Hoax:
Bentuk Kekufuran?
A Hasyim Muzadi ; Mantan
Ketua Umum PBNU
|
REPUBLIKA, 08 Januari
2017
Dapatkah
penyebar hoax, berita tak berdasar fakta, disebut sebagai fasiq—pelanggar
perintah Allah? Kalau menggunakan tafsir beberapa ayat dalam Alquran, maka
penyebar hoax sangat mungkin disebut fasiq. Perbuatan ini sangat dikutuk oleh
agama dan Allah mendudukkan kaum fasiquun—pelaku sifat fisq, sederajat dengan
pelaku kufr—pelaku kekufuran. Dalam bingkai ini, maka penyebar hoax secara
sadar telah menyeret dirinya menuju bibir sumur kekufuran.
Pelaku
kufr disebut dengan kaafir. “Afaman Kaana Mu’minan Kaman Kaana Faasiqan? Laa
yastawuun--Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasiq?
Mereka tidak sama. (As Sajdah : 18). Dalam potongan ayat ini, Allah
menjelaskan bahwa dalam ukuran tertentu, orang-orang fasiq berdiri
berseberangan dan berada dalam kutub yang berhadap-hadapan dengan kelompok
orang beriman. Allah tegaskan tak sama orang fasiq dengan orang beriman.
Dalam
kaitan inilah, kita tengah dirundung kesedihan teramat sangat kibat
merebaknya hoax. Ada kelompok tertentu menggunakan hoax sebagai senjata untuk
mengalahkan lawan-lawannya. Ada kelompok petualang yang sengaja memancing di
air keruh untuk menyulut keresahan. Ada sekelompok orang dengan target dan
tujuan tertentu, menyiksa bangsa dengan kabar tak berdasar, berita-berita
yang disadari telah membuat tiang-tiang persatuan kita berderak.
Deraknya
terasa kencang dan kuat karena sudah menyentuh sendi-sendi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Kalau dibiarkan, akan muncul sikap saling curiga,
menumbuhkan bibit permusuhan, saling intai, saling intip, dan saling memendam
bara. Bara dendam ini, jika dibiarkan, akan menjadi sebab rusaknya harmoni
sosial yang yang selama sekian tahun kita bangun. Di beberapa negeri lain,
hoax telah menyebabkan perang saudara. Di Timur Tengah, contohnya.
Di
surah lain, Allah memberi gambaran bagaimana kita seharusnya bersikap dan
menyikapi penyebar hoax. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu
tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS 49 : 6). Sangat
berbahaya, jika kita mengabaikan perintah “fatabayyanuu”, lakukanlah
klarifikasi dan verifikasi.
Dalam
kehidupan yang dipenuhi dengan sebaran hoax yang luar biasa, di mana sebagian
masyarakat mulai kurang percaya terhadap lembaga dan institusi resmi, maka
klarifikasi dan verikasi, mesti dilakukan hatta terhadap orang-orang yang
punya kedudukan tertentu sekali pun. Ayat ini, demikian salah satu asbabun
nuzulnya, juga karena kasus yang menyangkut nama seseorang yang justeru
berkedudukan sebagai “utusan” baginda Muhammad SAW.
Adalah
al-Walid Ibn ‘Uqbah Ibn Abi Mu’ith yang ditugaskan Nabi untuk menerima hasil
pengumpulan zakat di lingkungan Bani al-Musthalaq. Begitu sampai kabar bahwa
akan datang seorang petugas pemungut zakat utusan Rasul, masyarakat keluar
rumah bersiap memberi sambutan. Rupanya al-Walid salah sangka. Ia mengira
orang-orang keluar rumah karena ingin memberi perlawanan. Berencana
menyerangnya. Menyerang petugas zakat yang diperintahkan Rasulullah.
Ia
balik kanan dan melapor kepada Nabi. Isi laporannya : bani al-Musthalaq
enggan membayar zakat dan bermaksud menyerang Nabi. Dalam riwayat lain bahkan
disebutkan mereka telah keluar dari Islam alias murtad. Tentu saja Nabi tidak
serta merta memercayai kabar itu. Beliau meminta sahabat Khalid Ibn Walid RA
untuk mencari tahu. Melakukan klarifikasi dan verifikasi. Hasilnya : mereka
mengumandangkan azan dan melakukan shalat berjamaah.
Menyebar
berita tak benar adalah perbuatan fasiq. Dalam bahasa Arab, berita disebut
“khabar”. Tetapi dalam ayat di atas, yang diingatkan bukan sekadar khabar
tetapi “naba-un”. Naba-un bukan semata berarti berita atau kabar. Naba-un
adalah berita penting, terkait kehidupan banyak orang, menyangkut hajat orang
banyak, dan persoalan yang kalau tidak disikapi dengan benar akan mengganggu
ketertiban umum dan harmoni sosial. Taat bayar zakat adalah bukti pelaksanaan
rukun Islam.
Tak
bayar zakat, berarti mengabaikan rukun Islam. Ayat 6 surah al-Hujuraat
diawali ; “Ya Ayyuhal Ladziina Aamanuu, in Jaa-akum Faasiqun bi naba-in,
Fatabayyanuu—Hai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasiq
membawa suatu berita, maka sungguh-sungguhlah mencari kejelasan…” Nah,
belakangan, sosial media kita diramaikan oleh ratusan, ribuan, bahkan mungkin
jutaan hoax. Menyerang secara sistematis dan massif hingga masuk ke
ruang-ruang paling private.
Dengan
produk gadget yang sudah luar biasa canggih, sebaran hoax mengisi ruang-ruang
otak kita yang sebenarnya sudah overload. Sering karena sentimen tertentu,
hoax menjadi panduan kita dalam bersikap. Sering pula hoax menjadi penyebab
rusaknya hubungan kekeluargaan. Nyaris semua persoalan sehari-hari dibumbui
dengan hoax sebagai dasar dan landasannya. Sedihnya, majelis-majelis taklim
kita sering juga saling bergesekan akibat hoax.
Setelah
disadari demikian berbahayanya penyebaran hoax tersebut, kini tiba saatnya
kita duduk bersama. Melakukan tabayyun. Menanyakan benar tidaknya. Menanyakan
siapa sumber beritanya. Menanyakan dasar-dasar hukumnya. Menanyakan kenapa
berita itu disampaikan. Sebab, tidak semua berita bisa jadi konsumsi semua
orang. Ada kalanya berita hanya untuk diketahui dan tak baik untuk disebar.
Jangan lupa, menyebar hoax bisa jadi melakukan pekerjaan fasiq.
Pekerjaan
fasiq bisa dikategorikan kekufuran. Sebelum kita terjebak dalam framing
“kekafiran” ini, ayo kita—kita semua, segera taubat atau memohonkan ampun
bagi sesama. Memohon kepada Allah agar Dia berkenan mengampuni kesalahan kita
dan mengembalikan kita ke dalam jalinan silaturrahim. Hanya dengan
silaturrahmi, perasaan saling curiga dan dendam akan teratasi. Hindari dan
buanglah hoax demi kebaikan bersama. Wallaahu
A’lamu Bishshowaab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar