Urgensi
Moratorium UN
Elin Driana ; Dosen
Sekolah Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Prof Dr
HAMKA Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
09 Januari 2017
PRESIDEN
Joko Widodo akhirnya memutuskan tetap melanjutkan kebijakan UN pada 2017. Keputusan
yang amat disayangkan karena moratorium UN sesungguhnya sejalan dengan
putusan PN Jakarta Pusat atas gugatan 58 warga negara terhadap UN telah
dikuatkan Mahkamah Agung pada 2009 dengan ditolaknya kasasi yang diajukan
pemerintah.
Putusan
tersebut 'Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meningkatkan kualitas
guru, kelengkapan sarana, dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap
sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut' dan
'Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan
Nasional'.
Apakah
kebijakan UN meningkatkan mutu pendidikan? Sepertinya pemerintah masih
berkeyakinan bahwa UN merupakan instrumen yang tepat untuk meningkatkan mutu
pendidikan.
Keyakinan
itu memang sejalan dengan pendekatan yang menekankan pada akuntabilitas
pendidikan yang didasarkan pada capaian siswa melalui tes terstandar.
Akan
tetapi, kajian-kajian empiris atas pendekatan tersebut masih memberikan
hasil-hasil yang bertolak belakang.
Sebagai
contoh kajian Holme, Richards, Jimerson, dan Cohen (2010), atas 46 hasil
penelitian tentang ujian kelulusan yang telah terdokumentasikan di berbagai
negara, ternyata belum secara konklusif menunjukkan manfaat penyelenggaraan
ujian kelulusan dalam meningkatkan capaian pendidikan.
Kalaupun
terdapat peningkatan capaian, masih perlu ditelaah lebih lanjut.
Apakah
peningkatan itu benar-benar menggambarkan perbaikan yang ada dalam sistem
pendidikan ataukah karena faktor-faktor lain, misalnya pembelajaran yang
memfokuskan pada latihan-latihan soal untuk persiapan ujian, ataupun maraknya
bimbingan-bimbingan belajar di luar sekolah.
Hasil-hasil
assessment internasional seperti Programme for International Student
Assessment (PISA) yang diikuti siswa Indonesia usia 15 tahun sejak 2003
menunjukkan skor rata-rata siswa Indonesia hingga kini masih berada di level
kecakapan yang rendah untuk ketiga literasi, yaitu di bawah level 2.
Level
tersebut dipandang sebagai kemampuan dasar siswa usia 15 tahun dalam
mengaplikasikan pengetahuan dan kecakapan yang dimilikinya dalam sains,
membaca, ataupun matematika untuk menyelesaikan masalah-masalah keseharian.
Untuk
sains, misalnya, yang menjadi fokus penyelenggaraan PISA 2015 yang
dipublikasikan pada 6 Desember 2016, skor rata-rata siswa Indonesia pada 2003,
2006, 2009, 2012, dan 2015 berturut-turut 395, 393, 383, 382, dan 403, untuk
membaca 382, 393, 402, 396, dan 397, sementara matematika 360, 391, 371, 375,
dan 386.
Laporan
PISA 2015 juga menyimpulkan bahwa meskipun siswa Indonesia menunjukkan peningkatan
capaian dalam sains pada 2015 jika dibandingkan dengan pada 2012, secara
longitudinal tidak ada peningkatan yang berarti.
Yang
juga patut mendapatkan perhatian lebih serius daripada sekadar skor rata-rata
dan peringkat, mayoritas siswa Indonesia masih belum mencapai level 2 dalam
sains, membaca, dan matematika, yaitu berturut-turut 56%; 55,2%; dan 68,6%.
Persentase
tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tetangga kita terutama
Singapura (9,6%; 11,1%; dan 7,6%) dan Vietnam (5,9%; 13,8%; dan 19,1%).
Sementara
itu, siswa yang mencapai level 5 dan 6 untuk sains, membaca, dan matematika
berturut-turut 0,1%; 0,1%; dan 0,7%.
Persentase
tersebut jauh lebih rendah daripada Singapura (24,2%; 18,4%; dan 34,8%) dan
Vietnam (8,3%; 2,7%; dan 9,3%).
Dengan
kata lain, mayoritas siswa Indonesia hanya mampu menyelesaikan
masalah-masalah yang sudah dikenal mereka dengan menggunakan
prosedur-prosedur yang sifatnya rutin, ataupun mengenali informasi sederhana
yang telah disebutkan secara eksplisit sebelumnya.
Mereka
masih lemah dalam menganalisis, menyimpulkan, ataupun memecahkan masalah.
Pemanfaatan hasil
assessment
Assessment
merupakan proses untuk mengumpulkan, menyintesis, dan menginterpretasi
informasi yang akan digunakan dalam evaluasi yang berujung pada pengambilan
keputusan.
Informasi
yang telah dikumpulkan melalui assessment tidak akan bermakna dan tidak akan
bermanfaat bila hanya teronggok sebagai tumpukan data atau sekadar menjadi
wacana.
Sangat
wajar bila masyarakat mempertanyakan sejauh mana pemanfaatan hasil-hasil
assessment, baik internasional seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS ataupun
nasional, seperti UN dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pendidikan.
Rendahnya
capaian siswa dan lebarnya kesenjangan capaian siswa berdasarkan status
sosial ekonomi menunjukkan upaya-upaya peningkatan dan mutu pendidikan yang
dilakukan selama ini masih belum tepat sasaran.
Selain
itu, mayoritas siswa yang hanya menguasai kecakapan berpikir tingkat rendah
mengindikasikan adanya masalah dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini.
Tidak
tertutup kemungkinan bahwa pelaksanaan UN tahunan justru telah menghambat
upaya-upaya untuk menjalankan model pembelajaran dan assessment yang beragam
dan bermakna dalam upaya mempersiapkan siswa dengan pengetahuan, kecakapan,
dan karakter yang dibutuhkan dalam kehidupan mereka di masa mendatang.
Bentuk
assessment yang digunakan juga akan berpengaruh terhadap pendekatan yang
dilakukan siswa dalam belajar, apakah cenderung di permukaan
(surface-approach) ataukah mendalam (deep-approach) (Bloxham & Boyd,
2007).
Tes-tes
terstandar, terutama yang bersifat taruhan tinggi (high-stakes) seperti UN,
yang saat ini masih digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi ke jenjang
yang lebih tinggi, cenderung mendorong siswa melakukan pendekatan belajar di
permukaan dengan memfokuskan pada kisi-kisi dan latihan-latihan soal,
termasuk menghafal dan mengulang prosedur.
Sebaliknya,
assessment yang lebih beragam, misalnya dalam bentuk uraian, kinerja, ataupun
proyek yang didesain untuk melatih kecakapan berpikir tingkat tinggi, seperti
menganalisis, menilai, mengevaluasi, mencipta, menalar, memutuskan,
menyelesaikan masalah, berpikir kritis, dan berpikir kreatif dalam konteks
yang autentik serta mengembangkan kecakapan dalam berkomunikasi dan berkolaborasi
akan mendorong siswa melakukan pendekatan yang lebih mendalam dalam belajar.
Pendekatan
itu terkait dengan motivasi belajar yang lebih intrinsik.
Siswa
belajar bukan karena semata-mata ingin mendapatkan nilai yang tinggi,
melainkan karena ada dorongan yang datang dari diri sendiri sehingga
pembelajaran menjadi lebih bermakna dan lebih meninggalkan jejak dalam
kehidupan siswa selanjutnya.
Kemampuan
dan komitmen guru dalam melakukan assessment yang beragam dan kaya ini
tentunya menjadi tantangan tersendiri.
Kesempatan berharga
Moratorium
UN sebetulnya membuka banyak kesempatan berharga bagi pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan pihak-pihak terkait untuk meningkatkan capaian dan
pemerataan pendidikan tanpa disibukkan secara berlebihan oleh ritual tahunan
UN, termasuk hal-hal teknis persiapan dan pelaksanaan, yang menyita pikiran,
waktu, tenaga, dan biaya.
Kesempatan-kesempatan
tersebut antara lain, pertama, pemangku kepentingan pendidikan dapat
merumuskan peta jalan yang menyeluruh, jelas, dan terukur dalam upaya
memenuhi delapan standar nasional pendidikan.
Kedua,
pemerintah pusat dan daerah memiliki kesempatan untuk meninjau dan memastikan
kembali pemenuhan tanggung jawab mereka dalam 'memberikan layanan dan
kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi' sebagaimana diamanahkan Pasal 11 ayat
(1) UU Sisdiknas 2003.
Ketiga,
menganalisis dan menyinkronisasi aturan-aturan terkait dengan sistem evaluasi
pendidikan baik pada jalur formal, informal, dan nonformal, termasuk
mendefinisikan kembali tujuan dan fungsi UN.
Saatnya
bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan moratorium UN, guna
mencegah dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya bagi dunia
pendidikan di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar