ini mengingat hasil pantauan KPAI yang masih
banyak menemukan kelembagaan perlindungan anak yang minus dukungan SDM,
pembentukan kelembagaan yang minus anggaran, dan seterusnya sehingga kinerja
perlindungan anak tidak efektif. Ini terjadi di sejumlah daerah dan perlu
mendapat dukungan serius dari pemerintah agar perlindungan anak tidak semata
hanya "kebaikan hati", tetapi menjadi kebijakan yang "bersifat
mandatory". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar