Selasa, 10 Januari 2017

Urgensi Moratorium UN

Urgensi Moratorium UN
Elin Driana  ;   Dosen Sekolah Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA Jakarta
                                           MEDIA INDONESIA, 09 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PRESIDEN Joko Widodo akhirnya memutuskan tetap melanjutkan kebijakan UN pada 2017. Keputusan yang amat disayangkan karena moratorium UN sesungguhnya sejalan dengan putusan PN Jakarta Pusat atas gugatan 58 warga negara terhadap UN telah dikuatkan Mahkamah Agung pada 2009 dengan ditolaknya kasasi yang diajukan pemerintah.

Putusan tersebut 'Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana, dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut' dan 'Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meninjau kembali Sistem Pendidikan Nasional'.

Apakah kebijakan UN meningkatkan mutu pendidikan? Sepertinya pemerintah masih berkeyakinan bahwa UN merupakan instrumen yang tepat untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Keyakinan itu memang sejalan dengan pendekatan yang menekankan pada akuntabilitas pendidikan yang didasarkan pada capaian siswa melalui tes terstandar.

Akan tetapi, kajian-kajian empiris atas pendekatan tersebut masih memberikan hasil-hasil yang bertolak belakang.

Sebagai contoh kajian Holme, Richards, Jimerson, dan Cohen (2010), atas 46 hasil penelitian tentang ujian kelulusan yang telah terdokumentasikan di berbagai negara, ternyata belum secara konklusif menunjukkan manfaat penyelenggaraan ujian kelulusan dalam meningkatkan capaian pendidikan.

Kalaupun terdapat peningkatan capaian, masih perlu ditelaah lebih lanjut.

Apakah peningkatan itu benar-benar menggambarkan perbaikan yang ada dalam sistem pendidikan ataukah karena faktor-faktor lain, misalnya pembelajaran yang memfokuskan pada latihan-latihan soal untuk persiapan ujian, ataupun maraknya bimbingan-bimbingan belajar di luar sekolah.

Hasil-hasil assessment internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA) yang diikuti siswa Indonesia usia 15 tahun sejak 2003 menunjukkan skor rata-rata siswa Indonesia hingga kini masih berada di level kecakapan yang rendah untuk ketiga literasi, yaitu di bawah level 2.

Level tersebut dipandang sebagai kemampuan dasar siswa usia 15 tahun dalam mengaplikasikan pengetahuan dan kecakapan yang dimilikinya dalam sains, membaca, ataupun matematika untuk menyelesaikan masalah-masalah keseharian.

Untuk sains, misalnya, yang menjadi fokus penyelenggaraan PISA 2015 yang dipublikasikan pada 6 Desember 2016, skor rata-rata siswa Indonesia pada 2003, 2006, 2009, 2012, dan 2015 berturut-turut 395, 393, 383, 382, dan 403, untuk membaca 382, 393, 402, 396, dan 397, sementara matematika 360, 391, 371, 375, dan 386.

Laporan PISA 2015 juga menyimpulkan bahwa meskipun siswa Indonesia menunjukkan peningkatan capaian dalam sains pada 2015 jika dibandingkan dengan pada 2012, secara longitudinal tidak ada peningkatan yang berarti.

Yang juga patut mendapatkan perhatian lebih serius daripada sekadar skor rata-rata dan peringkat, mayoritas siswa Indonesia masih belum mencapai level 2 dalam sains, membaca, dan matematika, yaitu berturut-turut 56%; 55,2%; dan 68,6%.

Persentase tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan tetangga kita terutama Singapura (9,6%; 11,1%; dan 7,6%) dan Vietnam (5,9%; 13,8%; dan 19,1%).

Sementara itu, siswa yang mencapai level 5 dan 6 untuk sains, membaca, dan matematika berturut-turut 0,1%; 0,1%; dan 0,7%.

Persentase tersebut jauh lebih rendah daripada Singapura (24,2%; 18,4%; dan 34,8%) dan Vietnam (8,3%; 2,7%; dan 9,3%).

Dengan kata lain, mayoritas siswa Indonesia hanya mampu menyelesaikan masalah-masalah yang sudah dikenal mereka dengan menggunakan prosedur-prosedur yang sifatnya rutin, ataupun mengenali informasi sederhana yang telah disebutkan secara eksplisit sebelumnya.

Mereka masih lemah dalam menganalisis, menyimpulkan, ataupun memecahkan masalah.

Pemanfaatan hasil assessment

Assessment merupakan proses untuk mengumpulkan, menyintesis, dan menginterpretasi informasi yang akan digunakan dalam evaluasi yang berujung pada pengambilan keputusan.

Informasi yang telah dikumpulkan melalui assessment tidak akan bermakna dan tidak akan bermanfaat bila hanya teronggok sebagai tumpukan data atau sekadar menjadi wacana.

Sangat wajar bila masyarakat mempertanyakan sejauh mana pemanfaatan hasil-hasil assessment, baik internasional seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS ataupun nasional, seperti UN dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pendidikan.

Rendahnya capaian siswa dan lebarnya kesenjangan capaian siswa berdasarkan status sosial ekonomi menunjukkan upaya-upaya peningkatan dan mutu pendidikan yang dilakukan selama ini masih belum tepat sasaran.

Selain itu, mayoritas siswa yang hanya menguasai kecakapan berpikir tingkat rendah mengindikasikan adanya masalah dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini.

Tidak tertutup kemungkinan bahwa pelaksanaan UN tahunan justru telah menghambat upaya-upaya untuk menjalankan model pembelajaran dan assessment yang beragam dan bermakna dalam upaya mempersiapkan siswa dengan pengetahuan, kecakapan, dan karakter yang dibutuhkan dalam kehidupan mereka di masa mendatang.

Bentuk assessment yang digunakan juga akan berpengaruh terhadap pendekatan yang dilakukan siswa dalam belajar, apakah cenderung di permukaan (surface-approach) ataukah mendalam (deep-approach) (Bloxham & Boyd, 2007).

Tes-tes terstandar, terutama yang bersifat taruhan tinggi (high-stakes) seperti UN, yang saat ini masih digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi ke jenjang yang lebih tinggi, cenderung mendorong siswa melakukan pendekatan belajar di permukaan dengan memfokuskan pada kisi-kisi dan latihan-latihan soal, termasuk menghafal dan mengulang prosedur.

Sebaliknya, assessment yang lebih beragam, misalnya dalam bentuk uraian, kinerja, ataupun proyek yang didesain untuk melatih kecakapan berpikir tingkat tinggi, seperti menganalisis, menilai, mengevaluasi, mencipta, menalar, memutuskan, menyelesaikan masalah, berpikir kritis, dan berpikir kreatif dalam konteks yang autentik serta mengembangkan kecakapan dalam berkomunikasi dan berkolaborasi akan mendorong siswa melakukan pendekatan yang lebih mendalam dalam belajar.

Pendekatan itu terkait dengan motivasi belajar yang lebih intrinsik.

Siswa belajar bukan karena semata-mata ingin mendapatkan nilai yang tinggi, melainkan karena ada dorongan yang datang dari diri sendiri sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna dan lebih meninggalkan jejak dalam kehidupan siswa selanjutnya.

Kemampuan dan komitmen guru dalam melakukan assessment yang beragam dan kaya ini tentunya menjadi tantangan tersendiri.

Kesempatan berharga

Moratorium UN sebetulnya membuka banyak kesempatan berharga bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak-pihak terkait untuk meningkatkan capaian dan pemerataan pendidikan tanpa disibukkan secara berlebihan oleh ritual tahunan UN, termasuk hal-hal teknis persiapan dan pelaksanaan, yang menyita pikiran, waktu, tenaga, dan biaya.

Kesempatan-kesempatan tersebut antara lain, pertama, pemangku kepentingan pendidikan dapat merumuskan peta jalan yang menyeluruh, jelas, dan terukur dalam upaya memenuhi delapan standar nasional pendidikan.

Kedua, pemerintah pusat dan daerah memiliki kesempatan untuk meninjau dan memastikan kembali pemenuhan tanggung jawab mereka dalam 'memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi' sebagaimana diamanahkan Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas 2003.

Ketiga, menganalisis dan menyinkronisasi aturan-aturan terkait dengan sistem evaluasi pendidikan baik pada jalur formal, informal, dan nonformal, termasuk mendefinisikan kembali tujuan dan fungsi UN.

Saatnya bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan moratorium UN, guna mencegah dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya bagi dunia pendidikan di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar