Menata
Ulang Institusi Penerimaan Pajak
Ronny Permata Sasmita ; Staf Ahli Komite Ekonomi dan Industri
Nasional Republik Indonesia
|
KORAN SINDO, 10 Januari
2017
Realisasi
penerimaan pajak masih menjadi persoalan utama dari tahun ke tahun. Hingga 20
Desember 2016, realisasi penerimaan pajak tercatat Rp 1.032,2 triliun atau
76,17% dari target APBN-P 2016 yang sebesar Rp1.355,2 triliun. Dengan sisa waktu yang hanya beberapa hari
lagi, target penerimaan pajak tersebut akan sulit tercapai meski pemerintah
terus melakukan upaya sungguh-sungguh mengejar potensi pajak dari program
amnesti pajak maupun penerimaan rutin. Nah, dengan kewenangan yang lebih
besar, saya kira kita sebagai masyarakat tak ada salahnya jika berharap bahwa
pembentukan Badan Penerimaan Pajak (BPP/Otoritas Penerimaan Pajak) akan dapat
meningkatkan penerimaan negara dari pajak.
Saat
ini Ditjen Pajak memiliki tugas besar mengejar target penerimaan pajak yang
ditetapkan dalam APBN, namun kelembagaannya hanya diatur berdasarkan
peraturan menteri keuangan (permenkeu) sebagai turunan Peraturan Presiden
(Perpres) tentang Struktur Organisasi Kementerian. Sialnya, setiap ganti
kabinet, berganti pula perpresnya. Ditjen Pajak tidak memiliki kewenangan
dalam mengatur SDM, organisasi, dan anggaran sendiri.
Ditjen
Pajak sebagai otoritas pajak masih dikelompokkan sebagai single directorate in Ministry of Finance. Berbeda dengan
negara-negara di Asia Tenggara seperti Singapura, Filipina, dan Malaysia yang
mendelegasikan kewenangan SDM, anggaran, dan organisasi ke unit otoritas
pajaknya atau Semi Autonomous Revenue
Authority (SARA). Singapura telah membentuk badan terpisah bagi
penerimaan negara sejak 1993. Sedangkan Malaysia melakukannya sejak 1992.
Sejak
itu pula, penerimaan pajak Malaysia naik signifikan. Belajar dari dua negara
tetangga tersebut, Indonesia sudah saatnya memberikan otonomi kepada otoritas
pajak melalui reformasi perpajakan di sektor penerimaan negara. Otonomi
tersebut dapat menjadikan otoritas pajak lebih independen secara organisasi
dan dapat mengurangi tekanan politik kepada Kemenkeu.
Saya
kira, hal semacam ini akan menjadi bagian penting dalam eformasi perpajakan
yang digulirkan pemerintah. Dengan kondisi penerimaan negara yang
mengkhawatirkan, reformasi perpajakan harus diwujudkan dan tidak bisa ditawar
lagi. Lebih dari itu, reformasi perpajakan tidak akan bermakna bila
pembentukan BPP tidak direalisasikan.
Selama
tidak ada BBP maka diperkirakan akan selalu muncul konflik kepentingan antara
Ditjen Pajak sebagai direktorat yang bertugas mengumpulkan penerimaan pajak
dan Ditjen Anggaran sebagai direktorat yang mengelola dan mengatur penggunaan
anggaran negara. Harapannya, pembentukan BPP dapat menyelesaikan permasalahan
yang dihadapi negara dalam mengumpulkan pajak.
Oleh
karena itu, kebutuhan membentuk BPP semakin mendesak seiring terjadinya
kekurangan (shortage) penerimaan
negara dari pajak tahun ini. Karena berada di bawah presiden langsung, BPP
akan lebih efektif menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Pasalnya,
Ditjen Pajak yang posisinya di bawah menteri keuangan selama ini tidak
leluasa bekerja menggali pendapatan dari pajak. Di sisi lain, masyarakat
perlu juga mengingatkan pemerintah bahwa pembentukan BPP harus memenuhi semua
persyaratan pokok, di antaranya menyangkut transparansi, mekanisme
pengawasan, dan integritas aparatnya.
Lembaga
tersebut harus betul-betul memanfaatkan kewenangan yang dimilikinya secara
optimal untuk meningkatkan penerimaan pajak yang menjadi tulang punggung
penerimaan negara. Jangan sampai kewenangan BPP yang besar justru
disalahgunakan oleh oknum pejabat lembaga tersebut demi keuntungan diri
sendiri. Tim Reformasi Perpajakan yang dibentuk melalui Keputusan Menteri
Keuangan 885/ KMK.03/2016 tentang Pembentukan Tim Reformasi Perpajakan
mengemban tugas untuk membantu menyiapkan turunan konsep Badan Penerimaan
Pajak (BPP) yang ideal sesuai kebutuhan di Indonesia.
Pembentukan
Tim Reformasi Perpajakan pun dianggap sebagai langkah awal merealisasikan
rencana pembentukan BPP yang akan berada di luar Kementerian Keuangan
(Kemenkeu). Lebih dari itu, pembentukan BPP juga merupakan salah satu program
Presiden Jokowi yang tercantum dalam Nawacita untuk membangun kemandirian dan
kedaulatan bangsa.
Oleh
karena itu, kini menjadi tugas Tim Reformasi Perpajakan untuk mendesain
bentuk BPP seperti apa, struktur kelembagaan organisasinya, SDM-nya,
kompleksitas tugas serta ruang lingkup seluruh pekerjaannya dari Sabang
sampai Merauke. Semua hal tersebut penting direncanakan sejak awal agar tugas
dan fungsi BPP bisa berjalan efektif.
Payung
hukum pembentukan BPP pun akan disiapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
melalui Revisi Undang- Undang tentang Ketentuan UmumdanTataCara Perpajakan
(KUP) yang mulai dibahas bersama pemerintah awal tahun depan. Salah satu
pasal dalam draf Revisi UU KUP yang sudah diajukan pemerintah kepada DPR
mengamanatkan pembentukan BPP pada 1 Januari 2018.
BPP
diestimasikan akan menjadi sebuah badan independen di luar Kemenkeu. Karena
itu, BPP nantinya berbeda dengan Ditjen Pajak maupun Ditjen Bea Cukai yang
berada di bawah kewenangan Kemenkeu. BPP didesain akan berada di bawah
presiden dan bertanggung jawab langsung kepada presiden, sehingga posisi kepala
BPP nantinya akan sejajar dengan menteri dan menjalankan fungsi koordinasi
dengan Kemenkeu.
Pendek
kata, ke depan pembentukan BPP akan memudahkan pemerintah dalam mengatur dan
mengelola penerimaan negara secara produktif dan efektif. BPP akan menjadi
backbone negara di pos penerimaan. Oleh karena itu, BPP harus diberi
kewenangan yang besar dan memiliki seluruh komponen yang dibutuhkan untuk
mencapai target penerimaan pajak. Namun demikian, semua pihak terkait harus
pula aware dengan berbagai referensi yang ada.
Sebagaimana
ditulis oleh Rosario G Manasan (2003), negara- negara yang dianggap sukses
mereformasi otoritas pajaknya hingga menjadi lembaga semiotonom (semi-autonomous revenue authorities/SARA),
kinerja penerimaan pajaknya justru cenderung tergerus seiring waktu. Bahkan
dia menambahkan, sampai saat ini, belum ada bukti kuat bahwa status kelembagaan
otoritas pajak berbanding lurus secara langsung dengan kinerja penerimaan
pajaknya.
Jadi
jika secara empiris belum terlalu substantif, setidaknya pembentukan BPP
memiliki prospek perbaikan yang cukup signifikan terhadap penerimaan negara.
Taliercio (2000) pernah menulis, status kelembagaan yang otonom hanya
merupakan jalan menuju perbaikan tata kelola dengan semangat competency, efficiency, dan fairness
sebagai landasan utamanya. Namun, saya yakin ketiga hal yang diusung tersebut
(competency, efficiency, dan fairness)
akan mampu memberi prospek yang sangat bagus bagi institusi perpajakan,
terutama untuk membangun kepercayaan publik yang notabene bisa menjadi
landasan awal untuk meningkatkan penerimaan pajak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar