Visi
dan Perbaikan Berkelanjutan
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan;
Penulis;
Kini menjadi seorang profesional
di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 09 Januari
2017
Saya
selalu mengajak anak muda untuk punya visi karir. Banyak dari mereka yang
berprinsip "jalanin aja". Artinya, bagaimana masa depan, tidak
tahu. Yang penting jalani saja yang sedang dihadapi sekarang. Urusan nanti,
biar diurus nanti.
Tidak
sulit untuk mengerti kenapa mereka bersikap seperti itu. Bagi banyak anak
muda, berpikir soal sesuatu yang jauh ke depan, itu sesuatu yang mewah. Untuk
sekedar dapat pekerjaan sekarang saja pun mereka sudah kelabakan.
Ini
sebenarnya soal pola pikir atau mindset saja. Dalam banyak kasus, banyak anak
muda yang tidak mendapat pekerjaan karena hidup tanpa visi. Waktu mulai
kuliah, mereka berprinsip, pokoknya kuliah saja dulu. Artinya, mereka tidak
melihat kuliah dan dunia kerja itu saling berhubungan.
Masa
kuliah tidak dipakai untuk mengumpulkan keahlian dan keterampilan yang kelak
bisa dipakai untuk bekerja, baik secara intrakurikuler maupun
ekstrakurikuler. Ketika lulus, bingung menghadapi dunia kerja, karena tidak
ada satu pun hal yang didapat selama kuliah yang relevan dengan lowongan yang
tersedia.
Apakah
visi itu sesuatu yang mewah? Tidak. Saya ajak seorang anak muda yang bekerja
sebagai guru les untuk membangun visi, ia tertawa. "Cuma pekerjaan remeh
begini, masak harus punya visi, Pak," katanya tak percaya. Saya beri
tahu dia bahwa guru les pun bisa ditekuni secara profesional.
Secara
perseorangan, ada guru-guru les yang penghasilannya bisa mencapai puluhan
juta per bulan. Secara korporasi, kita mengenal berbagai perusahaan bimbingan
belajar, yang punya cabang di seluruh Indonesia. "Kamu tinggal pilih,
mau punya usaha yang sifatnya perseorangan, atau perusahaan," kata saya.
Bagaimana
seorang guru les bisa menjadi profesional seperti itu? Di situ bekerja
prinsip differentiation strategy yang dikenal dalam dunia marketing. Guru les
tersebut harus bisa menunjukkan bahwa ia bisa memberi layanan berbeda,
misalnya dari sisi metode pengajaran, bahan ajar, soal-soal tes, serta alat
yang digunakan. Sekarang misalnya, sudah banyak guru les yang memanfaatkan
gadget dalam pengajaran. Semua itu hanya bisa dilakukan kalau seorang guru
les punya visi, kemudian belajar, menambah ilmu dan mengasah kreativitasnya.
Hal
yang sama berlaku pada siapapun, termasuk orang-orang yang bekerja sebagai
karyawan perusahaan. Tidak sedikit yang bekerja tanpa rencana karir. Tanpa
rencana artinya tak ada agenda soal apa yang harus dikejar dan dicapai.
Segala sesuatu berjalan seperti benda hanyut di sungai. Mereka menganggap
jenjang karir itu sebagai anak tangga yang sudah disiapkan perusahaan, mereka
pasti akan naik. Kenyataannya tidak demikian. Hanya orang tertentu yang akan
naik ke anak tangga selanjutnya.
Prinsipnya
adalah, kita harus selalu meningkat dalam berbagai aspek. Jenjang karir dan
penghasilan itu adalah dua hal yang saling berhubungan secara erat.
Peningkatan di sisi karir akan berakibat pada peningkatan penghasilan. Tapi
sebelum itu, mutlak diperlukan peningkatan keahlian dan keterampilan.
Artinya,
seseorang harus menetapkan visi soal jenjang karir apa yang akan dia tempuh,
berikut target waktu pencapaiannya. Berdasar pada visi itu, ia membuat
rencana soal keahlian apa yang diperlukan untuk menapak jenjang karir tadi,
kapan dan bagaimana keahlian itu akan ia peroleh. Dari visi karir, ia kini
punya rencana belajar. Berikutnya tinggal mengeksekusi rencana ini.
Prinsip
selalu meningkat ini dalam manajemen disebut continuous improvement, atau
keizoku kaizen dalam bahasa Jepang. Prinsipnya, tidak ada level yang
sempurna, selalu ada celah yang harus diperbaiki. Bahkan bagi orang yang sudah
berada di puncak karir sekali pun, ia harus selalu melakukan upaya
peningkatan. Tentu aneh bila anak-anak muda yang baru mulai menapak karir
tidak punya rencana perbaikan, bukan?
Prinsip
perbaikan berkelanjutan ini tidak hanya berlaku bagi pribadi. Sebenarnya
prinsip ini terutama berlaku untuk korporasi. Pasar terus membesar, saingan
terus bertambah. Perusahaan yang bertahan apa adanya akan tergilas, lalu
tersingkir. Kita menyaksikan ada begitu banyak perusahaan yang begitu, meski
tadinya ia adalah perusahaan raksasa sekalipun.
Sayangnya,
banyak pula perusahaan yang enggan melakukan perbaikan. Salah satu sebabnya,
sama seperti anak-anak muda tadi, karena para pemimpinnya tidak punya visi.
Visi memang memerlukan tenaga ekstra untuk dirumuskan. Mewujudkannya menjadi
nyata, memerlukan tenaga yang jauh lebih besar lagi. Tidak banyak orang yang
mau berpeluh-peluh melakukan hal itu. Eksekutif perusahaan cenderung memilih
jalan aman, mengamankan posisi yang saat ini pun sudah nikmat.
Yang
lebih parah adalah pemerintah. Sangat sedikit pemimpin pemerintah yang mau
membangun visi dan mewujudkannya. Kebanyakan asyik menikmati jabatan sambil
berkubang korupsi. Seperti pribadi dan perusahaan tadi, bangsa yang dipenuhi
oleh pemimpin-pemimpin tanpa visi, akan menjadi bangsa yang terlindas oleh
zaman. Kalau kita tidak segera melakukan tindakan koreksi, kita sebenarnya
sedang menghancurkan bangsa kita sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar