Tutup
Mulut dan Jadilah Lucu
AS Laksana ; Sastrawan;
Pengarang; Kritikus Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA POS, 09 Januari
2017
SAYA
selalu terlambat dalam berkejaran dengan orang-orang lain di wilayah
pergaulan digital. Beberapa teman, dan juga istri saya, sudah beberapa kali
berganti smartphone, sedangkan saya baru menggunakannya kurang lebih setengah
tahun belakangan. Itu pun dibelikan kawan baik yang merasa terharu melihat
ponsel kuno yang saya gunakan.
Selanjutnya,
saya mulai membiasakan diri dengan gawai tersebut –masih agak kikuk sampai
beberapa waktu, dan tetap kikuk menggunakannya di tempat-tempat umum hingga
sekarang. Saya hampir tidak pernah membuka media sosial di tempat umum,
apalagi ketika sedang bercakap-cakap dengan teman-teman.
Sekarang
saya sudah lebih fasih menggunakannya. Kadang-kadang, begitu bangun tidur,
hal pertama yang saya cari adalah smartphone: saya memeriksa Facebook,
WhatsApp, Twitter. Itu sebabnya saya sekarang bertekad menjadikan buku
sebagai benda pertama yang saya pegang begitu bangun tidur.
Pada
suatu pagi pekan lalu, begitu saya bangun tidur, aplikasi WhatsApp memberi
tahu ada 873 pesan. Beberapa tulisan di dinding Facebook membuat perasaan
saya kalut dan marah. Dan, perasaan marah itu bertahan lama; seharian saya
menjalani urusan dengan kemarahan yang muncul sejak pagi hari.
Anda
mungkin memiliki pengalaman serupa dengan yang saya alami pagi itu, atau
bahkan sudah menjadi terbiasa, langsung meraih smartphone setiap bangun
tidur, dan membeku dengan gawai tersebut sampai beberapa waktu. Lalu, Anda
buka semua media sosial, mendapati beberapa tulisan yang membangkitkan
perasaan marah, dan sesaat berikutnya Anda ikut menceburkan diri ke jejaring
sosial dan ikut-ikutan marah. Saya melihat banyak orang marah-marah di media
sosial. Mereka marah hari ini, marah besok pagi, marah lagi lusa.
Saya
pikir Anda perlu berhati-hati terhadap gejala semacam itu. Kemarahan adalah
emosi sangat kuat, yang menjadi akar dari berbagai gangguan, baik fisik
maupun emosional. Satu emosi lainnya adalah kecemasan. Itu hasil penelitian
personal yang dilakukan John Sarno, Profesor ilmu kedokteran New York
University dan orang pertama yang menyodorkan gagasan Mind-BodyConnection.
Kemarahan,
sebagaimana emosi-emosi yang lain, adalah respons Anda terhadap situasi
eksternal. Situasinya akan tetap seperti itu, hanya Anda yang akan menjadi
gila sendiri, melampiaskan kemarahan setiap hari. Anda mengarang cerita
sendiri di dalam benak Anda, cerita yang cocok dengan amarah yang berkobar di
dalam diri Anda. Sebagian orang mendukung Anda, sebagian yang lain tidak
melihat situasi seperti Anda melihatnya. Mereka baik-baik saja dan Anda marah
kepada orang-orang yang merasa semuanya baik-baik saja.
Saya
beruntung pernah mendengar cerita tentang bagaimana mengatasi kemarahan.
Orang-orang dewasa yang menceritakan itu kepada saya bertahun-tahun lalu.
Mereka bilang kemarahan adalah api, dan setan terbuat dari api. Karena itu,
ketika kita marah, disarankan agar kita meminta perlindungan kepada Tuhan
dari godaan setan yang terkutuk. Itu cara pertama mengatasi kemarahan menurut
Islam, agama keluarga saya.
Agama-agama
lain, atau tradisi-tradisi lain, saya yakin memiliki cara masing-masing
tentang bagaimana mengatasi kemarahan.
Cara
berikutnya, jika Anda masih tetap marah meskipun sudah minta perlindungan,
adalah tutup mulut, berhenti bicara. Orang yang marah biasanya akan
menyemburkan kemarahan jika ia berkata-kata. Ia sulit dihadapi dengan cara
apa pun. Kita diam, ia makin marah. Kita menjawab, ia makin marah.
Selain
itu, ucapan orang yang sedang marah sering melukai orang lain. Luka yang
disebabkan oleh tamparan bisa sembuh dan hilang bekasnya dalam beberapa hari.
Luka yang disebabkan oleh kata-kata akan bertahan selamanya.
Masih
ada teknik lain untuk mengatasi kemarahan, jika diam saja masih tidak mempan.
Jika Anda marah dalam keadaan berdiri, duduklah. Jika duduk pun masih marah,
berbaringlah. Jika berbaring masih marah, basuhlah diri dengan air wudu.
Prinsipnya,
kemarahan adalah api dan api adalah setan. Ia akan padam oleh air.
Saya
yakin membasuh diri dengan air wudu, bagi orang Islam, akan memadamkan
kemarahan. Ia akan memadamkan kebencian dan menghalangi kita dari
urusan-urusan yang menyakiti orang lain. Misalnya, ikut-ikutan menjadi
penyalur hoax dan menyebarkan kebencian.
Bagaimanapun,
situasi bisa sulit, bisa bagus, tetapi pikiran kita perlu selalu bahagia.
Kita perlu merawat pikiran agar ia selalu bisa melihat cahaya, sekecil apa
pun, dalam situasi yang paling gelap.
Dalam
urusan ini, saya kagum kepada orang-orang yang memiliki selera humor yang
baik. Mereka memiliki pandangan dunia yang berbeda dari kebanyakan orang.
Mereka selalu mampu melihat sisi yang membuat mereka bisa tersenyum pada semua
situasi, entah situasi gelap atau terang.
Maka,
jadilah lucu dan tertawalah, konon tertawa itu sehat. Setidaknya
tersenyumlah. Senyum adalah sesuatu yang merekatkan hubungan antarmanusia,
sedangkan kemarahan menjauhkan. Dan, kemarahan selalu bersumber dari diri
sendiri, dari pengalaman-pengalaman kita sendiri, dari cerita yang kita
karang sendiri ketika merespons sebuah situasi. Itu sebabnya, teknik
mengatasi kemarahan, yang diajarkan oleh agama, adalah mengelola diri
sendiri. Ia tidak mengajarkan bagaimana cara mengubah situasi, tetapi
bagaimana kita mengelola diri sendiri.
Perubahan
situasi adalah risiko saja dari kecakapan kita mengelola diri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar